Intisari-Online.com – Empat puluh tahun telah berlalu sejak tanggal 10 November 1945 terjadi pertempuran dahsyat di Surabaya. Banyak yang sudah ditulis tentang peristiwa itu.
Namun, pengalaman Cak Roes ini mungkin bisa mengingatkan kembali betapa besarnya pengorbanan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan.
Di puncak Hotel Oranje di Tunjungan, Rabu pagi, 19 September 1945, sekonyong-konyong berkibar bendera Belanda: merah-putih-biru, yang dilakukan oleh sekelompok orang Belanda Indo dan Totok.
Lalu secara demonstratif mereka berdiri di atas atap dan mengelilingi hotel dengan sikap menantang.
Ini tentu saja membangkitkan amarah rakyat Surabaya. Mereka lalu mengepung Hotel Oranje dan terjadilah perkelahian seru. Banyak yang luka-luka, tapi bendera Belanda itu berhasil diturunkan. Kemudian berkibarlah bendera merah-putih.
"Nah, sejak itu rakyat kita mulai tergugah," kata Dr. H. Roeslan Abdulgani menceritakan pengalamannya dalam Pertempuran Surabaya 40 tahun y.l.
Tokoh yang punya panggilan akrab Cak Roes ini, sekarang ketua Tim P-7 (Penasihat Presiden Mengenai Pelaksanaan Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila).
Jepang yang mesti dikeroyok
"Sebelum revolusi kemerdekaan saya sudah bekerja di sebuah koperasi kerajinan tangan. Kemudian saya tinggalkan, saya lalu ikut dalam revolusi," kata Roes.
Sejak di zaman Jepang Roes sudah ikut mengorganisasi Angkatah Muda (AM), yaitu pemuda-pemuda yang tidak bekerja sama dengan Jepang, karena menyadari toh Jepang nanti akan kalah.
Pada waktu itu juga ada sebagian pemuda-pemuda yang mau masuk PETA, anggota polisi atau gerakan pemuda lainnya yang dipimpin Jepang. AM ada di luar itu.
Mereka secara rahasia selalu menghubungi pemuda-pemuda yang ikut Jepang itu untuk tetap memelihara jiwa nasionalis dan patriotis, dengan memberikan suatu pegangan strategis bahwa nanti Jepang pasti kalah, tapi risikonya Belanda akan kembali.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR