Happy juga yang mengusahakan guru tari, khusus untuk melatih di tempat kediaman Clare.
Menurut Happy, Clare memiliki ketekunan dan kemauan keras yang dibutuhkan dalam belajar menari Jawa. Ia telah membuktikan, dalam waktu yang relatif singkat ia mampu menguasai dengan baik nomor-nomor tari yang diajarkan.
Untuk pementasan tari Sukaretna dalam acara Temu Budaya Indonesia — Amerika di Solo beberapa waktu yang lalu, misalnya, Clare hanya berlatih sebulan, di bawah bimbingan tiga orang guru.
Waktu ditanya apakah ia senang menari di depan umum, Clare yang mengaku amat pemalu malah berkata, "Saya lebih menikmati menari justru pada saat latihan."
Kecuali menari, sehari-hari Clare tentu saja juga sibuk dengan macam-macam tugas sebagai ibu rumah tangga. "Anak-anak, Sarah, David dan Rachel Dahlia, banyak menyita waktu saya," kata Clare.
Bima, tokoh pujaannya
Selain belajar menari, ada satu hal yang masih ingin ia lakukan di Indonesia, yakni melakukan penelitian bahasa. Clare rupanya belum puas hanya meneliti bahasa Jawa di Suriname.
"Mungkin bahasa atau dialek Jawa Timur sangat menarik, karena sangat mirip dengan bahasa Jawa yang dipakai di Suriname," katanya. Namun, sekarang ini, dalam kedudukannya sebagai nyonya duta besar, tentu saja tak mungkin bisa dilakukannya.
Di ruang tamunya terlihat, antara lain, dua kursi dan sebuah peti kayu ukir Madura. Selain terdapat dua gitar tradisional Batak sebagai pajangan, di atas meja tamunya juga digelar sehelai kain songket Sumatra Barat.
"Apakah Anda kolektor yang serius?"
"Tidak. Untuk menjadi kolektor yang serius kita harus benar-benar belajar. Kita harus bisa menjelaskan, misalnya, pola apakah ini, dan bisa menilai apakah ini kain yang baik atau buruk," urai Clare sambil menunjuk kain tenun ikat Flores yang menutupi sandaran kursi panjang yang didudukinya.
"Nan, saya bukan ahli seperti itu. Jika saya suka, maka saya akan membelinya begitu saja."
"Pertanyaan terakhir. Orang Jawa biasanya punya tokoh wayang yang jadi idolanya. Apakah ada tokoh dalam dunia pewayangan yang Anda sukai?"
"Ha ha ha. Saya menyukai Bima! Ia tokoh yang amat sederhana. Saya senang sekali menonton wayang; dan bila punakawan dan Bima keluar, waah, tak ada lagi misteri." (Lily/Nanny/Muljawan Karim)
Sebuah pergelaran di Mangkunegaran
Semua hadirin sudah siap di tempat masing-masing. Termasuk tuan rumah, KGPA Mangkunegoro, dan tamu terhormatnya, Paul Wolfowitz, Duta Besar Amerika Serikat.
Tak kurang dari 300 undangan hadir di pendopo Keraton Mangkunegaran yang gemerlap bermandikan cahaya lampu kristal, dan wangi oleh taburan melati.
Malam itu, setiap orang tak sabar menunggu pergelaran tari Sukaretna. Soalnya, Clare akan lkut ambil bagian di dalamnya. Ini sebuah kejutan, dan sekaligus puncak dari acara Temu Budaya Indonesia - Amerika yang berlangsung di Solo, 28 September - 2 Oktober 1988.
Ning... nang... ning... nong, para pengrawit mulai memainkan gending Ladrang Pangkur. Bersama Happy Soeryadjaya dan Leslie Dexter, Clare muncul dari sisi kiri pendopo dalam kostum penari Jawa lengkap.
Pinggang dan kaki disaput kain batik bermotif parang rusak. Tubuh bagian atas ditutup kotang beledu hitam berhias bordiran benang emas.
Kepala, leher, tangan dan pinggangnya pun sarat dengan perhiasan, mulai dari sisir, jamang, garuda mungkur, sumping, subang, kalung susun, slepe, gelang, sampai kelat bahu yang melingkar ketat di pangkal lengan. Semua dari ernas.
Biasa tampil sederhana, dengan wajah dirias penuh, malam itu Clare betul-betul manglingi dan tampak ayu.
Dalam barisan ia berjalan perlahan menuju ke tengah pendopo berlantai pualam. Sebelah tangannya dengan lembut mengangkat sampur. Clare memiringkan tubuhnya ke samping dan berputar. Kaki kanannya lalu sedikit diangkat, dan kembali menapak pelan pada saat yang tepat.
Semua mata terarah padanya. Semua orang saling berbisik. Semua orang berdecak kagum. Clare menari dengan keluwesan yang tak terduga. Ia yang ramping dan bertubuh mungil - untuk ukuran Amerika, tentu saja - sepertinya menjelma menjadi seorang putri Jawa. Kesalahan-kesalahan kecil pun pupus oleh keanggunannya.
Berlebihan, memang, kalau menuntut Clare menari Jawa dengan sempurna. Kesibukannya sehari-hari tak memungkinkannya berlatih teratur. Memang bukan itu tujuannya.
Ada hal yang lebih penting yang ingin ia tunjukkan lewat Sukaretna: Ketulusan cintanya pada kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, yang sudah sejak lama mempesonanya.
Maka, meski Sukaretna bukan sebuah nomor yang istimewa dalam khasanah seni tari Jawa, ini tak mengalangi Clare untuk tampil sebagai prirnadona.
Malah, malam itu, ia berhasil menjadikan dirinya simbol persahabatan sejati dari dua bangsa. Yang bukan hanya hidup terpisah jauh di dua benua yang berbeda, tapi juga tak secuil pun punya kaitan budaya. (Muljawan Karim)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1988)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR