Dari hasil penelitian, air Sumur Cikahuripan mengandung asam laureate, Fe (besi), dan mangan dengan kandungan standar untuk dikonsumsi manusia. “Jika diminum, metabolisme tubuh makin lancar. Kalau metabolisme lancar, kotoran dalam tubuh keluar, termasuk kotoran di tenggorokan,” terang Abah. Kalau metabolisme lancar, tubuh sehat, suara bagus, Abah melanjutkan, tentu auranya keluar, sehingga terlihat segar. “Makanya terlihat awet muda, bahkan bisa dapet jodoh juga,” Abah menjelaskan.
Saat ini, air dari Sumur Cikahuripan dimanfaatkan warga sekitar untuk kebutuhan rumah tangga. Air dialirkan dengan selang-selang ke beberapa rumah di sekitar kaki bukit Gunung Padang.
Ukurannya Dahsyat!
Geolog menggunakan metode citra satelit, georadar, geoelektrik, pengeboran, dan analisis karbon. Hasil sementara, usia Situs Gunung Padang adalah sekitar 10.000 tahun Sebelum Masehi. Juga ditemukan struktur buatan manusia di kedalaman tanah di bukit tersebut.
Tim arkeologi menggunakan metode ekskavasi dalam penelitiannya. Tim arkeologi yang memulai penelitian dari 15 Mei sampai 30 Juni lalu menggali tanah sedikit demi sedikit. Saat penggalian di Teras IV, ditemukan pecahan gerabah kecil. Kecil, memang, namun itu penting karena dia ditemukan di situs tersebut. “Kalau penduduk bilang, ‘di bawah banyak’. Iya, tapi di bawah sudah bercampur dengan masyarakat zaman sekarang,” kata Ali Akbar S.S., M.Hum., arkeolog dari Universitas Indonesia, yang mengomandoi tim arkeolog. Pecahan gerabah itu masih dalam proses analisis laboratorium.
Penemuan yang paling besar adalah ketika tim arkeologi menyusuri lereng bukit Gunung Padang dan membuka semak-semak lebat yang ada di sana. Mereka menemukan struktur batuan yang tersebar di sekeliling bukit. Konstruksi struktur tersebut membentuk undak-undakan. Tiap undakannya setinggi 1,5 meter. Bagian vertikal disusun dari batuan kolom, kemudian bagian horisontalnya adalah tanah. “Dari ukuran dan strukturnya, konstruksi tersebut bukan untuk tangga orang naik bukit. Itu adalah konstruksi mencegah longsor,” Ali menjelaskan.
Setelah tim melakukan survei ke sekeliling bukit, ternyata struktur semacam itu ditemukan hampir di semua tempat. “Sampai saat ini, kami sudah membuka sekitar 20 undakan yang tertutup semak di sisi sebelah timur bukit,” papar Ali. Dia pun bisa menyimpulkan bahwa seluruh sisi bukit itu adalah struktur punden berundak yang terintegrasi dengan tangga naik dan lima teras di puncaknya.
Yang luar biasa adalah ukurannya. Ali menjelaskan, luas wilayah punden berundak yang sudah terlihat di puncak bukit itu saja sudah menjadi punden berundak terbesar se-Asia Tenggara. “Jadi kalau struktur sampingnya bisa direkonstruksi, ukurannya sudah enggak ada lawan,” kata Ali bersemangat.
Luas areal situs di puncak bukit Gunung Padang tersebut sekitar empat hektare, sedangkan luas kompleks “bangunan” batunya sekitar 900 m2. “Dengan ditemukannya struktur di sisi samping bukit ini, luasnya mencapai 25 hektare,” kata Ali. Bandingkan dengan luas bangunan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, yang “hanya” 1,5 hektare.
Wow!
Warga Harus Dilibatkan
“Kalau menanam padi gagal, tahun depan menanam lagi. Tapi kalo penanganan situs gagal, siapa yang bertanggung jawab?” begitulah pemikiran sederhana Abah Ruskawan, budayawan dan Ketua Payuban Pasundan Cianjur, yang sempat menolak keras proses penelitian di Gunung Padang Cianjur.
Pemikiran tersebut beralasan. Menurut dia, yang namanya budaya kalau digabung sama pariwisata, pasti pariwisatanya yang cenderung menonjol. “Hal itu dibuktikan, pagar yang dahulu ada sekarang dicabut,” kata Abah. Selain itu, pembuatan menara pandang di area Teras V yang menurut Abah termasuk zona inti situs juga “merusak” areal situs.
Tim peneliti bersama Staf Khusus Kepresidenan, Andi Arif, kemudian melakukan silaturahmi ke Abah Ruskawan. Saat pertemuan itu, Abah meminta beberapa syarat. Abah meminta penelitian dilakukan secara berurutan. “Tentukan dulu zona inti sampai mana, luasnya berapa, lalu zona penyangganya berapa. Baru dilakukan ekskavasi, kemudian restorasi, termasuk penataan,” kata Abah.
Yang kedua, Abah menanyakan apa manfaat Gunung Padang buat masyarakat sekitar. “Jangan sampai mereka terusir, bukan jadi pelaku malah hanya jadi penonton,” tegasnya. Menurut Abah, saat itu Andi Arif mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akan memakmurkan warga di sekitar Gunung Padang. “Infrastruktur akan dikembangkan, termasuk pemberdayaan masyarakat sekitar."
Maka itu, penelitian kali ini sudah mendapatkan persetujuan dari masyarakat, walaupun masih ada kecurigaan bahwa janji-janji itu tidak benar dipenuhi. Namun, Pak Asep Sudrajat, Juru Kunci Gunung Padang, sepakat jika Gunung Padang terus diteliti sampai tuntas, sehingga cerita mengenai asal-usul Gunung Padang bisa jelas. “Selama ini simpang-siur, macem-macem-lah, hasil penelitian,” kata Pak Asep.
Selain itu, semakin terang Si Gunung Padang, tentu masyarakat juga terkena imbasnya. “Sekarang aja sudah banyak warung di kaki bukit,” kata Pak Asep dengan logat Sundanya.
"Kembarannya" di Cilacap?
Di saat ramai pemberitaan mengenai penemuan struktur baru di Situs Megalitikum Gunung Padang Cianjur, Jawa Barat, sempat muncul kabar bahwa di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, ada juga struktur batuan yang mirip dengan batuan yang ada di Gunung Padang Cianjur.
Struktur batuan di Majenang berbentuk kolom memanjang, menyeruak dari balik punggung bukit. Alhasil, bukit yang bernama asli Gunung Cendana, tempat bebatuan memanjang yang dinamakan Situs Batu Pabahanan itu, juga disebut “Gunung Padang” Cilacap.
Apa benar di Cilacap ditemukan kembaran Gunung Padang? Mochammad Aziz, ST., MT., geolog dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto bersama tim kemudian melakukan kajian geologi singkat di sekitar daerah “Gunung Padang” tersebut.
Batuan tersebut terletak di ketinggian sekitar 600 mdpl, berada di punggung bukit bagian tenggara Gunung Cendana. Wilayah singkapan batuan itu hanya kecil, sekitar 15 m x 7 m.
Menurut Aziz, batuan itu terbentuk secara alami, yaitu batuan andesit yang berupa retas/korok berbentuk columnar joint. “Sama seperti yang ada di Gunung Padang Cianjur,” kata Aziz. Struktur kolom berbentuk blok-blok segi lima, enam, tujuh, maupun persegi delapan. “Sebagian besar berbentuk blok kolom persegi enam dan delapan,” terang Aziz.
Masalahnya, apakah ada campur tangan manusia di susunan batu tersebut? Aziz menjelaskan, itu adalah fenomena geologi biasa. Tidak ada campur tangan manusia di sana. Kalau terlihat ada susunan batuan, itu adalah bentuk batuan kolom membeku kemudian mengkerut, akhirnya terjadi patahan. “Apalagi, ketika saya tanyakan ke juru kunci, Pak Suganda, ternyata tidak ada batuan semacam itu di titik lain,” terang Aziz.
Mengenai posisi kolom yang rebah horizontal, dengan orientasi timur laut-barat daya, itu karena ada patahan. “Biasanya memang batuan andesit semacam ini muncul secara vertikal. Yang ini sudah terjadi deformasi, sehingga mencuatnya horizontal. Indikasi kuatnya, batuan tersebut muncul ke permukaan karena adanya patahan,” kata Aziz. Aziz memperkirakan umur batuan tersebut 5-10 juta tahun yang lalu.
Lebar singkapannya itu sekitar 7 m, dengan tinggi 15 meter. Bentuknya utuh, dan tidak ada semacam kuncian-kuncian antarbatu. Ada bentukan yang mirip kuncian. Tapi setelah diamati, itu memang pola retakan alami.
Di Purwokerto-Purbalingga, banyak ditemui fenomena alam macam ini. Lapangan Geologi Karangsambung, misalnya.”Yang fantastis lagi, itu deket Pelabuhan Ratu. Di belakang Hotel Queen’s Port. Ada bentukan tiang-tiang besar batuan andesit,” kata Aziz.
(J.B. Satrio Nugroho)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR