Pada malam 18 Oktober RPKAD dan tentara lokal menahan dan menangkap 800 orang yang dicurigai tersangkut G30S.
Pada 21 Oktober, tiga kompi RPKAD bergerak menuju Magelang, keamanan kota Semarang diserahkan kepada sebagian pasukan yang ditinggalkan.
Seperti di Semarang, kedatangan pasukan RPKAD disambut gembira oleh kelompok anti-komunis dan dirayakan dengan perusakan gedung dan rumah anggota PKI dan Baperki.
Setelah melakukan pembersihan di Magelang, pada hari berikutnya pasukan elit ini melanjutkan operasi ke Boyolali karena diterima info bahwa Kodim (Komando Distrik Militer) Boyolali sedang dikepung oleh ribuan Pemuda Rakyat dan anggota PKI yang bersenjata golok dan bambu runcing.
Memang, pada 22 Oktober terjadi perlawanan PKI di Boyolali dan Klaten.
Di desa-desa di seluruh wilayah itu, pohon-pohon ditebang dan dilintangkan di tengah jalan. Jaringan telepon diputus.
Pemuda Rakyat menyerang kantor polisi dan markas tentara berharap memperoleh senjata, karena mereka hanya punya pisau dan bambu runcing.
Oang-orang anti-komunis diculik dan dibunuh. Rumah mereka dibakar.
(Baca juga: Kesehatan Bung Karno Makin Merosot Pasca-Gestapu, Rakyat Jawa Timur Sebenarnya Mau Membantu tapi Ia Menolaknya)
Namun, perlawanan ini berlangsung sebentar saja. Banyak anggota komunis terluka dan RPKAD langsung memegang kendali.
Inilah perlawanan terorganisir PKI DI Jawa Tengah untuk terakhir kalinya.
Beberapa minggu setelahnya, memang masih terjadi pelawanan oleh Pemuda Rakyat, namun ini hanyalah insiden-insiden yang tak terkait satu sama lain.
Dengan demikian pada 23 Oktober Gestapu di Jawa Tengah telah habis.
Jalan lapang tersedia bagi RPKAD untuk memulai “pembersihan” komunis.
Karena Jawa Tengah terlalu luas dan padat bagi RPKAD, “Kami memutuskan,” kata Sarwo Edhie, “untuk mendukung warga sipil yang anti-komunis agar ikut membantu. Di Solo kami mengumpulkan para pemuda, dari kelompok nasionalis, organisasi religius (muslim). Kami memberi mereka pelatihan selama dua atau tiga hari, kemudian menugasi mereka untuk membunuh orang-orang komunis.”
Dan mulailah banjir darah pasca G30S.
Suatu tragedi kemanusian yang menjadi makin parah dan tidak terkendali sekaligus menjadi pelajaran sejarah karena melibatkan warga sipil dan ormas-ormas yang dipersenjatai.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR