Di saat-saat terakhir itulah Sugiarto menyaksikan ketegaran ayahnya sebagai seorang militer yang berjiwa pemimpin.
Bahkan hingga Mahkamah Militer Luar Biasa menjatuhinya hukuman mati, ayahnya tampak tetap tenang.
Sugiarto ingat, 15 Mei 1970, sehari sebelum pelaksanaan eksekusi, seluruh keluarga berkumpul terakhir kali dalam suasana hangat.
Waktu yang diberikan lebih lama dari biasa, yaitu dua jam. Saat itu ayahnya memberi nasehat dengan memegang sebutir apel.
Ia menyuruh anak-anaknya untuk memecahkannya dengan genggaman tangan. Tentu tidak berhasil. Setelah apel di potong-potong, gampang dipecahkan.
“Kalau keluarga sudah terpecah belah, maka kalian akan gampang dihancurkan,” pesan terakhir Supardjo yang diingat betul anak-anaknya.
Semula Supardjo meminta agar eksekusi dilakukan dengan mata terbuka. Tapi setelah dibicarakan dengan keluarga, niat itu urung dilaksanakan.
Saat itu Sugiarto sempat mengajukan permintaan terakhir, yaitu agar ayahnya mati secara gagah.
Pagi-pagi sekali setelah pelaksanaan eksekusi, Mr. Suwadji, pengacara Supardjo datang untuk memberitahu keluarga.
Ia juga khusus menemui Sugiarto. “Ayahmu matinya gagah,” katanya.
Sugiarto bangga, meski hingga kini ia mengaku tidak pernah tahu di mana kubur ayahnya.
“Tapi di mana pun jasad beliau, doa kita akan sampai juga,” kata pria berperawakan besar ini.
Karena masih kecil, tak banyak yang bisa diingat Ilham tentang sosok DN Aidit.
Seingatnya, ayahnya adalah orang yang sibuk bekerja dan tenggelam dalam tumpukan buku di meja kerja.
“Kalau ayah pulang kerja, yang dicari adalah anak-anaknya untuk diangkat tinggi-tinggi,” kata Ilham.
Seperti Sugiarto, ia juga mengaku tidak mengetahui tempat pusara ayahnya.
“Sebagai orang Timur, ada juga keinginan untuk mengurus kubur orangtua,” katanya pelan.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR