Justru keadaan inilah antara lain yang memungkinkan Mulyono dapat mengumumkan pembentukan “Derev”.
Tanggal 2 Oktober, tanggal mendaratnya DN Aidit di Yogyakarta (ia bertolak dari lapangan terbang Halim jam 1/30 malam dan tiba di Yogya jam 3.00 pagi), Pemuda Rakyat, CGMI, dan sebangsanya menempelkan plakat di mana-mana, yang pada pokoknya mendukung “Derev” dan mengutuk apa yang disebutnya “Dewan Jenderal”.
RRI yang dikuasai Mulyono, pada tanggal 2 Oktober itu juga mengumumkan larangan mendengarkan Radio Jakarta. Suasana umum takut-khawatir-takut.
Ada apa? Banyak orang tidak tahu keadaan yang sesungguhnya.
Sekali lagi, seandainya Mulyono cepat bertindak, mungkin di antara tokoh-tokoh yang sudah ditimbun di lubang-lubang buatan PKI.
Kekosongan kekuatan fisik di Yogyakarta dapat kiranya dilihat dari kenyataan, bahwa sampai minggu terakhir bulan Oktober, orang-orang PKI masih berkeliaran dengan bebasnya.
Jadi sebenarnya berani sekali orpol-ormas yang mengaakan Rapat Besar di Alun-alun Utara pada tanggal 20 Oktober, dengan tuntutan utama supaya PKI dibubarkan.
Rapat ini diadakan di tengah-tengah sorotan mata orang-orang PKI. Banyak di antara mereka yang menyaksikannya!
Mengapa Mulyono tidak bertindak? Mungkinkah orang-orang PKI yang sering diamankan mengenangkan dengna penuh rasa kecewa saat-saat itu.
Mungkinkah ia bimbang dengan cepat gagalnya kup di Jakarta? Sungguh tragis, bahwa dia sendirilah akhirnya yang ditangkap di daerah Boyolali; daerah, yang dijadikan titik-tolak untuk membuka kenang-kenangan ini.
Sekarang dia tidak dapat mengelakkan tanggung jawab atas pembunuhan kejam terhadap atasannya: Komandan Korem 73 Brigjen Anumerta Katamso dan Kelapa stafnya Kolonel Anumerta Sugiyono.
(Oleh Drs. P. Swantoro seperti pernah dimaut di Majalah Intisari Oktober 1967)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR