Find Us On Social Media :

Hewan-hewan pun Ikut Menangis saat Upacara Melepas Arwah Leluhur Berpisah dengan Dunia

By Moh Habib Asyhad, Senin, 11 September 2017 | 18:00 WIB

Intisari-Online.com – Poron yang serupa parang dengan panjang 75 -100 an mulai beraksi. Senjata tajam yang, konon, juga diisi doa-doa itu mampu memenggal kepala hewan kurban sekali tebas.

Itulah inti kegiatan upacara wihi lii unur di Tana Ai, Flores. Bukan sekadar memotong hewan, makan besar, joget, atau  begadang, upacara itu justru suatu bentuk bakti sebuah generasi pada generasi sebelumnya.

Masyarakat Tana Ai, Flores, Nusa Tenggara Timur, memiiiki tradisi unik. Mereka percaya, roh orang meninggal tetap berada di antara keluarga.

Ia  tetap makan, menjalankan kegiatan seperti ketika hidup, bahkan juga bekerja di kebun untuk mencukupi kebutuhannya.  Namun, tentu saja, dengan cara berbeda.

Bentuk penghormatan paling nyata tampak ketika hendak bersantap. Usai berdoa, setiap orang akan membuat piong, sebungkal kecil makanan dan lauk dari piring masing-masing yang ditaruh di pinggir piring.

(Baca juga: Keliling Flores Bersua Gading Beranak)

Piong ditujukan bagi keluarga dekat yang telah meninggal sebagai ungkapan memberi makan.

Ikatan itu tetap erat, sampai diadakan upacara ritual wihi lii unur - mengantar leluhur menuju kedamaian abadi di surga.

Karena bentuk bakti anak-cucu pada leluhur, meskipun menelan dana berjutaan rupiah, upacara itu tetap berlangsung.

Pantang mengeluh capek

Keluarga besar Goban misalnya, sepanjang upacara itu memotong tak kurang dari 100 babi dan kambing. Memang banyak, karena seliap leluhur "diantar" dengan dua kambing atau babi, sementara kali itu ada 42 leluhur yang akan diupacarai.

"Kami tak boleh sebut berapa dana habis, pire (tabu). Gambarannya seperti kalau untuk membuat rumah ukuran 8 x 12 m," kata Pak Blasius.

"Pemerintah pernah larang juga upacara ini, alasannya pemborosan. Tapi demi ketenangan arwah orang tua, kami harus tetap lakukan," tambahnya.