Penulis
Intisari-Online.com – Kali ini bukan soal argo kuda atau sopir nakal. Tapi justru multiperan yang mereka jalani. Ada yang dicarter untuk membuntuti suami nyeleweng.
Narik penumpang ganda, bahkan ada yang dibayar innatura. Lucu, unik, dan menarik.
Profesi sopir mungkin dapat dikatakan unik. Posisinya samar-samar antara jabatan pesuruh yang kerjanya serabutan dan tenaga profesional dengan jobdescription dan tanggung jawab jelas.
Ini tercermin dari apa yang dilakukan seorang sopir pribadi. Terlebih bila karena sesuatu sebab dan lain hal, si majikan tidak harmonis satu sama lain.
Yang sering terjadi, oleh satu pihak sopir dijadikan "agen" untuk memata-matai perilaku pihak lain. Begitu sebaliknya. Tidak jarang ia menjadi agen ganda.
Dalam peta keluarga yang demikian sopir mengetahui "luar-dalam" hubungan suami-istri majikannya, karena kedua seteru masing-masing mengungkapkan semua hal tentang lawannya.
Untuk "jasanya" menjadi agen ini, sang majikan tak segan-segan merogoh kocek sekadar tip untuk sopirnya yang setia.
Dalam porsi yang agak berbeda, sopir taksi pun amat mudah terjebak pada multiperan yang datang setiap saat tanpa bisa dihindari.
Di tengah profesi kerja sopir yang unik tersebut, saya pernah menjadi sopir taksi beberapa tahun di Semarang.
Tadinya saya hanya membayangkan bahwa deskripsi tugas sopir taksi sekadar mencari setoran dan setelah itu meraih "margin" untuk dibawa pulang. Ternyata pandangan itu terlalu simplistis.
Lika-liku di balik "mencari" setoran sering kali di luar bayangan kita pada umumnya.
Menguntit suami nyeleweng
Permintaan-permintaan penumpang yang lucu, aneh, dan menjengkelkan terkadang harus dihadapi.
Bayangkan, di tengah keramaian kota seorang penumpang tanpa mau tahu alasan kita meminta agar bisa sampai di bandara jam sekian.
Padahal, waktu yang tersisa tinggal lima menit lagi. Dalam perjalanan normal saja, jarak itu harus ditempuh dua puluh menit! Gila nggak?
Untung, pengalaman yang menghibur pun tak kalah seringnya. Pernah, seorang langganan meminta saya mengantarkan binatang peliharaan ke rumah familinya, karena ia sendiri akan pergi ke luar kota.
Si Doggy, anjing mungil berbulu lebat itu, saya taruh di kursi depan. Ia duduk manis di sana, mungkin menikmati perjalanannya, mungkin juga karena sudah agak kenal dengan saya.
Dasar pikiran cari duit, ketika ada calon penumpang (selanjutnya saya akronimkan Ionpang saja biar lucu) melambaikan tangan, mobil saya hentikan.
"Mari, Bu, mau pergi ke mana ..." dan seterusnya sekadar basa-basi.
"Lo, kok ada penumpang lucu di depan," rupanya si ibu entah nyindir entah tulus ingin tahu tentang kehadiran si Doggy.
"Ya, Bu, tadi ibunya anak-anak pergi ke puskesmas dan ia titip anjing kesayangannya."
"Oh, ... begitu. Lucu ya, anjingnya," katanya sembari mengelus-elus si Doggy yang merem-melek kegirangan.
Mungkin penumpang tersebut mikir juga, mana mungkin sopir taksi pelanggan puskesmas ini punya pet yang mahal harganya! He-he-he.
Itu salah satu kiat nakal saya. Sudah berpenumpang, masih narik juga.
Kali berikutnya saya punya pengalaman lain. Rupanya lonpang percaya penuh pada saya saat pandangan pertama.
Seraya memerintahkan ke sebuah kantor beken, seorang wanita cantik estewe (baca: setengah tua) minta dijemput besok paginya sekitar pukul 10.00.
"Ini fotonya dan itu mobilnya, yang warnanya biru tua," katanya sambil, menyerahkan pasfoto ukuran kartupos ketika kami sampai di kantor yang dituju.
"Nah, sekarang antarkan saya pulang, dan jangan lupa besok pagi pukul 10.00."
Besoknya ternyata saya tidak mengangkut penumpang manusia. Yang saya jemput sebuah telepon genggam yang waktu itu masih "wah" di kota saya.
"Maksud Ibu ...?"
"Begini. Foto yang saya serahkan kemarin itu suami saya. Tugas kamu cuma nongkrong di sekitar kantornya dan awasi dia. Kalau suami saya pergi kamu harus kontak saya dan laporkan ke mana perginya. Jika perlu akan saya jebak dia. KTP kamu mana, buat jaminan."
Wah, rupanya ada "perang dunia" di rumah tangga nyonya kaya itu. Saya senang-senang saja. Bensin tidak kurang, argometer jalan terus!
Pukul 12.30, sang bapak baru keluar. Bawa perempuan lagi. Kontan saya kontak penyewa saya lengkap dengan laporan perihal perempuan yang saya lihat. Bayangkan, bagaimana reaksi si ibu.
Apalagi setelah saya laporkan via telepon genggam bahwa mobil bergerak ke arah selatan kota di perbukitan yang banyak hotel dan motel!
"Bu, berhenti di hotel X. Tetapi tampaknya ada acara resmi Bu,” lapor saya.
Dua puluh menit kemudian setelah ia memerintahkan saya untuk tetap di tempat, sang ibu datang dengan taksi lain.
"Dia masuk dari pintu mana? Sudah keluar belum?" tanyanya penuh penasaran sambil masuk taksi saya.
Lebih dari satu setengah jam kami berdua ada di dalam taksi.
Kali ini bensin berkurang, karena mesin hidup terus agar AC jalan. A sampai Z-nya hubungan mereka berdua sejak kenalan pertama sampai sekarang masuk ke memori saya.
Entah berapa megabite informasi itu masuk sebagai GIGO (Garbage In Garbage Out).
"Itu Bu, Bapak pulang!"
"Ooalaaa, dik! Perempuan itu 'kan kakak saya. Dia bos suami saya di kantornya. Ayo,pulang cepat!"
Dalam hati saya terkekeh geli. Yang penting, saya dibayar cukup tinggi untuk jadi "detektif ketengan".
Kerja lima jam dibayar sehari setoran plus untung satu setengah hari kerja! Lumayan ....
Teman jadi ayam
Yang saya jumpai kali ini bukan ayam bekisar yang aduhai harganya atau petelur yang bisa ngendhog alias bertelur berton-ton setiap ekornya.
Bukan! Secara terminologis ayam yang satu ini mengacu pada (maaf) wanita tuna susila. Sedangkan peternakan berarti tempat penampungan si ayam.
Bisnis yang konon tertua di dunia ini secara intens melibatkan para sopir taksi juga.
Jika kebetulan Anda berjumpa sopir taksi yang secara khusus nyambi sebagai pialang ayam, jangan terkejut.
Ia secara profesional bisa menjelaskan dan mencarikan model apa pun dari koleksi ayam yang ia miliki di "katalog".
Mau yang anak SMTA, mahasiswa, ibu-ibu kesepian, karyawati, atau sekadar dari peternakan yang sudah menjadi rahasia umurn sangat dikenal.
Hampir di setiap kota ada peternakannya yang masing-masing memiliki jenis atau kelas kualitas ayamnya.
Bagi para pialang, uang setoran taksi bukan lagi menjadi masalah besar. Bahkan taksi yang dibawanya boleh dianggap sebagai mobil sewaan dengan tarif murah sehari semalam.
Pasalnya, ia bisa menggaet komisi lumayan dari peran gandanya sebagai pialang ayam. Kurang lebih 20 - 30% dari tarif ayam. Tetapi untuk ayam ketengan di lokalisasi tidak ada komisi bagi sopir taksi.
Sebelum memahami bisnis ini, saya sempat terheran-heran bagaimana taxi-driver beginian yang bekerja santai bisa menutup setoran dan bisa pula membawa uang ke rumah.
Suatu malam, melalui radio panggil sebuah hotel memerlukan tiga buah taksi.
Keperluannya, mengangkut penumpang mancanegara dari negara tetangga yang berada di kota saya dalam rangka perundingan bilateral.
Saya bilang pada dua sopir taksi lainnya, bahwa tamu-tamu itu mau cari ayam. Sekaligus saya minta salah satu dari mereka menjadi pemimpin rombongan.
Peraturdn di semua perusahaan taksi – yang melarang sopir menolak penumpang kecuali dalam keadaan darurat demi keamanan – memaksa saya harus mengantar mereka juga.
Setelah putar-putar kota keluar-masuk peternakan untuk mencari yang cocok, ya ampuun ternyata mereka cari yang ketengan di lokalisasi! Mungkin sudah bokek, cari yang murah dan meriah. .
Pengalaman malam itu menjadi pelajaran berharga. Untuk pertama kali saya melihat bagaimana perempuan-perempuan dipasang di semacam ruang etalase untuk diperjualbelikan.
Calon pembeli bisa berbincang dengan sesekali meraba-raba bagian tubuh si perempuan yang diminatinya untuk memastikan bagus tidaknya.
Sehubungan dengan "bisnis" ayam ini suatu ketika saya melihat kenyataan yang cukup mencengangkan.
Saya mengangkut seorang penumpang yang saya yakini sebagai ayam ke sebuah hotel/motel yang sangat dikenal sebagai tempat kencan.
Di sana dia minta diturunkan di garasi kamar yang tertutup rolling door-nya. Di pintu kamar sudah menunggu seorang bapak yang agaknya sudah tidak sabar lagi menanti lebih lama.
Yang membuat saya terkejut, si ayam ini ternyata adik kelas saya di kampus bahkan satu unit kegiatan.
Masih terbayang jelas dalam ingatan, sepuluh tahun silam ketika saya sempat berprasangka buruk tentang dia karena penampilannya kala itu yang wuah ...
Baik cara berpakaian, gaya duduk, dan bicaranya yang provokatif, menantang. Saya juga sangat ingat ketika sebagai senior saya diminta untuk turut mengawasi ujian semester.
Dengan pakaian yang ketat di tubuhnya yang memang aduhai, caranya duduk mau tidak mau membuat mata pria jelalatan.
la sengaja tampil demikian justru dalam forum ujian, tujuannya tak lain mengalihkan perhatian pengawas untuk menutupi kecurangan yang dilakukannya.
Kecurangan itu saya tangkap yang berakibat dia harus mengikuti ujian ulangan. Saat ini ia menjadi penumpang saya!
Untuk memastikan profesinya, saya sengaja menanyakannya pada rekan sopir taksi yang amat profesional sebagai pialang ayam.
"Ooo ... dia memang langganan bapak-bapak gedhe dari Jakarta. Mahal tarifnya, lagi pula dia pilih-pilih!"
Karena khawatir akan terpengaruh bila terlalu sering terlibat dalam urusan macam ini, maka sejak saat itu saya putuskan hanya bekerja di siang hari.
Dua belas jam sisanya di malam hari, mobil saya serahkan pada sopir lain yang menjadi pasangan tetap saya.
Ditolak sang anak
Pukul 04.30 pagi itu, ada panggilan untuk menjemput seorang calon penumpang, sebut saja Ny. Anna.
"Mas, kita cari kendaraan apa saja yang ke Jakarta."
Dalam hati saya berpikir, mana ada kendaraan umum yang berangkat sepagi itu.
Pesawat pertama baru pukul 06.00 nanti, KA Fajar pukul 08.00, travel baru sore nanti, bus antarpropinsi juga baru sore dan malam nanti.
Lagi pula Semarang sedang dikepung banjir. Tak satu pun kendaraan umum yang bisa keluar atau masuk kota kecuali dari pintu selatan, sejak dua hari lalu.
"Tetapi klta coba saja," kata Ny. Anna terburu-buru ketika hal itu saya jelaskan.
Karena pada akhirnya tidak berhasil mendapatkan kendaraan, saya tawari ke Yogyakarta atau Solo. Dari sana ia bisa terbang ke Jakarta. Ny. Anna setuju dan berangkatlah kami.
Dalam perjalanan ke Yogya ia mencurahkan segala permasalahan yang ia hadapi. Begini kisahnya, kedatangannya ke Semarang ini untuk menemui putrinya yang sedang studi di Universitas Diponegoro, tetapi justru si anak menolak mentah-mentah kedatangannya.
Wajar, kalau ia sangat terpukul. "Kalau memang Bapak main serong dan Ibu tidak sanggup menanggung derita, mengapa Ibu datang ke Semarang harus diantar Oom itu. Mengapa?" Ny Anna menirukan protes putrinya.
"Padahal Mas, dia adalah sahabat keluarga kami sejak lama. Bahkan dengan saya sudah seperti adiknya. Nah, apakah salah kalau saya mencurahkan permasalahan yang saya hadapi pada sahabat dekat? Apa pendapat Mas sendiri?"
"Yaah, memang pelik. Kebetulan saya juga pernah mengalami hal serupa. Orang tua saya sendiri akhirnya harus cerai, dan saat itu dua kali Ibu nyaris bunuh diri. Masalahhya, sampai sejauh mana hubungan ibu dan si Oom tadi ...."
"Jadi Mas juga tidak percaya seperti anak saya?"
"Saya bisa mengerti mengapa putri Ibu jadi demikian."
Begitu seterusnya dan akhirnya kami masuk Yogya 150 menit kemudian. Saya pun kenyang dengan segala masalah keluarga ini yang diceritakan Ny. Anna sepanjang jalan.
Itulah sekelumit pengalaman unik sebagai penarik taksi. Memang ada enaknya mendapatkan penumpang "bermasalah" seperti di atas.
Kalau sudah begitu, mereka tak lagi memikirkan besarnya uang yang dikeluarkan atau argometernya.
Oleh karena itu pemeo yang mengatakan bahwa, penumpang asing tidak peduli dengan angka di argometer sementara penumpang lokal tidak sempat melihat pemandangan di luar karena mata mereka terpaku pada tarif di argometer, dalam banyak hal tidak benar.
Entah karena gengsi atau sebab yang lain, penumpang lokal biasanya malah tidak peduli pada argometer.
Mungkin ada satu dua yang cukup teliti dan sesekali melihat argo berputar, tetapi sebagian besar tidak.
Bahkan dalam membayar ongkos taksi, penumpang lokal lebih royal ketimbang turis asing. Orang asing amat teliti bertanya soal tarif taksi.
Mungkin Tourist Manual mereka untuk jasa angkutan di Indonesia mencatat bahwa di sini banyak sopir taksi brengsek.
"Flagfall-nya berapa? Satu kilometer brikutnya berapa?" itu yang pernah ditanyakan pada saya.
Penumpang lokal mana ada yang tahu istilah flagfalll. Bahkan tak satu pun sopir taksi di Semarang yang tahu istilah itu. • (Abang Rahino)
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1995)