Penulis
Intisari-Online.com -Kredibilitas Aung San Suu Kyi sebagai penerima Hadiah Nobel kembali dipertanyakan. Hal ini tentu saja terkait dengan terjadinya konflik di Rohingya yang terus memakan jiwa.
Protes kali ini keluar dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Menurutnya, Suu Kyi tak pantas menerima Nobel Perdamaian yang ia terima pada 1991 itu.
(Baca juga:Aung San Su Kyi Dikritik oleh Dalai Lama tentang Isu Rohingya)
“Dia tak memperjuangkan nilai kemanusiaan, tapi hanya memperjuangkan dirinya sendiri,” kecam Jimly, Jumat (1/9), seusai menjadi khatib shalat Idul Adha di Masjid Al Azhar, Jakarta.
Panitia Nobel dalam situsnya menyatakan, Suu Kyi menerima Nobel Perdamaian karena perjuangan anti-kekerasan untuk demokrasi dan hak asasi manusia.
“Dia itu produk sistem feodal, anak dari perdana menteri pertama (Myanmar), anak pendiri negara, bukan karena (capaian) dirinya,” imbuh Jimly.
Kecaman terhadap sikap Suu Kyi atas konflik Rohingya di Myanmar terus berdatangan pula dari banyak tokoh, baik di Myanmar maupun global.
The Guardian pada edisi 30 Desember 2016 memuat artikel kecaman lebih dari selusin penerima Nobel terhadap Suu Kyi.
Harian ini pun menyertakan hyperlink surat terbuka para penerima aneka Nobel tersebut yang terhubung ke halaman Facebook Muhammad Yunus—penerima Nobel Perdamaian 2006.
Di situs pengumpulan dukungan Change.org, misalnya, juga sudah muncul ajakan untuk meminta pencabutan Nobel Perdamaian dari Suu Kyi, yang diinisiasi oleh Emerson Yuntho.
Ajak umat Buddha peduli Rohingya
Selain mengecam sikap Suu Kyi yang tak berpihak pada nasib Rohingya di Myanmar, Jimly juga meyerukan ajakan kepada umat Buddha untuk peduli pada suku Rohingya. Ajakan ini dia serukan baik kepada umat Buddha di Indonesia maupun dunia.
“Mudah-mudahan kalau tokoh Buddhis di Indonesia bisa bantu perjuangkan, Rohingya tak akan terlalu dizalimi,” harap Jimly.
Menurut Jimly, kepedulian umat Buddha terhadap Rohingya akan memberikan dampak yang lebih efektif. Sebagai catatan, sensus penduduk Myanmar pada 2014 mencatat, 87,9 persen warganya memeluk agama Buddha.
“Dunia dan Asia pada umumnya yang banyak penduduk Buddhis-nya, kita imbau tunjukkan semangat toleransi, semangat kemanusiaan. Kalau mereka yang tampil membela Rohingya, itu akan jauh lebih efektif,” ungkap Jimly.
Terkait laporan yang diterbitkan The Advisory Commission on Rakhine State—melibatkan Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, Jimly melihatnya sebagai sebuah solusi. Namun, kata dia, usaha lain yang bersifat kultural juga tetap harus dilakukan, termasuk upaya menggerakkan tokoh-tokoh umat Buddha.
“Tokoh-tokoh Buddhis ini juga perlu. Dampaknya nanti juga komunikasi politik di dalam negeri. Jadi, Indonesia melindungi orang Buddhis di sini juga wajar, saling lindung-melindungi,” kata Jimly.
Adapun soal sikap Indonesia, Jimly berpendapat sudah seharusnya bersuara lantang. Terlebih lagi, Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN.
(Artikel ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul "Jimly: Aung San Suu Kyi Tak Pantas Terima Nobel Perdamaian")