Mengenang Chernobyl: Sempat Dianggap Bencana Nuklir Biasa, Ternyata Tewaskan Ribuan Nyawa

Ade Sulaeman

Penulis

Kendati sudah berlangsung lama sekitar 30 tahun lalu bencana nuklir yang terjadi di Chernobyl, Ukraina tetap menjadi pelajaran berharga.

Intisari-Online.com - Kendati sudah berlangsung lama sekitar 30 tahun lalu bencana nuklir yang terjadi di Chernobyl, Ukraina tetap menjadi pelajaran berharga.

Bencana nuklir yang merupakan insiden terburuk di dunia itu setidaknya telah memunculkan solusi secara internasional dan terpadu sehingga bisa diterapkan untuk menangani bencana nuklir berikutnya.

Bencana Chernobyl diawali saat sebuah uji coba sistem dilakukan pada 26 April 1986 di reaktor nomor 4 yang terletak di kota Pripyat, tak jauh dari perbatasan dengan Belarus dan Sungai Dnieper.

Tiba-tiba, terjadi lonjakan daya dan saat prosedur darurat untuk mematikan reaktor dilakukan, terjadi gelombang daya yang lebih besar yang memicu pecahnya reaktor dan serangkaian ledakan.

Api yang dihasilkan ledakan reaktor itu mengirim debu radioaktif ke udara dan menerbangkannya ke sebagian besar wilayah Uni Soviet dan Eropa.

Akibatnya, dari 1986-2000 atau selama 14 tahun, sebanyak 350.400 orang dievakuasi dan dipindahkan dari daerah-daerah yang paling terkontaminasi di Belarus, Rusia, dan Ukraina

Jika dilihat dari saat kejadian dan teknis penanganan ketika Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Chernobyl terjadi memang dilakukan secara gegabah.

Maklum saat itu Ukraina masih berada dalam kekuasaan komunis Uni Soviet yang tertutup dan berakibat pada pemberitaan bencana nuklir Chernobyl yang juga sangat tertutup.

Padahal akibat ledakan reaktor nuklir PLTN di Chernobyl debu radioaktinya sudah terbang ke udara dan makin mengancam sejumlah negara di Eropa.

Pemerintah komunis Rusia bersikap seolah-olah ledakan di Chernobyl hanya kecelakaan pabrik biasa.

Gedung pembangkit listrik lain yang selamat terus dioperasikan karena pemerintah tidak punya pilihan lain guna memenuhi kebutuhan daya listrik.

Bencana yang sejatinya merupakan ledakan nuklir ini sangat dirahasiakan, sehingga konon beberapa negara bagian Rusia baru mengetahui realitas bencana ini 6 tahun kemudian.

Namun akibatnya rakyat mengonsumsi air, sayuran, ternak, dan susu dari wilayah Chernobyl yang telah terkontaminasi radio aktif.

Rahasia ini baru terungkap secara internasional ketika ada pemeriksaan pada buruh pabrik nuklir di kota Forsmark, Swedia, yang berjarak 1100 km dari Chernobyl.

Pada pakaian para buruh ini terdapat serbuk-serbuk radio aktif, padahal di sana tak ada kebocoran nuklir.

(Baca juga: Nahas! Diandalkan untuk Cegat Rudal Nuklir Korut, Kapal Perang AS Malah Tabrakan di Selat Malaka)

Kenyataan ini menjadi bukti atas desas-desus yang santer beredar saat itu. Rusia pun terpaksa mengizinkan para peneyelidik dari luar memeriksa kasus Chernobyl.

Walaupun cukup banyak peneliti yang terlibat, namun tidak tercapai kesepakatan mengenai penyebab mala petaka itu.

Secara garis besar, temuan para ahli bisa digolongkan dua kategori: kelompok yang mengatakan penyebabnya adalah kesalahan manusia, misalnya karena kecerobohan atau kurang pengalaman.

Kelompok ahli lain mengatakan kesalahan terletak pada desain mesin reaktor pembangkit listrik Chernobyl. Penanganan untuk mengatasi bencana nuklir oleh pemerintah Uni Soviet ternyata dilakukan secara tidak seri

Cara gegabah pemerintah Uni Soviet dalam menangani bencana nuklir adalah dengan mengerahkan tim pemadam kebakaran yang sama sekali tidak dilengkapi perangkat antiradiasi.

Tim pemadaman kebakaran itu bahkan tidak diberi informasi bahwa yang sedang ditangani tentang bencana nuklir sehingga semua anggota tim pemadam banyak menghirup asap radioaltif dan menjadi korban.

Selain para petugas pemadam dan tim penyelamat yang tewas puluhan pegawai PLTN juga tewas.

Angka korban tewas bahkan mencapai jumlah lebih dari 4000 orang setelah ratusan ribu anggota tim penyelamat yang bekerja dengan peralatan kurang memadai diterjunkan demi menyelamatkan warga dari kota-kota yang sudah terkontaminasi radiasi nuklir.

Banyak warga dari kota yang sudah terkontaminasi tewas karena masih minimnya fasilitas kesehatan untuk menangani korban bencana nuklir.

Angka ini bahkan belum termasuk sekitar 50.000 orang yang tinggal di kawasan yang lebih luas, yang kemudian menderita kanker akibat radiasi. Dari 50.000 penderita kanker itu, separuhnya meninggal dunia.

Pasca tragedi Chernobyl masalah baru terus saja bermunculan dan butuh penyeselasin secara internasional.

Rencana pembangunan reaktor 5 dan 6 yang pernah dikerjakan akhirnya dihentikan tiga tahun setelah bencana terjadi.

Tapi bahaya dan ancaman radiasi akibat meledaknya reaktor nomor 4 masih belum selesai karena masih banyaknya uranium yang tertimbun.

Untuk mencegah radiasi tidak menguap lewat udara, reaktor yang hancur itu kemudian disegel menggunakan 200 meter kubik beton yang ditempatkan di antara lokasi bencana dan bangunan yang masih mengoperaskan reaktor nuklir.

Meski demikian, Pemerintah Ukraina tetap mengoperasikan tiga reaktor tersisa karena terbatasnya sumber listrik di negeri tersebut.

Pada 1991, turbin reaktor nomor 2 terbakar dan Pemerintah Ukraina mengumumkan reaktor itu tak bisa diperbaiki lagi dan dimatikan.

Reaktor nomor 1 dimatikan pada November 1996 sebagai bagian kesepakatan antara Ukraina dan beberapa organisasi internasional, termasuk IAEA.

Untuk mengakhiri proses operasional reaktor nuklir di kawasan Chernobyl secara menyeluruh semua reaktor memang harus ditutup.

Pada 15 Desember 2000, Presiden Ukraina Leonid Kuchma di tengah kontroversi bahaya nuklir yang mulai mengguncang politik negara akhirnya berani melakukan tindakan tegas.

Presiden secara politis mematikan sendiri reaktor nomor 3 dalam sebuah seremoni yang sekaligus mengakhiri riwayat operasinal reaktor PLTN Chernobyl yang di masa Uni Soviet telah menciptakan mala petaka yang efeknya hingga mencapai seluruh Eropa itu.

Dari sisi teknik penyelamatan bencana nuklir Ukraina telah memberikan pengalaman berharga bagi badan internasional seperti PBB, United National Development Program (UNDP) dan lembaga atom internasional, International Atomic Energy Agency (IAEA).

Bahwa penanganan bencana nuklir harus dilakukan secepatnya mulai dari informasi hingga mengkondisikan masyarakat yang masih bertahan hidup di lingkungan beradiasi rendah.

Informasi tentang bencana nuklir dan bagaimana mengatasinya harus dilakukan oleh lembaga dan orang-orang yang sudah terpercaya serta menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.

Penanganan bencana nuklir harus ditangani secara profesional oleh tim penyelamat dan menggunakan peralatan memadai yang bisa menghindarkan tim penyelamat dari ancaman radiasi.

Demi menagani bencana nuklir secara aman dan profesional lembaga seperti Palang Merah Internasional telah membuat komitmen bahwa tugas tim penyelamat harus mengutamakan keselamatan diri melalui prosedur yang benar.

Oleh karena itu kerja sama internasional untuk menangani kecelakaan nuklir antara Palang Merah Internasional dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) , PBB harus terus ditingkatkan sehingga makin siap untuk menghadapi keadaan darurat nuklir.

Kerja sama internasional untuk menanggulangi bahaya nuklir selama ini sudah terjalin dan melibatkan negara-negara operator energi nuklir seperti AS, Jepang, Jerman, Ukraina, Belarus, Rusia, dan Austria.

Kerja sama internasional itu sendiri telah menemukan standar internasional untuk menangani bencana nuklir seperti prosedur evakuasi, distribusi alat pelindung, dukungan psikologis, sistem pemulihan dan pemantaun jangka panjang untuk korban bencana nuklir, dan lainnya.

Sistem penanganan bencana nuklir yang terbangun setelah ledakan nuklir di Chernobyl itu terbukti berungsi secara efektif ketika diterapkan untuk menangani benacana nuklir di Fukushima, Jepang.

Pada intinya penanganan bencana nuklir sangat tergantung pada kesiapan tim penyelamat pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional yang mampu memberi respon secepatnya dan bekerja sama secara efektif.

Sehingga tindakan yang cepat itu bisa meminimalkan dampak bahaya nuklir dan ancaman radiasi.

Selain itu karena bencana nuklir juga sangat berdampak kepada kemanusiaan, kerjasama IAEA dengan berbagai lembaga kemanusiaan sangat penting dilakukan demi penanganan para korban bencana nuklir, khususnya penanganan secara psikologis.

Artikel Terkait