Penulis
Intsiari-Online.com – Itulah yang dialami orang Jepang. Payung dibuat berlipat supaya ringkas, Televisi sekarang sudah bisa dibawa-bawa dalam bentuk arloji.
Bahkan dewa dibuat ringkas supaya bisa dibawa-bawa ke mana-mana.
Seorang mahaguru kesusasteraan dari Korea, Lee O-Young, merasa heran ketika mempelajari dongeng-dongeng Jepang.
Pahlawan-pahlawan dalam dongeng itu serihg digambarkan sebagai manusia kerdil.
Umpamanya saja, Issunboshi, anak laki-laki yang tingginya cuma satu inci. Atau Momotaro, anak laki-laki yang menetas dari biji buah peach.
Namun mereka itu bisa mengalahkan makhluk-makhluk yang jauh lebih besar.
Di tempat-tempat lain, termasuk Korea yang bertetangga, pahlawan biasanya digambarkan tinggi besar. Sebutan "Manusia kerdil" mempunyai arti merendahkan.
Di Jepang paradoks "raksasa kecil" bukan cuma dijumpai dalam dongeng, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kebudayaan, termasuk dalam bahasa, lambang dan imajinasi.
Payung lipat
Salah satu kata Jepang untuk membuat sesuatu ialah saiku. Sai artinya halus atau lembut, sedangkan ku artinya membuat. Membuat sesuatu artinya membuat barang yang kecil, yang lembut.
Bagi orang Jepang, barang yang dibuat kecil tampaknya lebih indah dan lebih kuat daripada yang orisinal.
Umpamanya saja bonsai, pohon-pohon yang dikerdilkan dan sekitei, miniatur kebun batu.
Bentuk puisi yang terpendek pun dimiliki oleh orang Jepang, yaitu haiku. Haiku harus bisa mengungkapkan alam dan perubahan musim dengan tujuh belas suku kata saja.
Peringkasan ini paling sederhana dan paling langsung diungkapkan oleh kipas lipat. Dulu orang Jepang mengimpor kipas yang bentuknya lebar dan kaku dari Cina dan Korea.
(Baca juga:Hiroo Onoda, Tentara Jepang yang Sampai Ajal Menjemput pun Tak Sudi Menyerah kepada Tentara Sekutu)
Mereka kemudian menemukan kipas yang bisa dilipat kalau sedang tidak dipergunakan. Lebih dari seribu tahun yang lalu kipas lipat diproduksi besar-besaran di Kyoto dan diekspor ke Cina.
Kipas lipat pun menyebar ke seluruh dunia dan merupakan produk Jepang yang pertama, yang populer di seluruh dunia.
Ini cuma salah satu kecenderungan Jepang yang paling awal untuk memadukan kepraktisan dengan keindahan.
Produk lain yang menunjukkan peringkasan (contractionism) ialah cochin, yaitu lentera kertas. Di negeri asalnya, yaitu Cina, benda itu tidak bisa dilipat.
Jepang pula yang menemukan payung lipat.
Dewa pun diringkaskan
Jepang merupakan satusa-tunya negara di Asia yang mengenal boneka sebagai mainan anak-anak sejak sebelum zaman modern. (Jadi bukan sebagai benda keagamaan.)
Di antara boneka Jepang yang paling ganjil bagi kita ialah anesama. Boneka wanita itu tidak mempunyai lengan, tidak mempunyai tungkai. Keindahan terletak pada kesederhanaannya.
Penghilangan lengan dan tungkai juga dijumpai pada kokeshi, boneka kayu yang digambari dan dalam daruma, yaitu boneka yang bentuknya hampir bulat saja.
Peringkasan tidak berarti kasar. Sebaliknya wajah dan rambut boneka-boneka itu digambari dengan halus dan cermat.
Dalam agama pun peringkasan itu kelihatan nyata. Jika Korea yang merupakan tetangga Jepang mencoba mendekati dewa, maka orang Jepang sebaliknya, mencoba memanggil dewa agar datang kepada mereka.
Dalam agama Shinto, kuil-kuil di gunung mempunyai cabang di desa-desa. Kuil desa ini bisa diringkaskan lagi menjadi omikoshi, yaitu altar pemujaan yang bisa dibawa-bawa.
Omikoshi ini kemudian diringkaskan lagi menjadi kamidana, yaitu altar mirriatur yang berada di rumah-rumah.
Dalam kamidana itu pelbagai dewa dianggap hadir berdampingan. Bahkan kamidana itu bisa diringkaskan lagi menjadi omamori, yaitu jimat yang bisa dipakai.
Gagasan untuk membawa surga ke dunia dapat dilihat dari contoh berikut : Kalau kita ingin menikmati keindahan alam, kita pergi ke alam di luar rumah.
Orang Jepang sebaliknya membawa alam ke rumah mereka dengan membuat alam tiruan, umpamanya saja hakoniwa, yaitu kebun dalam kotak dan ikebana, yaitu rangkaian bunga liar serta bonsai, pohon-pohon yang dikerdilkan.
Sempit = akrab
Salah satu bagian dari kebudayaan tradisional Jepang ialah sado, upacara minum teh, yang dilaksanakan dalam ruang yang kecil saja.
Orang Jepang menganggap ruang yang kecil ini mendatangkan keakraban. Dalam ruang-ruang yang kecil ini para samurai Jepang memperoleh ketenangan.
Pada masa Perang Saudara (1467 - 1568), orang Korea yang datang ke Jepang tidak bisa mengerti, mengapa para samurai menganggap ruang sempit seperti itu sebagai ruang istirahat.
Bagi mereka, ruang-ruang itu lebih mirip tempat persembunyian untuk menghindari musuh atau ruang untuk menyusun rencana rahasia.
Walaupun di zaman modern ini orang Korea dan orang Jepang dianggap sebagai bangsa yang sama-sama ulet, tetapi sebenarnya cara berpikir dan cara hidup mereka berbeda.
Umumnya orang Korea mengikuti prinsip dan berpegang pada ideologi-ideologi.
Sebaliknya, orang Jepang umumnya anti ideologi dan mempunyai rasa kewajiban antara perseorang yang kuat.
Kecil-kecil pembawa rezeki
Industri elektronika Jepang menunjukkan bentuk peringkasan pula. Orang Jepang mengembangkan micro computer dari computer besar penemuan Amerika.
Mereka mengembangkan walkman dari tape recorder yang berasal dari Jerman Barat.
Orang Jepang juga membuat portable radio dan video recorder yang bisa dibeli oleh masyarakat luas, padahal benda-benda itu tadinya benda yang dirancang hanya untuk bisnis dan ilmu pengetahuan, berukuran besar serta mahal.
Pada saat ini produk-produk yang ditandai dengan peringkasan mendatangkan sukses bagi pabrik-pabrik Jepang.
Peringkasan itu tidak hanya terbatas pada produk elektronika, tetapi juga dalam industri mobil.
Sukses Jepang dalam industri mobil diawali oleh mobil-mobil kecil. Slogan Toyota ialah "membuat Cadillac kecil", ketika mereka mengekspor Crown ke AS.
Bunyi pintu Crown dibuat sekokoh bunyi pintu Cadillac.
Jepang juga kuat dalam kamera-kamera dan arloji-arloji kecil.
Tidak mau jadi raksasa
Dalam manajemen pun Jepang menganut sistem peringkasan ini. "Saya tidak mencoba membuat perusahaan dan modal saya lebih besar," kata Masaru Ibuka, pemimpin Sony Corp.
"Perusahaan kecil lebih mudah menanggapi perubahan. Kalau perusahaan tumbuh terlalu besar, mereka sering ' kehilangan keluwesannya."
Kalau perusahaan-perusahaan AS bertujuan menjadi raksasa dengan melakukan merger (penggabungan), tetapi di Jepang perusahaan-perusahaan besar berusaha memisahkan perusahaan-perusahaan cabang, supaya masing-masing mengelola unit yang lebih kecil.
Jepang tampaknya selalu kalah kalau melakukan ekspansi. Mereka tidak berhasil berekspansi ke Korea pada akhir abad ke-16.
Ekspansi ke seluruh Asia menyebabkan Perang Dunia II dan berakhir dengan kesengsaraan.
Sebaliknya tradisi contractionism-nya itu patut dibanggakan. Ada baiknya kalau orang-orang lain juga belajar dari sukses mereka dalam bidang ini (Look Japan)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1982)