Find Us On Social Media :

Benarkah Orang-orang Cerdas Lebih Cenderung Menjadi Ateis? Begini Penjelasannya

By Moh Habib Asyhad, Selasa, 11 Juli 2017 | 19:45 WIB

Enam Cara Untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional (1)

Intisari-Online.com - Pertanyaan tentang mengapa orang-orang cerdas cenderung menjadi ateis sejatinya sudah muncul sejak zaman Yunani dan Romawi kuno.

Hubungan antara kecerdasan dan agama dapat dijelaskan jika agama dianggap sebagai naluri, dan kecerdasan merupakan kemampuan seseorang untuk melampaui naluri tersebut.

(Baca juga: Kisah Tukang Cukur Ateis

Begitulah yang disampaikan dua ilmuwan, Edward Dutton dan Institut Ulster untuk Penelitian Sosial di Inggris dan Dimitri van der Linden dari Universitas Rotterdam di Belanda dalam jurnal Evolutionary Psychological Science.

Model Asosiasi Kecerdasan-Ketidakcocokan yang diajukan oleh kedua penulis itu mencoba menjelaskan mengapa bukti sejarah dan data survei terbaru di berbagai negara dan kelompok mendukung adanya sifat yang tak sinkron antara kecerdasan dan agama.

Model ini didasarkan pada gagasan Savana-IQ yang dikembangkan psikolog evolusioner Satoshi Kanazawa. Ia bilang bahwa perilaku manusia akan selalu berlabuh di lingkungan di mana nenek moyang mereka berkembang.

Dutton dan van der Linden berpendapat, agama harus dianggap sebagai domain atau naluri yang berkembang, sedangkan kecerdasan memungkinkan orang untuk bangkit melampaui naluri mereka.

Kemampuan melampauai naluri sangat menguntungkan karena dapat membantu manusia dalam memecahkan masalah.

“Jika agama adalah domain yang berkembang maka itu adalah naluri, dan kecerdasan—dalam memecahkan masalah secara rasional—dapat dipahami sebagai kemampuan mengatasi naluri dan merupakan sifat penasaran secara intelektual dan dengan demikian membuka kemungkinan non-naluriah,” jelas Dutton.

Dalam proposal yang mereka ajukan, Dutton dan van der Linden juga menyelidiki hubungan antara naluri dan stres.

Mereka bilang, naluri cenderung bekerja ketika stres. Dengan menjadi cerdas, manusia dapat melampaui naluri mereka selama masa-masa stres itu.

“Jika agama sebuah domain yang berkembang layaknya naluri, maka akan semakin tinggi pada saat stres. Ketika stres, orang cenderung bertindak lebih naluriah. Ada bukti jelas untuk itu,” tambah Dutton.