Penulis
Intisari-Online.com – Hari ini baik pencarian dan perbincangan di dunia maya Indonesia dipenuhi oleh satu nama, Song Joong Ki.
Buktinya adalah pencarian di Google dengan kata kunci Song Joong Ki yang dilakukan lebih dari 200 ribu kali (seperti terlihat di Google Trend) serta trending topic di Twitter dengan tagar #SongSongCouple.
Bagi penggemar drama Korea, tentu saja “kehebohan” tersebut terasa wajar.
Sementara bagi mereka yang tidak suka atau bukan penonton setia drama korea, muncul pertanyaan, “siapakah Song Joong Ki?”
Jadi, Song Joong Ki adalah artis peran Korea Selatan yang bermain di drama fenomenal Descendants of the Sun (DOTS).
(Baca juga: Song Joong Ki dan Song Hye Kyo Akan Menikah: Berikut 7 Pasangan Film Terbaik Sepanjang Masa)
Nah, nama sang artis menjadi ramai diperbincangkan saat ini setelah dirinya mengumumkan akan menikahi Song Hye Kyo, yang tidak lain merupakan lawan mainnya di drama DOTS.
Lewat drama DOTS tersebut pula keduanya mengalami cinta lokasi hingga akhirnya berujung pada pengumuman rencana pernikahan
(Baca juga: Song Joong Ki Umumkan Pernikahan: Cinta yang Bersemi di Lokasi Kerja Biasanya Lebih Langgeng, Lo)
Rencana tersebut sontak membuat para penggemar Song Joong Ki ‘gempar’. Ya, hasilnya seperti diceritakan di atas.
Ada yang ‘heboh’ karena memang setuju kedua pasangan tersebut menikah, dan yakin keduanya merupakan pasangan yang cocok tidak hanya di film, tapi juga di dunia nyata.
Ada pula yang ‘heboh’ karena merasa sakit hati. Bahkan ada yang sesumbar bahwa hari ini adalah ‘hari sakit hati sedunia’.
Wajarkah ungkapan tersebut? Lebih luas lagi, wajarkah kita mengidolakan seseorang hingga merasa seseorang tersebut sangat dekat dengan kita, bahkan ada yang merasa memiliki?
Sebagai bahan pelajaran, mari kita simak artikel berikut ini yang berangkat dari kehebohan warganet saat Zayn Malik memutuskan untuk keluar dari grupnya, One Direction, pada Maret 2015.
Pengumuman keluarnya Zayn ini memang mengejut kan. Setelah lima tahun tampil bersama grupnya, tiba-tiba ia mengaku jenuh dan ingin hidup seperti manusia normal.
Maklumlah, sebagai selebritas, ia selalu mendapat sorotan dari mana pun, terutama media.
(Baca juga: Drama Korea VS Drama India VS Drama Turki, Anda Pilih Mana?)
“Saya memutuskan pergi karena saya ingin menjadi lelaki normal berusia 22 tahun yang dapat menikmati hidupnya dan bisa memiliki privasi,” tutur penyanyi keturunan Inggris – Pakistan ini.
Keputusan Zayn itu tak pelak memicu beragam komentar dari penggemarnya. Mereka tidak terima dan meminta Zayn untuk kembali.
Parahnya, sampai kemudian muncul tagar #cut4zayn. Tagar ini adalah semacam ajakan untuk melukai diri sendiri, bahkan mengarah ke bunuh diri, hanya agar Zayn mau kembali ke grupnya.
Konyolnya, ada sebagian orang yang menanggapi serius ajakan itu. Beberapa mengiris lengan mereka hingga berdarah kemudian mengunggah fotonya di Twitter. “If Zayn doesn’t return I’ll eventually die! #cut4zayn”tulis akun @Brashna.
Mulai tidak sehat
Cerita tentang selebritas dan penggemar yang terlalu mengidolakan, memang bukan kisah baru.
Sejak puluhan tahun lalu, seiring berkembangnya media informasi dan hiburan, fenomena ini selalu saja ada setiap waktu.
Di antara ribuan atau jutaan penggemar, selalu saja ada beberapa orang yang selalu mengikuti perkembangan kehidupan si tokoh pujaan setiap waktu.
Mereka bahkan merasa hidupnya begitu dipengaruhi oleh apa pun yang terjadi pada artis pujaannya.
Dalam pandangan Dede Fitriana, pengajar di Fakultas Psikologi UIN Suska Riau, orang yang tergila-gila kepada orang lain akan cenderung stalking alias mencari tahu kehidupan pribadi idolanya.
Sasarannya bukan hanya selebritas saja, namun siapa pun yang spesial di hatinya. “Kalau sudah sampai membahayakan, ini termasuk gangguan kejiwaan,” tutur Dede.
Fanatisme terhadap seorang idola memang bisa menjadi obsesi. Salah satu ciri yang mudah dikenali, jika penampilan penggemar itu meniru tokoh yang diidolakannya.
Tujuannya tentu agar ia bisa menjadi sama dengan orang yang dikaguminya. Tapi akan mulai tidak sehat jika sudah menganggap idolanya adalah bagian dari dirinya.
Contohnya, ia akan marah saat tahu idolanya punya pacar.
Kondisi seperti itu, menurut Dede, bukan lagi sekadar memuja tapi sudah termasuk masalah kejiwaan. “Seolah-olah orang yang kita kagumi punya hubungan erotis dengan kita, hubungan yang dekat, makanya ada rasa cemburu dan marah,” tambah Dede.
Tidak selalu buruk
Dalam ilmu psikologi, kondisi terlampau mengidolakan selebritas itu dikenal sebagai celebrity worship syndrome (CWS).
Pakar psikologi asal Inggris, John Maltby, membagi kondisi itu menjadi tiga tahap. Entertainment social, ketika seseorang merasa senang dan penting membicarakan idolanya.
Intense personal, ketika seseorang mulai merasa memiliki ikatan khusus dengan idolanya.
Serta borderline pathological, ketika mulai merasa sangat dekat kemudian berpendapat idolanya akan merespons bila dibutuhkan, serta berbagai fantasi lainnya.
Perlu diperhatikan, ketika seseorang sudah mencapai tahap ketiga yakni orderline pathological, maka ia akan mulai “bersedia” merugikan diri serta pihak lain.
Pikirannya bisa tersita dengan terus memikirkan idolanya terus.
Maltby dalam buku Personality, Individual Differences and Intelligence mendeskripsikan CWS sebagai hubungan parasosial antara penggemar dan sang selebritas.
Hubungan parasosial merupakan hubungan satu arah. Seseorang merasa mengenal idolanya, sementara tidak dengan sebaliknya.
Si penggemar sebenarnya sadar, para selebritas itu tidak mengenal mereka secara pribadi. Namun mereka tetap merasa punya hubungan dekat yang nyata.
Walhasil, perilaku selebritas dan peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya juga dapat mempengaruhi emosi dan perasaan penggemar.
“Orang-orang dengan CWS ini tidak sekadar menjadikan selebritas sebagai hiburan. Namun tampaknya ada komponen klinis terkait perilakunya,” tulis Maltby dalam Journal of Nervous and Mental Disease.
Lalu apa yang menyebabkan para penggemar begitu memuja? Menurut Maltby, penyebabnya sendiri tidak begitu jelas.
Namun begitu orang-orang ini melihat selebritas di televisi, entah itu penyanyi, bintang film ataupun atlet, mereka lalu terpesona dan terobsesi.
Tidak selalu buruk, sih, kata Maltby. Contohnya, kalau ada seseorang yang terobsesi pada pesepakbola David Beckham dan menjadikannya role model, tentu tidak bisa dianggap negatif.
Sebab sosok David Beckham sendiri selalu tampil positif.
Obsesi ini mulai akan mengkhawatirkan jika yang bersangkutan sampai mengganggu kehidupan idolanya.
Atau mungkin sampai mengubah penampilan dirinya agar sama persis, namun dampaknya jadi merepotkan orang-orang sekitarnya.
Ada kerugiannya
Mengidolakan seseorang mungkin karena penampilan, akting, maupun suara; sebenarnya sangat manusiawi.
Karena menurut Dede, kita sebenarnya dikaruniai selera dalam menerjemahkan berbagai bentuk hiburan.
Hanya saja kalau kadarnya sudah terlalu mengidolakan, maka apa saja bisa terjadi. Bahkan di luar logika dan berdampak negatif bagi diri serta pihak lain.
Terlalu mengidolakan selebritas menurut Dede setidaknya juga bisa merugikan.
Pertama, kerugian materi. Kita akan cenderung memiliki pernak-pernik yang memancing keinginan fans untuk memiliki, semisal poster, aksesori, merchandise, dll.
Masalahnya, kalau sudah mengidolakan, berapa pun harganya bakal dikejar. Akibatnya, bisa kelewat boros.
Kita juga akan rugi dari segi waktu. Seorang penderita CWS tidak akan mau ketinggalan kabar terbaru tentang idolanya setiap waktu.
Bukan sekadar mem-follow akun media sosial saja, tapi juga mengikuti terus idolanya sampai pergi ke luar negeri.
Meski di Indonesia jarang, fenomena penggemar semacam ini sudah banyak di luar negeri.
Dari segi kesehatan juga bisa merugi. Misalnya menonton acara sepakbola dengan pemain idolanya hingga larut malam.
Atau memutar DVD drama Korea hingga mengorbankan waktu istirahatnya.
Di Taiwan pernah ada berita tentang seorang perempuan yang hampir buta setelah menonton drama Korea selama tiga hari penuh dan hanya sempat beristirahat dua jam saja.
CWS bukan hanya menjangkiti kaum remaja atau dewasa. Efek negatifnya juga bisa mempengaruhi anak-anak.
Mereka tidak selalu mengidolakan selebritas, tapi tokoh-tokoh dalam film-film anime, robot, atau superhero.
Film-film itu umumnya memuat kisah fiktif namun membawa pesan bawa segala persoalan di bumi harus diselesaikan dengan kekerasan.
Masalahnya, anak-anak ini masih sulit membedakan antara baik dan buruk, sehingga lebih berpotensi menderita CWS.
Ingin lebih dekat
Kemajuan teknologi informasi ternyata memberi andil luar biasa terhadap CWS. Sekarang setiap orang begitu mudah menjamah teknologi dengan berbagai gadget.
Terlebih dengan adanya media sosial, membuat para penggemar mengetahui kabar idolanya hampir setiap waktu. Apalagi jika idolanya itu rajin meng-up date statusnya.
Masalahnya dalam pola hubungan semacam ini berlaku teori, ketika seseorang sudah mulai merasa dekat, maka ia ingin lebih dekat lagi.
Begitu pula ketika kita merasa semakin memiliki, maka semakin ingin lebih banyak lagi.
Akibatnya, potensi untuk menderita CWS sangatlah besar. Padahal, semua itu hanya fatamorgana.
Padahal kalau kita mau berpikir jernih, seratus juta orang mungkin saja merasa mengenal dekat dengan seseorang.
Namun tentu mustahil, satu orang bisa melakukan sebaliknya. Seorang selebritas hanya akan melihat para fans sebagai sekelompok orang yang mendukungnya.
Mustahil ada ikatan khusus. Kalau memang ingin lebih dekat, mungkin saja selebritas tersebut mengingat beberapa penggemar yang begitu memujanya.
Namun itu pun hanya beberapa orang, dengan catatan jika memang tidak keterlaluan dan masih dalam batas kewajaran.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2016)