Romo Mangun: Biarkan Perguruan Tinggi Brengsek dan Awut-Awutan Tapi Jangan Perguruan Dasar!

Moh Habib Asyhad

Penulis

Romo Mangun: Biarkan Perguruan Tinggi Brengsek dan Awut-Awutan Tapi Jangan Perguruan Dasar!

Intisari-Online.com -Cita-citanya telah jauh terlampaui ketika meninggal dunia di Jakarta pada Rabu, 10 Februari 1999.

Tapi obsesinya tentang pendidikan anak-anak miskin belum tergapai benar. Gagasannya tentang bangsa yang cerdas dalam negara federasi juga belum terlihat embrionya. Tetap saja, karya-karyanya sangatlah besar untuk diteladani.

Dialah Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang lebih dikenal denganRomo Mangun.

(Baca juga:Setelah Kebijakan Full Day School, Mendikbud Muhadjir Effendy akan Tiadakan Pelajaran Agama di Kelas)

Manusia dengan aneka predikat - pastor, guru, insinyur, sastrawan, kolomnis, pendamping kaum tertindas - Romo Mangun baru saja berbicara pada Simposium "Meningkatkan Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia", yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia, di Hotel Le Meridien, Jakarta, 10 Februari 1999.

Tiba-tiba badannya limbung nyaris jatuh. Mohamad Sobary, rekan yang baru saja menyambutnya, langsung membaringkan dia di lantai Ruang Puri. Pukul 13.55 WIB siang itu, Romo Mangun meninggal karena serangan jantung.

“Semua orang, apalagi pribadi sebaik Romo Mangun, meninggal di pelukan Tuhan,” tulis Sobary diKompaskeesokan harinya.

Ilmuwan sosial LIPI itu bagai hendak membingkai secara kontemplatif kenyataan faktual bahwa Romo Mangun mengembuskan napas terakhir di dalam rangkulannya.

Di saat terakhir Romo Mangun getol menggeluti pendidikan. Yasasan Dinamika Edukasi Dasar, wadah pengajaran bagi anak-anak miskin dan telantar, yang lama tak diseriusinya meski telah berdiri sejak 1980-an, belakangan diurusinya lagi.

Dalam wawancara denganEditoredisi 19 Mei 1994, ia berujar, “Saya rindu menjadi guru SD.”

Kerinduan itu lantas dia wujudkan habis-habisan. la tak hanya jadi pendidik dan pengajar, tetapi sekaligus belajar. la yakin, keberhasilan pendidikan juga ditentukan oleh interaksi saling ajar antara guru dengan murid.

Menjadi guru SD, bagi Romo Mangun, ternyata bukan pilihan asal-asalan. la yakin, di situlah kelangsungan dan masa depan bangsa ini. “Biarlah pendidikan tinggi brengsek dan awut-awutan. Namun kita tidak boleh menelantarkan pendidikan dasar.”

(Baca juga:Potret Pendidikan di Finlandia: Waktu Belajar Hanya 3 Jam, Tak Ada PR dan Ujian, tapi Jadi yang Terbaik di Dunia

Bagi Romo Mangun, generasi cerdas punya makna lebih tinggi ketimbang generasi pandai.

la menunjuk para penemu, tokoh-tokoh revolusi dunia, para pendobrak tradisi, adalah anak-anak cerdas yang berusia di bawah 40 tahun.

“Sukarno, Hatta, dan Sjahrir di masa pergerakan adalah anak-anak muda yang cerdas, menempuh cara perjuangan yang cerdas pula. Sedangkan Belanda, karena tidak cerdas, terjebak pada peperangan,” ucapnya dalam perbincangan denganKompasseputar refleksi 50 tahun kemerdekaan, 1995 lalu.

Artikel Terkait