Penulis
Intisari-Online.com - Soal pembangunan jalan tol, Indonesia bisa bercermin dari Malaysia. Meskipun 27 tahun lalu Malaysia belajar dari Indonesia, tapi fakta membuktikan saat ini pengelolaan tol negeri itu jauh lebih maju.
Indonesia sudah membangun jalan bebas hambatan atau jalan tol sejak era Presiden Soeharto. Tol yang menyambungkan Jakarta, Bogor dan Ciawi atau yang dikenal dengan jalan tol Jagorawi menjadi tol perdana yang dimiliki Indonesia pada tahun 1973. Jalan tol sepanjang 46 km tersebut dioperasikan pada 9 Maret 1978.
(Baca juga: FOTO: Inilah Jalan Tol Fungsional yang Akan Membawa Anda dari Jakarta ke Surabaya Secara 'Gratis')
Sementara Malaysia membangun jalan tol pertamanya tahun 1990 dengan kontraktornya adalah Hutama Karya.
Pembangunan jalan tol Anyer Hitam sepanjang 10 kilometer itu diselesaikan pada 1993.
Namun kini jalan tol di Malaysia sudah mencapai 3.000 km.
Indonesia? Baru 994 km. Perinciannya, era Soeharto 490, Habibie 7,2 km, Gus Dur 5,5 km, Megawati 34 km, Susilo Bambang Yudoyono 212 km, dan Jokowi 176 km.
Sampai akhir 2017 diperkirakan akan ada tambahan jalan tol sepanjang 568 km.
(Baca juga: Catat! Mulai dari Jalan Tol Hingga Kantor Polisi, Inilah Daftar Nomor Telepon Penting Selama Mudik Lebaran 2017)
Mengapa Malaysia bisa secepat itu membangun jalan tol?
Seperti yang dikutip Antara, ada beberapa sebab Malaysia bisa memiliki jalan tol yang berlipat kali dengan Indonesia padahal memulainya belakangan.
Masalah yang utama adalah soal pembebasan tanah yang selama ini menjadi hantu bagi investor tol di Indonesia. Seperti pada tol Depok – Antasari yang terhenti akibat Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang melonjak dua kali lipat.
Pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol di Malaysia relatif tidak menimbulkan masalah berarti. Persoalannya Indonesia dan Malaysia memiliki perbedaan prinsip dalam mengadopsi pembebasan tanah. Tipikal masyarakat Indonesia juga tidak sama dengan negara tetangga.
Malaysia menganut sistem "memaksa" dalam pengadaan tanah bagi fasilitas umum atau dikenal dengan pola "compulsory acquisition", serta dilaksanakan melalui satu instansi saja di bawah kendali pemerintah. Bagi masyarakat yang tidak puas dapat mengajukan gugatan ganti rugi lebih tinggi, akan tetapi pembangunan tetap berlangsung.
Ini berbeda dengan Indonesia. Di Tanah Air, sepanjang gugatan tanah belum selesai maka peralatan kerja tidak diperkenankan memasuki lokasi.
Di samping itu pembebasan tanah juga melibatkan berbagai institusi di daerah maupun pusat yang membuat pelaksanaannya menjadi lebih panjang.
Meski memaksa, namun masyarakat Malaysia patuh. Berbeda dengan masyarakat Indonesia.
Selain itu, Malaysia berani membeli kembali konsesi jalan tol apabila dalam perjalannya ternyata ruas tersebut tidak layak secara finansial bagi investor.
Lembaga Lebuh Raya Malaysia (semacam Badan Pengelola Jalan Tol) juga berani membeli kembali konsesi jalan tol, jika investor tol mengalami kesulitan keuangan.
Nah, tak ada salahnya murid belajar dari gurunya.