Penulis
Intisari-Online.com -Ada beberapa orang yang bilang, matikan TV-mu dan bacalah bukumu.
Semengerikan itukah televisi? Sebermanfaat itukah buku? Apakah selamanya televisi buruk bagi otak? Apakah selamanya buku bagus bagi otak?
(Baca juga:Mengapa Televisi Tidak Bisa Terpisahkan dalam Kehidupan Sehari-hari?)
Beberapa peneliti menghabiskan ribuan jam mencari perbandingan pengaruh televisi dan buku terhadap otak. Televisi
Tahun 2003, tim peneliti dari Ohio State University mewawancara dan menguji 107 anak-anak prasekolah dan orangtua untuk melihat dampak televisi terhadap teori pikiran anak-anak.
Teori pikiran ialah kemampuan memahami bahwa orang lain memiliki pemikiran, perasaan dan kepercayaan yang berbeda dengan diri kita sendiri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terlalu banyak menonton atau terpapar televisi membuat teori pikiran anak terganggu.
“Anak yang teori pikirannya berkembang akan lebih mampu berpartisipasi dalam hubungan sosial, “ ujar pemimpin peneliti Amy Nathanson, yang merupakan profesor komunikasi di Ohio State University.
“Mereka dapat terlibat interaksi secara lebih sensitif dan koorperatif dengan anak-anak lain dan cenderung tak menggunakan agresi (serangan) untuk mencapai tujuan.”
Studi lebih lanjut pada tahun 2005 yang dipublikasikan di jurnalCerebral Cortexmengungkap, menonton TV terlalu banyak dapat mengubah komposisi otak manusia.
Ketika peneliti meneliti 276 anak-anak usia antara 5-18 tahun, mereka menemukan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan anak-anak itu di depan TV, semakin tebal wilayah lobus frontal otak mereka.
Itu adalah wilayah yang sama yang dikenal untuk menurunkan pengolahan bahasa dan komunikasi. Itulah sebabnya mereka memiliki IQ verbal yang lebih rendah.
Tapi itu belum semuanya:hipotalamus, septum, wilayah motorik sensorik dan korteks visual juga membesar. Semua itu merupakan bagian otak yang memproses respon emosional, gairah, agresi dan pengelihatan.
(Baca juga:Untuk Para Orangtua, Membacakan Buku untuk Anak Memiliki Keistimewaan terhadap Perkembangan Otaknya)
Mungkin, itulah sebabnya peningkatan paparan TV terhadap anak di bawah usia tiga tahun berkorelasi dengan tertundanya kemahiran berbahasa, sehingga membutuhkan waktu beberapa tahun bagi mereka untuk mengejar ketertinggalan.
Ketika memasuki masa sekolah, anak yang menonton TV dua jam atau lebih sehari kemungkinan besar mengalami kesulitan psikologi, termasuk hiperaktif, masalah emosional dan perilaku, serta konflik sosial dengan teman-temannya di kelas.
Buku
Orang bilang, membuka buku adalah membuka jendela dunia.
Survei yang dilakukan oleh Pew Research Center menemukan, 15% orang membaca buku untuk ‘melarikan diri’ ke dunia imajinasi mereka.
Sementara 26% orang yang membaca buku mengatakan bahwa mereka menikmati belajar, memperoleh pengetahuan dan menemukan informasi dari membaca buku.
Ternyata membaca memiliki manfaat bagi kesehatan. Membaca memperkuat jalur saraf.
Bahkan di usia muda, anak yang dibacakan buku oleh orangtuanya mengembangkan lima kemampuan membaca, termasuk kosakata yang lebih banyak, pengenalan kata melalui ucapan, kemampuan untuk menghubungkan huruf tertulis dengan yang dilisankan, pemahaman terhadap bacaan, dan kelancaran untuk membaca teks secara akurat dan cepat.
Meskipun memiliki banyak manfaat, diperkirakan sekitar 42% lulusan perguruan tinggi tak lagi membaca buku setelah mereka memperoleh gelarnya.
Padahal, meski otak kita sudah berhenti berkembang, bukan berarti kita tak perlu membaca lagi.
Sebuah studi yang dilakukan oleh tim peneliti dari Emory University mengungkap bahwa buku dapat merangsang perubahan dalam konektivitas otak.
Dari penelitian tersebut, peneliti mengungkapkan bahwa otak partisipan masih menunjukkan tingkat konektivitas yang sama dengan saat membaca, meski waktu membaca sudah lima hari berlalu.
(Baca juga:Anak-anak Ini Membacakan Buku untuk Anjing yang Berada di Rumah Perlindungan)
“Perubahan saraf yang kami temukan berhubungan dengan sensasi fisik dan sistem gerakan. Hal itu menunjukkan bahwa membaca novel dapat membuat anda seolah-olah menjadi tokoh dalam novel tersebut,” ujar ahli saraf Gregory Berns, penulis utama studi dan direktur Emory’s Center for Neuropolicy.
Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa membaca cerita dapat mengatur ulang jaringan otak selama beberapa hari.
Hal ini juga mungkin menunjukkan bagaimana peran kegiatan membaca dalam membentuk otak anak.