Tak Seperti di Palu, di Jepang Justru Nyaris Tak Ada Penjarahan Saat Bencana Menerjang, Kok Bisa?

Ade Sulaeman

Penulis

Tentu saja aksi tidak terpuji ini dikecam beberapa pihak. Sebab mereka dinilai ‘tamak’ di saat kota Palu tengah berduka.

Intisari-Online.com – Pada hari Jumat (28/9/2018) petang, Kabupaten Donggala dan Palu diguncang gempa 7,4 SR.

Tidak lama, tepatnya 30 menit pasca gempa, terjadi tsunami di area dekat pantai di Palu.

Ombak setinggi tiga meter tersebut lantas meluluhlantahkan Donggala dan Palu yang sudah hancur berantakan karena gempa.

Akibatnya 1.200 orang lebih tewas dan puluhan ribu lainnya luka-luka.

Baca Juga : Dari Televisi Hingga Mesin ATM, Ini Barang-barang yang Disita Polisi dari para Penjarah di Palu

Di tengah duka yang masih mendalam tersebut, datang kabar kurang menyenangkan dari sana.

Dilansir dari kompas.com, jajaran Kepolisian Resor Palu, Sulawesi Tengah berhasil menangkap 45 orang yang diduga pelaku penjarahan mini market, gudang, serta ATM pada Selasa (2/10/2018).

Ya, penjarahan. Bukannya membantu tim SAR atau mencari warga yang masih hilang, beberapa orang diduga menjarah sebagian besar lokasi di Palu.

Tentu saja aksi tidak terpuji ini dikecam beberapa pihak. Sebab mereka dinilai ‘tamak’ di saat kota Palu tengah berduka.

Memang saat itu, kondisi sedang sangat memperihatinkan. Sebab, mereka kekurangan makanan dan bahan pokok lainnya.

Panik, takut, dan ‘merasa jadi korban’ bisa menjadi alasan mereka melakukannya. Namun nyatanya mereka tidak hanya menjarah makanan atau kebutuhan pokok, tetapi TV layar besar dan peralatan rumah tangga orang lain.

Coba kita berkaca pada Jepang.

Pada tahun 2011, kota Tohuku di Jepang diguncang gempa berkekuatan 9,0 SR yang mengakibatkan tsunami setinggi 10 meter.

Lalu apakah ada penjarahan massal seperti di Palu? Tidak ada.

Baca Juga : Polisi Akhirnya Berhasil Menangkap 45 Penjarah Setelah Gempa di Palu

Sebuah tulisan yang ditulis oleh Amy Chaves yang ditulis di huffingtonpost.com pada Minggu (27/3/2011) menjelaskan mengapa di Jepang tidak ada penjarahan massal seperti di Palu atau tempat bencana lainnya.

Ketika gempa dan tsunami menerjang Jepang, para korban tidak ada yang melakukan penjarahan karena mereka lebih percaya pada pemerintah mereka.

Mereka percaya bahwa pemerintah Jepang sedang melakukan aksi untuk membantu mereka selama krisis.

Sementara warga lainnya mengatakan bahwa keharmonisan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jepang.

Di Jepang, ada budaya untuk mengembalikan barang-barang yang hilang dan memberikan penjelasan tentang bagaimana barang yang hilang.

Setelahnya, barang akan selalu dikembalikan kepada pemiliknya di Jepang, termasuk dompet, uang tunai dan bahkan payung.

Mereka berpikir ‘Itu bukan barang saya. Saya tidak berhak atas barang itu’.

Menurut Amy, orang Jepang punya integritas yang tinggi kepada individu lainnya. Mereka sopan dan sangat bertoleransi.

Jangankan penjarahan, serangan verbal terhadap pegawai toko, kemarahan dalam bentuk alis yang berkerut, bibir yang mengeras, hingga dengusan yang tidak puas, tidak diterima di sini.

Jadi, semarah apapun seseorang, mereka tidak akan menunjukkannya di depan umum.

Tidak heran, Amy memberikan dua kata kunci untuk menggambarkan orang Jepang, sopan dan harmonis.

Dua kata yang mungkin bisa kita pelajari. Tidak hanya untuk warga Indonesia, namun seluruh dunia.

Baca Juga : Deretan Foto Warga yang Menjarah Mall dan Toko Setelah Gempa dan Tsunami di Palu

Artikel Terkait