Find Us On Social Media :

Alun alun Bekas Tusukan Tongkat Daendels Itu Jadi Titik Nol Kilometer Kota yang Tak Pernah Sepi di Akhir Pekan

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 22 September 2018 | 07:30 WIB

Intisari-Online.com – Sebetulnya masyarakat Indonesia sudah memiliki konsep tradisional penentuan suatu titik pertumbuhan kota biasanya dikenal dengan sebutan alun-alun.

Ulasan di bawah ini menjabarkan latar belakang penentuan pusat kota itu, serta perkembangannya belakangan ini.

Bagaimana kota itu berkembang dilihat dari alun-alun di pusat kotanya, ditulis oleh Ir. Prayatni WS., MS., di Majalah Intisari mengulasnya di edisi September 1991.

Ketika Herman Willem Daendels mengucapkan kata-katanya yang termasyhur: "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd" (Usahakanlah bila aku datang lagi ke sini telah dibangun sebuah kota), ia lalu menusukkan tongkat kayunya ke tanah.

Baca Juga : Rumah di Bandung Dikepung Tembok Tetangga, Ini Aturan Hukum tentang 'Tanah Helikopter'

la mungkin tidak menyadari kata-katanya itu akan terbukti benar, karena titik di mana ia menghunjamkan tongkatnya ke tanah, telah menjadi titik nol kilometer Kota Bandung yang sekarang tumbuh menjadi sebuah kota besar.

Saat itu ia, sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda, sebenarnya sedang mengawasi pembuatan jalan raya terkenal yang melintasi Pulau Jawa, untuk mengakomodasikan gerakan tentara Belanda dalam usaha melindungi diri dan serangan Inggris.

Tidak heran bila Daendels lalu mengucapkan kata-kata di atas, disusul dengan surat perintah kepada Bupati Wiranatakusumah II agar memindahkan kota ke lokasi yang ditunjuknya, terhitung mulai tanggal 25 Mei 1810.

Namun, sayangnya Daendels tidak menyadari kenyataan bahwa sebenarnya penduduk Nusantara telah memiliki  kaidah-kaidah tertentu untuk menetapkan sebuah titik pusat pertumbuhan kota tradisional, yakni alun-alun.

Baca Juga : Pos Ketan Legenda, Temani Malam Anda di Alun-alun Batu

Pada awalnya, sebenarnya alun-alun dikenal sebagai ruang umum di muka rumah pemimpin masyarakat. Ruang itu dibentuk dengan tata letak perumahan, baik secara melingkar maupun sejajar.

Bagi penduduk di saat itu, lapangan terbuka ini selain sebagai tempat bergaul, berkumpul dan bersosialisasi, juga memiliki makna sebagai budaya tradisional ke luar rumah. Sebagai masyarakat yang dilahirkan dan tinggal di kepulauan beriklim tropis basah, mereka boleh dikatakan mengecap segala kenikmatan akan lingkungan, sorot matahari sepanjang tahun.

Tidak heran bila kebiasaan keluar rumah untuk menikmati keindahan alam, sudah menjadi kebutuhan dan menyuburkan kebudayaan luar rumah.

Jejak budaya alun-alun tradisional

Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan jenis kegiatannya, makin luas pulalah kebutuhan akan ruang umum sebagai pusat pertumbuhan dan tempat bersosialisasi bagi masyarakat tradisional. Pada perkembangan inilah, dikenal bentuk ruang umum bernama alun-alun.

Baca Juga : Sudah Tahu Belum? Inilah 5 Kota Terkecil di Indonesia, Nomer 1 Hanya 10 Persennya dari Bandung

Salah satu contoh berbentuk alun-alun di masa lalu, adalah Alun-alun Bubat yang sangat terkenal di masa pemerintahan  Kerajaan Majapahit yang perkasa.

Konon ketika seorang pujangga keraton penulis Serat Centhini yang termasyhur berkunjung sekitar lebih dari tiga abad setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit di tahun 1527, ia masih dapat menyaksikan sisa-sisa kebesaran Alun-alun Bubat.

Reruntuhan yang dilihatnya adalah bekas keraton, bekas pura dan bekas taman-taman berkolam yang indah di sekitar alun-alun ternama itu.

Bentuk alun-alun seperti di zaman Majapahit itu agaknya menjadi patokan dalam merancang alun-alun sebuah kota tradisional. Hal ini karena bentuknya dapat merefleksikan idealisme masyarakat tradisional akan tatanan sosial yang serasi.

Baca Juga : Inilah Cara Termurah untuk Menempuh Rute Jakarta-Bandung, Tarifnya Tak Sampai Rp20.000!

Alun-alun sebuah kota tradisional, yang perkembangannya juga dirancang bersumbu, seperti yang dijumpai pada alun-alun Kota Yogyakarta. Sumbu yang berupa sebuah garis khayal  tersebut ditarik dari sebuah gunung berapi dan berakhir di lautan, sementara rumah sang pemimpin lazimnya diletakkan persis di garis sumbu tersebut dan dihadapkan ke gunung.

Sebenarnya, sulit diketahui sejak kapan bentuk perancangan alun-alun yang bersumbu gunung - laut ini diperkenalkan. Keraton Ratu Baka yang dibangun pada abad ke-8 di Jawa Tengah, tidaklah dibangun menghadap ke gunung seperti Keraton Yogyakarta, melainkan dibangun menghadap ke Barat.

Demikian juga pemukiman masyarakat agraris tradisional Minangkabau, tidaklah mengenal sumbu perancangan ke gunung.

Nuansa Alun-alun Bandung

Agaknya, alun-alun kota tradisonal harus dibangun dengan bersumbu ke gunung sebagai pemberi kemakmuran dan pengharapan, lalu dibentuk bangunan-bangunan yang mencerminkan tatanan sosial ideal masyarakat.

Baca Juga : Berakhir Pekan ke Bandung? Jangan Lupa Cicipi Es Durian yang Legitnya Bikin Enggak Tahan

Dalam hal Kota Bandung misalnya, gunung yang ideal sebagai titik awal sumbu perancangan adalah G. Tangkuban Perahu, sementara tubuh air yang ideal adalah Sungai Cikapundung, karena bersumber juga di kaki G. Tangkuban Perahu.

Hal-hal inilah yang agaknya secara saksama telah dipertimbangkan Bupati Wiranatakusumah II, tatkala harus menetapkan alun-alun sebagai pusat pertumbuhan Kota Bandung yang akan dibangun.

Hasilnya, titik penunjukan tongkat Daendels telah digeser sang bupati sekitar 250-an meter ke sebelah baratnya, ke sisi lain Jl. Raya Pos. Bila titik penunjukan Daendels terletak sekitar 150-an meter di sebelah timur S. Cikapundung, maka alun-alun hasil penetapan Bupati Wiranatakusumah E terletak persis di tepi barat S. Cikapundung.

Hal ini dapat dimaklumi, apabila sang bupati menetapkan alun-alun pada titik penunjukan Daendels yang terkenal keras itu, maka ia akan  menemukan banyak kesulitan.

Baca Juga : Cari Oleh-oleh dari Bandung? Jangan Lupa Menenteng Brownies Kukus Anak Menantu Damai

Sebagai contoh, ia akan sulit menempatkan lokasi bangunan masjid yang seyogyanya harus dibangun di sebelah barat alun-alun.

Memang, Kota Bandung bukanlah satu-satunya kota di Nusantara yang bertitik nol kilometer tidak terletak di alun-alun,  sebagai pusat perkembangan pemukiman tradisional.

Bila alun-alunnya harus sesuai dengan titik penunjukan Daendels, maka bangunan masjidnya tidak akan dapat didirikan di sebelah barat alun-alun sesuai dengan kelaziman; maklum alun-alun tersebut akan langsung berbatasan dengan S. Cikapundung di sebelah baratnya.

Sayangnya, Alun-alun Bandung yang dahulu telah direncanakan baik oleh Bupati Wiranatakusumah II dengan kaidah segala nilai-nilai tradisional yang berlaku, saat ini keberadaan nilai tradisionalnya sedang menghadapi ancaman.

Bangunan masjid, terutama bangunan kabupatennya, sedikit demi sedikit mulai kelihatan tidak berarti. Gedung-gedung berkilap seolah berlomba saling menyaingi, lalu pada akhirnya mulai menenggelamkan nilai-nilai tradisional Alun-alun Bandung.

Baca Juga : Liburan ke Bandung? Ingat, Pantang Pulang Sebelum ke Lembang!