Find Us On Social Media :

Alun alun Bekas Tusukan Tongkat Daendels Itu Jadi Titik Nol Kilometer Kota yang Tak Pernah Sepi di Akhir Pekan

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 22 September 2018 | 07:30 WIB

Jejak budaya alun-alun tradisional

Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan jenis kegiatannya, makin luas pulalah kebutuhan akan ruang umum sebagai pusat pertumbuhan dan tempat bersosialisasi bagi masyarakat tradisional. Pada perkembangan inilah, dikenal bentuk ruang umum bernama alun-alun.

Baca Juga : Sudah Tahu Belum? Inilah 5 Kota Terkecil di Indonesia, Nomer 1 Hanya 10 Persennya dari Bandung

Salah satu contoh berbentuk alun-alun di masa lalu, adalah Alun-alun Bubat yang sangat terkenal di masa pemerintahan  Kerajaan Majapahit yang perkasa.

Konon ketika seorang pujangga keraton penulis Serat Centhini yang termasyhur berkunjung sekitar lebih dari tiga abad setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit di tahun 1527, ia masih dapat menyaksikan sisa-sisa kebesaran Alun-alun Bubat.

Reruntuhan yang dilihatnya adalah bekas keraton, bekas pura dan bekas taman-taman berkolam yang indah di sekitar alun-alun ternama itu.

Bentuk alun-alun seperti di zaman Majapahit itu agaknya menjadi patokan dalam merancang alun-alun sebuah kota tradisional. Hal ini karena bentuknya dapat merefleksikan idealisme masyarakat tradisional akan tatanan sosial yang serasi.

Baca Juga : Inilah Cara Termurah untuk Menempuh Rute Jakarta-Bandung, Tarifnya Tak Sampai Rp20.000!

Alun-alun sebuah kota tradisional, yang perkembangannya juga dirancang bersumbu, seperti yang dijumpai pada alun-alun Kota Yogyakarta. Sumbu yang berupa sebuah garis khayal  tersebut ditarik dari sebuah gunung berapi dan berakhir di lautan, sementara rumah sang pemimpin lazimnya diletakkan persis di garis sumbu tersebut dan dihadapkan ke gunung.

Sebenarnya, sulit diketahui sejak kapan bentuk perancangan alun-alun yang bersumbu gunung - laut ini diperkenalkan. Keraton Ratu Baka yang dibangun pada abad ke-8 di Jawa Tengah, tidaklah dibangun menghadap ke gunung seperti Keraton Yogyakarta, melainkan dibangun menghadap ke Barat.

Demikian juga pemukiman masyarakat agraris tradisional Minangkabau, tidaklah mengenal sumbu perancangan ke gunung.

Nuansa Alun-alun Bandung