Penulis
Intisari-Online.com – Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membuat posisi para produsen tempe menjadi tidak nyaman.
Pelemahan rupiah membuat harga kedelai impor melambung hingga Rp8.000 per kilogram.
Akibatnya, produsen tempe mulai melakukan pembatasan produksi dan mengurangi ukuran tempe yang dijualnya.
Namun, upaya ini justru menuai protes dari para pelanggannya. Hal ini terjadi pada sejumlah produsen tempe skala besar di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Baca Juga : Sering Diterpa Isu Bangkrut, Ekonomi Indonesia Malah Masuk 10 Besar Dunia versi IMF
Hajjah Muhti, produsen tempe skala besar di Desa Sugiwaras, Kecamatan Wonomulyo, Polewali Mandar bercerita, produksinya turun 40-60 persen akibat melemahnya rupiah, dan ukuran tempe juga menyusut.
"Kami harus menyiasati mahalnya kedelai impor sebagai bahan baku utama tempe," kata dia kepada Kompas.com, Rabu (12/9/2018).
Jika sebelumnya ia bisa memproduksi tahu dan tempe hingga lima kuintal per hari, namun sejak dua pekan terakhir produksinya turun menjadi dua kuintal per hari.
Tahu dan tempe produksi Hajjah Muhti ini sudah memiliki pelanggan dari berbagai daerah seperti Mamasa, Polewali Mandar, Majene, Mamuju, bahkan keluar provinsi seperti Kabupaten Pinrang.
"Saat ini kami hanya memproduksi tahu tempe sesuai pesanan saja," lanjutnya.
Terancam gulung tikar Menurut Hajja Muhti, saat ini rata-rata pelanggannya di berbagai daerah juga mengurangi pesanan mereka.
Baca Juga : 7 Senjata Canggih 'Bangsa Barbar yang Biadab' saat Menyerang Bangsa Romawi
Sebagian bahkan menghentikan pesanan sementara karena alasan tahu tempe produksinya mahal.
Hajja Muhti berupaya agar usaha turun temurun dari keluarganya tersebut tetap berjalan, salah satu caranya dengan menyiasati ukuran tahu tempe produksinya.
Sayang upaya tersebut justru menuai kritikan pelangganya. Sejumlah pelanggan bisa menerima alasan mengapa ia melakukan strategi tersebut namun sebagian lainnya tidak.
Turunnya produksi tahu dan tempe secara drastis ini membuat masa kerja belasan karyawannya hanya beroperasi hingga siang hari. Selebihnya istirahat.
Seperti pengusaha tahu dan tempe lainnya, Hajja Muhti berharap pemerintah bisa segera menyiasati keadaan agar usaha produksi tahu dan tempe miliknya yang sudah berjalan puluhan tahun, tidak tutup alias bangkrut, karena daya beli pelanggannya yang tidak terjangkau.
Imbas naiknya harga kedelai impor akibat melemahnya rupiah turut dirasakan oleh pedagang tahu tempe keliling atau eceran. (Junaedi)
(Artikel ini telah tayang dikompas.comdengan judul "Gara-gara Rupiah Melemah, Produsen Tahu Tempe jadi Serba Salah...")
Baca Juga : Mampu Kembangkan Empati! Ini 4 Manfaat Luar Biasa Membaca Buku