Penulis
Intisari-Online.com - Guna mencari kesepakatan kerja sama meningkatkan ekonomi negaranya yang sedang ambruk, Presiden Venezueal Nicolas Maduro berangkat ke China pada Rabu (12/9/2018).
AFP memberitakan, Maduro menyebut kunjungan tersebut sangat diperlukan dan dipenuhi dengan harapan besar.
"Kami akan meningkatkan, memperluas, dan memperdalam hubungan dengan kekuatan dunia yang besar," katanya dalam pidato yang disiarkan di televisi.
Pemerintah Venezuela sebelumnya melakukan devaluasi terhadap mata uang nasionalnya sebagai salah satu upaya untuk menghentikan perekonomian yang akan terjun bebas menuju hiperinflasi.
Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memproyeksikan laju inflasi Venezuela akan mencapai 1.000.000.000 persen pada akhir tahun ini.
Uang Venezuela, bolivar tak lagi berharga dan banyak rakyat yang melarikan diri untuk mencari kehidupan yang lebih baik di Brasil, Kolombia, Peru, dan Ekuador.
Terpuruknya perekonomian Venezuela, mungkin tidak akan membuat orang percaya bahwa negara ini dulunya pernah menjadi negara kaya.
Nyatanya, dulu Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia dengan 95% pemasukan negara tersebut berasal daru ekspor minyak.
Baca Juga : Ekonomi Negaranya Terus Terpuruk, Presiden Venezuela Terbang ke China 'dengan Harapan Besar'
Bahkan, Venezuela menjadi salah satu negara anggota OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi).
Sistem ekonomi yang bertujuan untuk membebaskan rakyat Venezuela dari kemiskinan dan pemerintahan yang korup kini membuat rakyatnya kelaparan.
Subsidi makanan, pendaftaran pendidikan tinggi dan akses ke perawatan kesehatan dipuji oleh pemimpin lama Hugo Chavez sebagai bukti bahwa revolusi sosialisnya berhasil.
Namun, pemerintahan Chavez dari tahun 1998 hingga 2013 sekaligus menjadi akar krisis Venezuela saat ini yaitu perampasan industri minyak atas nama nasionalisasi dan perluasan barang-barang impor.
Baca Juga : NASA Buka Lowongan Pekerjaan Khusus untuk Anda yang Doyan Tidur, Gajinya Rp230 Juta!
Dan Nicholas Maduro melanjutkan tren ini ketika dia mulai menjabat pada tahun 2013.
Menurut angka-angka OPEC 2015, Venezuela memiliki cadangan minyak mentah yang paling terbukti di dunia, dengan lebih dari 300 miliar barel.
Jumlah tersebut menempatkannya di depan Arab Saudi (266 miliar barel), Iran (158 barel) dan Irak (142 miliar barel).
Kurangnya transparasi mempersulit penentuan angka pasti pengeluaran negara tersebut.
Chaves saat itu menempatkan minyak di pusat ekonominya, lebih dari 90 persen ekspor Venezuela dan sekitar setengah dari pendapatan pemerintah berasal dari minyak.
Ketika harga minyak merosot dari $ 115 (Rp1,7 juta) per barel pada 2014 menjadi hampir setengahnya, GDP Venezuela menyusut 10 persen.
Pendekatan Chavez untuk mendapatkan keuntungan dari minyak dan telah diperburuk oleh penggantinya disimpulkan sebagai salah urus.
Petróleos de Venezuela (PDVSA), perusahaan minyak milik negara Venezuela, melakukan pemogokan pada 2002 setelah kudeta gagal menyingkirkan Chavez dari kekuasaan.
Baca Juga : Mampu Kembangkan Empati! Ini 4 Manfaat Luar Biasa Membaca Buku
Sebagai imbalannya, sekitar 18.000 tenaga kerja dipecat.
Langkah ini menandai awal dari pendekatan intrusif untuk menjalankan minyak negara.
Pada 2006, Chavez memulai tren berbahaya lainnya, yaitu meminimalkan investasi di bidang infrastruktur dan memaksimalkan kontrol ladang minyak.
Produksi minyak menurun tanpa teknologi mutakhir dari perusahaan asing, belum lagi persediaan, seperti injeksi gas alam untuk mengekstrak minyak.
Tahun 2016, Caracas mengimpor 50.000 barel minyak mentah ringan hanya untuk menyiapkan minyak mentah berat untuk diekspor.
Tanpa hal itu, minyak Venezuela tidak berguna.
Belum lagi masalah tanker-tanker Venezuela yang usang sehingga tidak memenuhi standar lingkungan untuk berlayar di laut.
PDVSA tidak mampu membayar tagihan untuk pembersihan tankerdan mereka juga berutang untuk tanker baru yang tidak dapat dibayar.
Pada tahun 2014, Venezuela meminjam hampir $ 50 miliar dari China dan sekitar $ 5 miliar dari Rusia ketika harga minyak lebih menguntungkan.
Kesepakatannya adalah membayar kembali kreditur dalam minyak dan bahan bakar.
Namun, Reuters melaporkan bahwa pengiriman tertunda hingga 10 bulan.
Tidak dapat mengekstrak lebih banyak minyak, apalagi mengirimkannya dengan cepat, PDVSA memiliki beberapa opsi untuk meningkatkan arus kasnya - membuat krisis utang negara untuk negara yang bergantung pada minyak lebih mungkin terjadi.