Find Us On Social Media :

Lewat Hak Servituut, Tetangga 'Rumah Helikopter' Eko Purnomo dapat Dianggap Lakukan Perbuatan Melawan Hukum

By Ade Sulaeman, Rabu, 12 September 2018 | 17:00 WIB

Intisari-Online.com - Kasus terkurungnya rumah Eko Purnomo oleh tembok-tembok tetangganya memunculkan fakta baru.

Denah yang terdapat dalam sertifikat Badan Pertanahan Nasional (BPN) ternyata menunjukkan bahwa rumah Eko ternyata memiliki akses jalan berupa gang.

Namun, gang tersebut kini sudah tertutup oleh rumah salah seorang tetangganya.

Berdasarkan hasil pengukuran BPN, menurut Eko, gang tersebut tergolong sebagai fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum).

Baca Juga : Rumah di Bandung Dikepung Tembok Tetangga, Ini Aturan Hukum tentang 'Tanah Helikopter'

Rumah yang menutupi rumah tersebut tidak lain adalah milik Saldi, mantan ketua RW yang menjual tanah depan dan samping rumah Eko.

Eko mengaku, gang yang kini tertutup oleh rumah itulah yang kini dituntut oleh dirinya.

Sementara Saldi sendiri mengklaim bahwa lahan yang dalam denah BPN dianggap sebagai gang tersebut merupakan milik pribadinya.

Baca Juga : Osama bin Laden, Dalang Serangan 9/11 yang Berhasil Ditemukan dan Dibunuh CIA Berkat Teknologi Canggih Ini

Hak Servituut

Lalu bagaimana aturan hukumnya mengenai gang tersebut?

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”) mulai Pasal 674 sampai Pasal 710 BW diterangkan mengenai hak servituut alias pengabdian pekarangan.

Menurut pasal 674 BW, seperti dilansir dari hukumonline.com, hak servituut adalah suatu beban yang diletakkan atas sebidang pekarangan seseorang untuk digunakan dan demi manfaat pekarangan milik orang lain.

Baca Juga : Kasus Rumah 'Helikopter' Eko Purnomo: Komunikasi Buntu, Kehidupan Bertetangga pun Runyam

Baik beban maupun manfaat dari pengabdian itu boleh dihubungkan dengan pribadi seseorang.

Sementara pada Pasal 675 BW, dipaparkan bahwa hak servituut ini berisi kewajiban untuk membiarkan sesuatu atau untuk tidak melakukan seuatu.

Dalam Pasal 686 BW, dijelaskan pula mengenai beberapa jenis hak servituutyaitu:

Baca Juga : Populer di Indonesia, 6 Nama Anak Ini Ternyata Terlarang di Arab Saudi

Hak pengabdian pekarangan mengenai jalan untuk kaki adalah hak untuk melintasi pekarangan orang lain dengan jalan kaki.

Hak mengenai jalan kuda atau jalan ternak adalah hak untuk naik kuda atau menggiring ternak melalui jalan itu.

Hak mengenai jalan kendaraan adalah hak untuk melintas dengan kendaraan. Bila lebar jalan untuk jalan kaki, jalan ternak atau jalan kendaraan tidak ditentukan berdasarkan hak pengabdian, maka lebarnya ditentukan sesuai dengan peraturan khusus atau kebiasaan setempat.

Hak pengabdian pekarangan mengenai jalan kuda atau jalan ternak mencakup juga hak pengabdian atas jalan untuk jalan kaki; hak pengabdian mengenai jalan kendaraan, mencakup juga hak pengabdian mengenai jalan kuda atau jalan ternak dan jalan untuk jalan kaki.

Meski buku kedua BW dinyatakan sudah tidak berlaku lagi seiring dengan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UUPA”), dalam beberapa kasus, hakim masih menggunakan aturan tersebut.

Berikut ini beberapa contohnya:

* Putusan Mahkamah Agung No. 1427 K/PDT/2011

Kasus ini berawal saat Telkomsel selaku penggugat tidak diizinkan untuk merawat BTS milik mereka disebabkan pemilik lahan yang menjadi satu-satunya akses menuju lahan tersebut melarangnya.

Alasan tergugat melarang tanahnya dilintasi sebenarnya cukup jelas, karena secara hukum dialah pemilik lahan tersebut.

Hanya saja, karena hakim merujuk pada hak servituuttergugat sebagai pemilik lahan dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan untuk mengizinkan pegawai Telkomsel untuk melalui lahannya jika akan melakukan perawatan BTS.

* Putusan Mahkamah Agung No 38 K/PDT/2008

Kasus yang termuat dalam putusan ini mirip dengan kasus yang menimpa Eko Purnomo, yaitu tergugat membangun tembok permanen sehingga gang atau akses masuk ke pekarangan penggugat tertutup.

Majelis Hakim Agung pada putusannya menyatakan bahwa tergugat sudah melakukan perbuatan melawan hukum.

Dilansir dari hukumonline.com, Majelis Hakim Agung menyatakan:

Bahwa lagipula, sebagai fasilitas umum (jalan keluar masuk) bagi Penggugat yang sudah lama berlangsung, harus tunduk kepada ketentuan Pasal 674 KUHPerdata tentang hak servitut, di mana pekarangan milik yang satu dapat digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang yang lain.”

“Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan Tergugat I membuat pagar tembok permanen yang menutup Gang/Jalan masuk ke tanah pekarangan milik Penggugat (HGB No. 239) adalah merupakan perbuatan melawan hukum, ...

Jadi jika merujuk pada hak servituut, dan jika denah BPN yang ditunjukkan Eko valid, maka bisa saja Eko berhak menuntut gang sebagai akses jalan menuju rumahnya.

Sementara perbuatan Saldi membangun rumah di atas gang tersebut dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum.

Baca Juga : Xiaomi Justru Tak Masuk 5 Besar, Inilah Ponsel Android Tercanggih Pada September 2018 Ini