Jika Melancong ke Manggarai Timur, Jangan Lupa Merasakan Kekerabatan dengan Seteguk Sopi

Moh Habib Asyhad

Penulis

Merasakan Kekerabatan dengan Seteguk Sopi

Intisari-Online.com –Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah wilayah paling timur di Indonesia yang memiliki sekitar 1.192 buah pulau.

Pulau ini penuh dengan keindahan alam, kita bisa menemukan tempat-tempat menakjubkan seperti Pulau Komodo, hingga Pantai Pink dan Pantai Nihiwatu.

(Baca juga:Melihat Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dari Antariksa)

Saat berkunjung ke Manggarai Timur yang terletak di Pulau Flores, saya berkesempatan bertemu warga, para pekerja, petani, hingga kepala suku. Dalam setiap kunjungan, ada satu hal mengikat kita. Minuman fermentasi aren yang bernama sopi atau tuak.

Di Borong, Manggarai Timur, NTT,saya sempat bertemu dengan Tua Golo atau kepala suku dari Gendang Warat di Satar Peyot, kecamatan Borong, Manggarai Timur.

Pria yang bernama Benjamin Gani ini menunjukkan Mbaru Gendang atau rumah adat yang sedang mengalami renovasi.

Kemudian ia melajutkan bercerita dengan bahasa Manggarai dialek Riwu tentang sejarah dan budaya.

Pria yang berumur 79 tahun itu bercerita tentang rumah adat yang memiliki fungsi untuk masyarakat berkumpul, musyawarah, menyelesaikan masalah, hingga upacara adat.

Setelah itu saya diajak ke rumah Benjamin, salah satu warga, untuk berbincang dan bersantai. Akhirnya saya dijamu dengan sebotol sopi, bersama Benjamin dan beberapa warga lainnya saya akhirnya mencoba minuman khas NTT ini.

Rasanya cukup keras layaknya minuman alkohol lain. Dengan sedikit keasaman dan rasa manis, sopi yang tertelan langsung menghangatkan tubuh.

“Biar mas menjadi kawan,” ungkap Levi, seorang guru sekaligus salah satu cucu Benjamin.

Etika sederhana saat meminum sopi bersama adalah harus menghabiskannya sebelum beranjak pergi atau berpisah.

Jadi lebih baik kita menunggu untuk habis terlebih dahulu untuk menghargai orang yang menyambut kita.

(Baca juga:Inilah yang Terjadi pada Otak ketika Minum Alkohol hingga Mabuk)

Dua sisi sopi

Ya, sopi adalah minuman keras yang cukup kontroversial di Indonesia. Bagaimana tidak, kepolisian suka menyita sopi hasil buatan warga.

Sebut saja pada bulan April tahun 2017 saat 1.752 liter miras tersebut disita di Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease.

Padahal di sisi lain, sopi merupakan minuman tradisional yang melekat pada budaya masyarakat. Dari kebiasaan hingga digunakan di ritual atau upacara adat.

Bahkan keluarga Kolang di Manggarai Barat bersandar pada minuman sopi sebagai sumber ekonomi utama selain berladang kakao, kopi, dan kemiri.

Sopi terbuat dari aren, sebuah sumber alam yang melekat pada kebudayaan masyarakat NTT karena dimanfaatkan untuk berbagai hal. Selain menjadi sopi, aren bisa menjadi nira yang selanjutnya diolah jadi gula.

Daun aren pun digunakan sebagai pembungkus potongan gula kolang yang menjaga dan mengawetkan aroma gula.

Tulang daun atau lidi juga bisa digunakan sebagai pengikat bangunan pagar kayu hingga penyambung cemeti yang digunakan pada tarian perang bernama caci.

Kata sopi sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu “zoopje” yang secara harafiah dapat diterjemahkan menjadi alkohol cair. Beberapa wilayah di Flores menyebut jenis minuman ini dengan sebutan moke.

Layaknya minuman keras lainnya, tidak menutup kemungkinan bahwa efek negatif hadir dalam sopi. Sebut saja etanol, psikoaktif yang membuat kesadaran seseorang menurun.

Apabila memang berniat untuk mengonsumsi sopi kita juga harus berhati-hati. Pastikan murni dan bukan oplosan karena setelah minumnya kesadaran tidak hanya menurun, tapi hilang total karena bisa meninggal!

Contohnya pada bulan April 2016 saat tiga warga Desa Lakanmau,Kecamatan Lasiolat, Kabupaten Belu, NTT tewas karena meminum sopi oplosan. Saat diusut ternyata sopi yang dikonsumsi telah dicampur dengan pemutih pakaian.

Setelah kejadian ini Kapolres Belu melakukan penggerebekan di rumah pengoplos miras itu di Kelurahan Beirafu, Kota Atambua. Selain tiga warga yang tewas, 11 orang lain dengan kondisi kritis dilarikan ke rumah sakit.

Saat saya berkunjung di Manggarai Timur, mereka yang menjamu saya memberikan sopi yang terpercaya, hanya mengandung aren. Saat bertanya dan membahas sopi oplosan pun mereka sendiri sangat menghindarinya.

(Baca juga:Punya Kekayaan Selangit kok Masih Korupsi Juga: Inilah Jumlah Kekayaan Rochmadi Saptogiri Pejabat BPK yang Ditangkap KPK)

Belum mabuk belum pesta

Memang permasalahan miras adalah sifat memabukkannya yang dikatakan bisa melakukan hal-hal tidak bertanggung jawab. Saat kesadaran menurun entah apa saja yang bisa terjadi.

Tapi di Manggarai Timur, salah satu rekan saya yang bernama Robertus Jegaut mengatakan dengan nada canda bahwa sopi hanya memiliki dua efek, lemas seperti mengantuk atau menjadi fasih berbicara.

Beberapa pertemuan dan obrolan santai saya ditemani oleh sebotol sopi. Leon, seorang operator sekolah di Manggarai Timur menceritakan saya beragam sopi yang ditawarkan di tanah timur ini.

“Sopi tradisional ada yang dicampur dengan akar kayu hingga janin rusa,” ungkap Leon. Beragam sopi ternyata dapat kita temukan tapi saya sendiri tidak merasakannya.

Hal yang menarik adalah sopi yang telah menjadi kristal karena dikubur bertahun-tahun terlebih dahulu. Leon mengatakan kita bisa menemukan jenis ini di kecamatan Maumere, Sikka, NTT.

Tapi untuk mencicipi sopi kristal yang dapat dijilat seperti permen ini sangat sulit.

Bagaimana tidak, minuman yang terkristalisasi ini hanya dikeluarkan saat acara adat dan biasanya hanya disajikan untuk orang-orang yang dituakan di suku.

Viki, salah satu operator sekolah di Manggarai Timur mengaku pernah mencicipinya. Ia berkata bahwa sekali jilat membuat diri kita serasa melayang. Para rekannya pun hampir tidak percaya karena memang sulit untuk bisa merasakan sopi kristal.

Sambil meneguk sopi bersama, Bruno sebagai salah satu pegawai dinas pendidikan mengatakan bahwa konsep rekreasi dengan pergi-pergi atau refreshing itu tidak ada di kebudayaan beberapa masyarakat Manggarai Timur.

“Cukup bertemu dengan keluarga, makan daging, mabuk, dan dansa,” tambah Bruno. Sederhananya kalau belum mabuk berarti belum pesta. Sepertinya memang sulit untuk menjauhkan sopi dari masyarakat NTT termasuk Manggarai Timur.

(Baca juga:3 Tahun Tinggal di Atap Toilet Umum, Pria Jepang Ini Simpan 300 Botol Berisi Sesuatu yang Menjijikan)

Sopi sebagai budaya

Saat bersilaturahmi di Paundoa, kecamatan Kota Komba, Manggari Timur saya berhasil bertemu dengan warga yang berasal dari suku Rongga Jula. Saat sampai disana saya disambut dengan kopi pahit khas Manggarai kemudian tentunya sopi.

Siang itu cukup damai dan sepi, beberapa warga pergi ke ladang dan sawah tetapi saya mendapatkan kesempatan berbincang dengan masyarakat Rongga.

Saya bertemu dengan Thomas Ola yang merupakan kepala suku Liti. Ya, di suku Rongga sendiri kembali terbagi menjadi tujuh suku atau etnik termasuk Liti.

Contohnya adalah Silvanus yang berasal dari suku Motu dan Isdorus Ruek yang merupakan kepala desa Paundoa dari suku Lova. Beberapa warga juga ikut bergabung dengan kami seperti Konstantinus Jala yang istirahat dari ladang untuk berbincang.

Sebotol sopi kembali mencairkan suasana. Kami membahas tentang keunikan budaya Rongga yang menarik perhatian peneliti-peneliti. Dimulai dari tarian vera yang berisi sajak-sajak hingga bahasa ibu yang dimiliki Rongga.

Apakah sopi bisa dibilang bagian dari kebudayaan masyarakat NTT? Apabila mengacu kepada undang-undang kita bisa melihat warisan budaya, baik itu warisan budaya benda atau warisan budaya tak benda.

Memang sopi tidak masuk kedalam warisan budaya tapi pengajuan pun bisa dilakukan seperti yang diungkapkan oleh Babel Malau dari Kementerian Pendidikan dan Budaya.

Warisan budaya benda adalah warisan budaya yang bisa diindera dengan mata dan tangan seperti artefak atau situs. Sebut saja candi seperti Borobudur atau Prambanan. Keris atau pusaka lainnya juga dapat dihitung sebagai warisan ini.

Sedangkan warisan budaya tak benda tidak bisa diindera dengan mata dan tangan namun jelas ada di sekitar.

Contohnya adalah musik-musik nusantara, memang alat musiknya adalah benda budaya tetap bunyi hingga nilai yang terpendam tidak.

Nah, sopi sendiri adalah budaya yang jelas ada di sekitar.

Dari berkumpul, pesta, hingga acara adat minuman aren ini dikonsumsi. Mungkin kebudayaan untuk meminum sopi sendiri bisa masuk kedalam warisan budaya tak benda seperti yang disebut oleh Babel.

(Baca juga:Pesawat Intai Siluman Tercanggih dan Tercepat di Dunia Siap Gentayangan, Indonesia Patut Berhati-hati)

Tetapi apakah “sopi” itu sendiri sebagai minuman beralkohol dapat menjadi warisan budaya?

Pertanyaan ini mungkin sulit untuk dijawab untuk sekarang. Belum lagi kontroversi yang mengelilingnya karena kehadiran sopi oplosan dan penyitaan oleh kepolisian.

Tapi apabila berkunjung ke Manggarai Timur dan ingin merasakan “kekerabatan” bersama dengan masyarakat lokal, kita bisa mencoba untuk meminum sopi bersama. Buka mata untuk pengalaman, cari sopi yang aman, dan bertemu kawan-kawan baru dari tanah timur Indonesia ini.

Artikel Terkait