Penulis
Intisari-Online.com – Memahami seni adalah memahami rasa. Logika sering terpinggirkan.
Lihat saja lukisan “No 1 Royal Red and Blue” karya Mark Rothko yang dalam lelang di Balai Lelang Sotheby pada 2012 laku AS$75 juta. Tembus Rp1 triliun!
Bisa jadi Anda membayangkan sebuah lukisan yang indah seperti Mona Lisa atau reflektif seperti trilogi celengnya Joko Pekik. Atau semonumental Pangeran Diponegoro garapan Raden Saleh.
Semuanya salah!
Lukisan Rothko yang diselesaikan pada 1954 itu hanya berupa tiga blok persegi panjang dengan warna yang berbeda-beda. Dari atas merah, lalu pink, dan paling bawah biru.
Absurd?
“No 1 Royal Red and Blue” bukan lukisan satu-satunya yang berharga fantastis meski secara awam hanya berupa lukisan sederhana. Ada "Onement VI" hasil sapuan Barnett Newman yang dihargai AS$43,8 juta (lebih dari setengah triliun rupiah).
Lukisan ini lebih sederhana lagi. Hanya ada dua warna biru yang dipisahkan oleh “pematang” tegak berwarna biru muda.
Di bawahnya (dalam hal harga) ada "Mirror" karya Gerhard Richter. Bandrolnya AS$750,000 (sekitar Rp9,75 miliar). Lukisan ini berupa warna ungu yang memenuhi seluruh kanvas.
Apa yang membuat lukisan itu begitu mahal?
Michelle Gaugy, pemilik galeri seni, penulis, dan juga konsultan seni memberi jawaban di Quora. Menurutnya, pertanyaan seperti itu sangat terbatas dan spesifik.
Secara singkat, Gaugy menjawab karena lukisan itu dilukis oleh pelukis yang sangat terkenal. Lalu soal hukum ekonomi, permintaan dan persediaan.
Belakangan ini, lukisan pelukis terkenal menjadi komoditas investasi seperti saham. Orang membelinya karena melihat kecenderungan harganya akan naik daripada turun. Mungkin juga orang yang membeli seni itu juga menyukai estetika karya seni, tapi itu bisa jadi alasan kedua dalam membeli karya seni.
Harga sebuah karya seni ditentukan oleh berapa harga lukisan sebelumnya dari pelukis itu. Selain itu juga bagaimana lukisan terbarunya bisa diterima oleh kritikus dan sejarawan seni.