Gunting Syafruddin, saat Rakyat Indonesia Diminta Menggunting Uangnya Demi Atasi Inflasi dan Bayar Utang Negara

Ade Sulaeman

Penulis

Intisari-Online.com - Inflasi sebenarnya bukan sesuatu yang mustahil terjadi pada setiap negara. Hanya tingkatannya saja yang berbeda-beda.

Ada yang dianggap wajar, adapula yang dianggap berbahaya, seperti yang terjadi di Venezuela dimana nilai mata uang negara tersebut turun 99,9 persen dalam waktu singkat.

Tentu saja ada beragam cara yang dilakukan untuk mencoba mengatasi masalah inflasi (juga hiperinflasi), ada yang berhasil, ada pula yang malah memperburuk kondisi krisis.

Nah, salah satu cara mengatasi inflasi yang paling terkenal ternyata berasal dari Indonesia.

Baca juga:Pernah Jadi Negara Kaya, Venezuela Bangkrut Karena Terlalu Baik pada Rakyatnya

Adalah Syafruddin Prwairanegara, Menteri Keuangan kabinet Hatta II yang menjadi pencetusnya.

Melalui kebijakan yang kemudian dikenal sebagai “Gunting Syafruddin” tersebut, Syafruddin mencoba mengatasi tingginya inflasi, mengurangi besarnya beban utang luar negeri Indonesia, serta mengatasi defisit anggaran yang mencapai Rp5,1 miliar (jumlah yang sangat besar jika mengacu pada saart itu.

Istilah “gunting” dari kebijakan yang dimulai sejak 10 Maret 1950 pukul 20:00 WIB hingga 9 Agustus 1950 pukul 20:00 tersebut memang mengacu pada tindakan menggunting fisik uang kertas NICA untuk pecahan 5 gulden ke atas.

Nilai batas tersebut dinilai tidak akan membebani rakyat kecil sebab saat itu masyarakat yang memiliki uang dengan pecahan lebih dari 5 gulden adalah mereka yang berada pada level ekonomi menengah ke atas.

Baca juga:Idap Penyakit Menular, 'Babysitter' Ini Justru Sering Minum Susu Bayi yang Diasuhnya, Terungkap Lewat CCTV

"Beliau (Sjafruddin-red) sangat terkenal dengan kebijakan moneter yang disebut Gunting Syafruddin, dimana Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang kertas De Javasche Bank dan uang Hindia Belanda (NICA) dari nilai Rp5 ke atas atau gulden, sehingga nilainya tinggal separuhnya," demikian Kiagus mengatakan dalam peluncuran buku Mr Sjafrudin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah, di Kementerian Keuangan, Jakarta, Sabtu (15/10/2011), seperti dilansir dari tribunnews.com.

Potongan uang yang terbagi dua tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri.

Potongan pertama tetap menjadi alat tukar seperti biasanya, namun nilainya sudah turun menjadi setengahnya. Misal, jika uang kerta yang dipotong bernilai 5 gulden, maka potongan tersebut akan bernilai 2,5 gulden.

Sementara potongan kedua akan ditukar dengan obligasi negara. Tentunya dengan nilai setengahnya lagi dari nilai uang yang dipotong.

Baca juga:Menantunya Bunuh Anak dan 3 Cucunya, Mertua Ini Menangis di Pengadilan

Obligasi tersebut akan dibayar oleh negara tiga puluh tahun kemudian dengan nilai bunga sebesar tiga persen setiap tahun.

Kebijakan kontroversial ini sendiri dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi Indonesia yang terpuruk di akhir 1949.

Pemicunya adalah upaya Belanda untuk merebut kembali Indonesia, melalui tentara NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) yang dimulai sejak 1947.

Serangan dari Belanda ini menyebabkan kondisi politik dan keamanan Indonesia menjadi tidak stabil.

Alhasil, harga kebutuhan pokok pun melambung tinggi. Daya beli masyarakat pun menurun.

Oya, kebijakan ini juga punya dua tujuan lain, yaitu untuk mengurangi jenis mata uang yang beredar pada saat itu serta mengurangi jumlah uang yang beredar, yang dianggap lebih banyak dibanding jumlah barang yang tersedia saat itu.

Baca juga:Diminta AS Untuk Tidak Beli Kapal Rusia, Presiden Filipina: ‘Memangnya Siapa Kalian Sehingga Peringatkan Kami?’

Artikel Terkait