Pelukis Affandi di Mata Anak Perempuannya: Hari Buruh, Seks, Seni, dan Pendidikan Anak

Moh Habib Asyhad

Penulis

Affandi di mata Kartika

Intisari-Online.com - Tahun 2007 ditandai sebagai peringatan 100 Tahun Affandi.

Namun mulai dari perkara ulang tahun saja, pelukis modern Indonesia yang paling terkenal itu sudah memperlihatkan keajaibannya: la pernah "meralat" tahun kelahirannya di Cirebon itu, dari 1910 menjadi tahun 1907.

Kok "Kakak-kakaknya yang baru belakangan memberi tahu," ujar Kartika, puterinya dari Maryati, "Tapi tidak seorang pun ingat tanggal kelahirannya."

Nah! Jadi kenapa Affandi sendiri bisa menentukan tangggalnya, yakni 1 Mei?

Jawaban Affandi, seperti ditirukan Kartika, "Karena itu Hari Buruh!”

Tentu saja sikap itu sangat politis, meski Affandi selama hidupnya selalu menghindari keterlibatan dengan suatu partai, sama sekali tidak harus menghalanginya untuk bersikap bukan?

(Baca juga:Mun'im Idries: Buruh Marsinah Mati Ditembak Aparat)

Masih pada masa pendudukan Jepang, lukisannya yang berjudul Romusha disita pemerintah pendudukan, karena kesengsaraan dan kemiskinan rakyat disebutkan tergambar dengan jelas, sehingga ditakutkan akan membuka kesadaran.

Dari zaman revolusi sampai pergi ke luar negeri, tema dan objek lukisannya tak pernah jauh dari tema "kerakyatan", tetapi yang bagi Affandi telah dipilihnya dengan sikap yang bebas.

Umar Kayam dalam buku Affandi (1987) menulis: "Tidak satu pun ideologi politik, apalagi partai politik dapat mengikat Affandi.

Soedjojono, yang sebelum meninggalkan Lekra adalah pelukis yang paling 'sadar politik', sering gemas melihat sikap Affandi dan sering mencapnya sebagai 'apolitik' dan 'naif'."

Namun seorang pelukis tetap akan bersikap melalui lukisannya.

Dan lidak usah diragukan lagi bagaimana lukisan-lukisan Affandi telah memperlihatkan keberpihakan politisnya, kepada siapa lagi jika bukan kepada mereka yang lemah dan menderita.

Dalam bahasa Kartika, yang diwawancarai Intisari pada dua kesempatan berbeda khusus untuk mengenali sosok pribadi Affandi.

"Papie itu akrab dengan kemiskinan, hidupnya sangat sederhana, makanan favoritnya hanyalah tempe yang dibakar dengan bungkus kertas koran."

Keajaiban lain ceritanya sudah sangat terkenal, yakni tentang bagaimana Affandi mendapatkan isterinya yang kedua, Rubiyem.

Namun kali ini Intisari mendengarnya dari Kartika sendiri, puteri dari isteri pertama Affandi.

"Waktu itu malam-malam datanglah Mamie menggedor pintu rumah saya,” kisahnya, "Mamie nangis-nangis dan bilang 'Aku udah nggak mau! Aku udah enggak bisa!"'

Apanya yang tidak mau dan tidak bisa? Rupa-rupanya, semenjak mengalami menopause, Maryati merasa sudah tidak layak lagi bermain asmara di atas ranjang.

Padahal, Affandi sendiri masih nyeruduk terus, karena gairahnya memang masih sama seperti gairah melukisnya yang berapi-api.

"Mamie itu perempuan kuno, tapi dalam hal ini ternyata bisa bijak," ujar Kartika.

(Baca juga:Kenali Neurosis Yang Bikin Perkawinan Tak Harmonis)

Maka memang segera terdengar kisah kebijakan pasangan ajaib ini.

Maryati memaksa Affandi mengambil isteri kedua, dan tentu saja Affandi tidak mau, tetapiMaryati memaksa terus, sebab gairah suaminya yang tidak tersalur itu menurut sang istri harus mendapat pelayanan.

Karena isterinya terus-menerus meyakinkan Affandi, bahwa ia akan lebih berbahagia jika Affandi mengambil isteri muda, maka inilah tanggapan Affandi.

Pertama, yang mencari isteri baru tersebut haruslah Maryati sendiri; kedua, isteri yang dicari tidak boleh lebih pintar dan harus lebih jelek dari Maryati.

Dengan kata lain, ternyata Affandi tidak mengambil "kesempatan" apa pun dari kebesaran jiwa Maryati.

Sebaliknya terlihat betapa ia sangat mencintai dan ingin selalu menghargai isteri pertamanya tersebut.

Bukankah mereka memang pasangan ajaib?

Kartika menganggap Affandi sebagai lelaki langka.

Kepada Maryati, yang oleh Affandi kecantikannya disamakan dengan perempuan gypsy, ketika Kartika masih berusia setahun, ayahnya itu berkata, "Kamu ini cantik, masih muda. Anakmu baru setahun. Lebih baik kamu kuceraikan saja."

Tentu saja Maryati bertanya kenapa, yang kemudian dijawab, "Karena kamu akan sengsara hidup dengan saya."

Namun Maryati tidak takut ditantang begitu. "Ya sudahlah, apa pun yang terjadi nanti," katanya.

Menurut Kartika, sebagai anak Affandi, ia belajar banyak hal dan bapaknya. Bukan hanya dalam hal melukis, yang baru ditekuninya setelah ia dewasa, tetapi justru dalam berbagai perkara di luar kesenian.

Misalnya tentang yang disebutnya sebagai 'kemandirian'.

"Suatu hari, saya masih di sekolah dasar, disuruh Papie membawa peta timbul buatan Papie ke seorang guru yang memesannya, dengan berjalan kaki," kisah Kartika.

"Itulah cara Papie melatih saya untuk mandiri."

Pada dasarnya Affandi melibatkan Kartika ke dalam semua pekerjaan lelaki.

"Oleh Papie saya dididik tidak sebagai anak perempuan. Mulai dari memasang spanraam (bingkai tempat memasang kanvas untuk melukis) sampai membuat layangan, semuanya bikin sendiri, mulai dari menyerut bambu sampai menerbangkannya."

Namun dengan istilah pekerjaan lelaki, tidak berarti Kartika sering dihukum dengan kekerasan oleh Affandi, yang sangat menyayangi Kartika, karena Affandi sendiri juga sangat disayangi orangtuanya, dengan alasan yang sangat khusus.

(Baca juga:Jenis Kelamin Anak Dalam Pembuahan Lebih Ditentukan Faktor Ayah )

Ketika wabah cacar membunuh dua kakak dan dua adik perempuannya, di antara dua jenazah yang sudah ditutupi daun pisang, Affandi yang tampaknya akan menyusul keempat saudaranya itu ternyata bertahan hidup.

Rasa syukur orangtua dan saudara-saudaranya yang lain terwujudkan dengan tiada pernah menyakiti Affandi. Jadi, terhadap Kartika, Affandi pun tidak mengenal bahasa hukuman maupun kemarahan sama sekali.

"Hukuman hanya saya dapat dari Mamie, bukan dari Papie," ujar Kartika, "Sampai saya juga jadi jengkel."

Tentang daun pisang itu sendiri, Affandi mengabadikannya dalam bentuk atap bangunan rumahnya yang luar biasa unik.

Ketelanjangan dan Ukuran Kebebasan

Selain kemandiriaan, kata kunci lain dalam pandangan Kartika terhadap Affandi adalah keterbukaan, dalam bentuk yang nyaris harafiah.

"Asal tidak ada tamu, Papie suka keluar begitu saja dari kamar mandi sambil menanyakan handuk. Jadi yang namanya ketelanjangan bagi kami bukan tabu," kisah Kartika, lagi.

Dalam kata 'keterbukaan', tentu terdapat arti 'kejujuran’, dan untuk ini Affandi terkadang bisa kena batunya, seperti ketika harus mengalami kejujuran Kartika kecil.

“Suatu hari saya lihat Papie menowel pantat seorang modelnya, dengan lugu saya cerita begitu saja kepada Mamie."

(Baca juga:Petani dan Tiga Anaknya yang Pemalas)

Kisah selanjutnya, seperti Maryati melabrak dengan terbuka dan seterusnya, ternyata justru mengukuhkan tradisi keterbukaan keluarga ini.

Keterbukaan Affandi terhadap Kartika, bagi pemegang nilai konservatif, tentu bisa mengejutkan. Seperti saat mereka pergi bersama untuk melukis di Paris.

Ketika Affandi berangkat keluar dari hotel, tidak mengajak Kartika, dan Kartika bertanya, "Mau ke mana Papie?" Jawaban Affandi menegaskan bagi Kartika bahwa ia pergi untuk sesuatu yang disebut Kartika sebagai, "Kebutuhan lelaki."

Namun ternyata Affandi segera kembali. "Lo, kok cepet Pap?" tanya Kartika pula dengan lugunya.

Ternyata Affandi menyaksikan suatu kecelakaan lalu lintas di jalan, yang berdarah-darah, sehingga melunturkan 'kebutuhan lelaki'-nya tersebut.

Dalam 'pendidikan' seperti itu, Kartika meneladani perilaku Affandi dengan caranya sendiri. Seperti ternyatakan kelak ketika menghadapi krisis perkawinannya dengan pelukis Saptohoedojo.

"Dalam sepuluh tahun saya melahirkan delapan anak. Objek lukisan saya jadinya hanya sebatas rumah: anjing, kucing, anak-anak. Saya bahkan tidak menyebut diri sebagai pelukis waktu itu.

Tetapi saya ingat kata Papie:

"Dalam berkesenian kamu harus jujur, karya itu refleksi dari apa yang kau lakukan dalam kehidupan.' Setelah anak saya yang kedelapan bisa merangkak, saya mulai serius melukis. tapi akibatnya suami saya merasa tersaingi. la berpaling ke perempuan lain," kisahnya, sembari mengutip komentar Atfandi: "Aku menyesal Kartika jadi pelukis. Rumah tangganya jadi berantakan."

Bukan hanya Affandi yang selalu mengharapkannya untuk tidak bercerai, karena bahkan pengadilan agama pun seolah-olah mengalangi jalan yang betapapun dihalalkan itu, dengan alasan lebih baik dipikir dulu.

(Baca juga:"Tak Adil, Gaji Lulusan S1 Sama dengan Buruh")

"Akhirnya saya bilang terus terang, ‘Pak Hakim, apakah saya harus berzinah dulu supaya bisa diceraikan? Kalau memang harus begitu biarlah saya lakukan,'" katanya.

Entah serius entah menggertak, yang jelas pengadilan lantas mengabulkan permohonan cerainya.

Dapat disaksikan di sini, betapa tradisi keterbukaan yang terkadang mengejutkan, tidaklah harus berarti bertentangan dengan nilai panutan orang banyak.

Affandi misalnya menasehati Kartika, "Mencuri itu boleh saja, asal jangan merugikan."

Kalimat seperti ini tentu tidak dapat ditafsirkan sebagai betul-betul anjuran untuk mencuri, sebaliknya justru menantang pertimbangan etis seseorang, untuk berpikir keras apakah keputusan yang diambilnya merugikan masyarakat atau tidak.

Akibatnya, keputusan Kartika sendiri pun bukan tidak mungkin bertabrakan dengan Affandi.

"Setelah lama menjadi janda, pergaulan saya untuk ukuran Indonesia mungkin tergolong terlalu bebas, dan Papie tidak suka, bahkan ibarat kata menyamakan saya dengan pelacur; tetapi saya mendebat dengan keras, bahwa saya bergaul tidak untuk uang, dan itu tentu tidak sama dengan pelacur. Saya ingatkan Papie tentang prinsip jangan merugikan siapa pun, dan saya memang tidak merugikan siapa pun. Lantas Papie mengakui, bahwa yang dipikirkannya adalah ukuran Indonesia itu.”

Tidak Ada Pelukis, Adanya Tukang Gambar

Bahwa di mata Kartika seorang ayah seperti Affandi tiada duanya tentulah merupakan kesan tak terhindarkan, karena pendekatan Affandi dalam mendidik anaknya sungguh ajaib.

Misalnya saja kalau Affandi ingin pergi melukis, karena memang tidak suka bekerja di studio tertutup, maka Kartika kecil yang sedang berada dalam kelas akan dicabutnya begitu saja, untuk juga diajaknya pergi.

(Baca juga:Kasus Firza Husein: Cukup Hubungi Ini Jika Ingin Bobol Percakapan WhatsApp)

"Saya mau ambil Kartika," kata Affandi kepada guru. Hal itu sering terjadi.

"Satu tahun pelajaran bisa saya lewatkan selama 1,5 tahun. Pernah waktu pindah rumah, saya sebenarnya sudah kelas 2, tapi lalu turun lagi ke kelas 1," kata Kartika, yang apa boleh buat tidak lulus SD dan SMP pun tidak jelas.

"Usia 16 saya diajak Papie dan Mamie ke India,” katanya.

Ini memang episode kehidupan Affandi yang terkenal, ketika diundang ke Shantiniketan yang didirikan Rabindranath Tagore itu, dengan beasiswa Kedutaan Besar India.

Namun ketika tiba di sana, dalam sekali coret Affandi dinyatakan tidak perlu belajar lagi, karena sebagai pelukis dianggap sudah jadi.

Peluang ini dimanfaatkan Affandi untuk menjelajahi India, apalagi kalau bukan untuk melukis.

Justru giliran Kartika yang belajar melukis di Shantiniketan, lembaga pendidikan alternatif yang konon mengilhami berdirinya Taman Siswa, sebagai perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial.

Sebagai pelajar, sekolah Kartika mungkin berantakan, tetapi apa yang dipelajarinya sebagai anak seorang pelukis seperti Affandi, jelas melebihi apa pun yang bisa didapatkannya dari "sekolah umum”.

Seperti diketahuibersama kehidupan Aflandi yang seperti semua orang lain masa itu ikut naik turun gelombang revolusi kemerdekaan.

Kartika, yang lahir tahun 1934 di Jakarta, ikut mengalami pahit getirnya kehidupan seorang pelukis sebagai profesi tak dikenal, di sebuah negeri yang ternyata juga ingin merdeka.

Affandi yang pada awal kariernya dikenal dengan "taktik kehidupan" 20-10 (dua puluh hari mencari uang untuk keluarga, sepuluh hari hidup untuk melukis) antara tahun 1941 - 42 pernah menjadi portir atau tukang sobek karcis bioskop di Surabaya.

(Baca juga:Potong Rambut Memakai Kapak Dan Hasilnya Keren, Mau Coba?)

"Nah, kami tinggal di lorong sempit antara tembok bioskop dan pagar lapangan tenis, beratap seng, dinding mirip kurungan ayam dan beralas tikar, bantalnya hanya baju yang diberi sarung bantal. Kalau hujan tikar kami gulung sampai hujan reda dan tanah kering," kenang Kartika.

"Pernah tiga bulan kami hidup seperti itu. Makan seadanya di pinggir jalan. Cuma kami tidak sampai mengemis."

Pendidikan formal Affandi terakhir adalah Algemene Middelbare School (AMS) bagian B (ilmu pasti dan ilmu alam) di Jakarta, setingkat SMU, tetapi yang standar lulusannya minimal menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis.

Dengan modal intelektualitas seperti itu, tidak aneh jika pilihan hidup Affandi untuk jadi "tukang gambar" (istilah 'pelukis" yang agak keren sedikit, belum dikenal tahun '30-an) tidak dipahami orangtuanya, karena masyarakatnya memang belum terbuka untuk profesi tersebut.

Risiko pilihan ini, seperti disampaikan Kartika, "Papie pernah menawarkan jasa door to door untuk memperbaiki papan nama toko yang rusak."

Bagi ayah Affandi, yakni R. Koesoema, mantri ukur pabrik gula di Ciledug, tentu tak terbayang bahvva pilihan sebagai "tukang gambar” ini kelak dihormati bangsa dan negara dengan Bintang Jasa Utama pada 1978, menambah berbagai penghargaan internasional yang telah diterima Affandi sebelumnya.

Pelukis Melahirkan Pelukis

Kehidupan yang tidak menentu ini kelak membuat Affandi menjadi seniman yang realistis, yakni tidak asing dengan "strategi bisnis".

Caranya?

"Dari kolektornya, Papie hanya menerima bayaran dengan cara mencicil, nanti kalau cicilan hampir habis, Papie menawarkan lukisan baru," ujar Kartika, yang sebagai pelukis tidak melakukan hal yang sama, karena, "Kok saya enggak bisa begitu ya?"

(Baca juga:Tahi Lalat Pembawa Berkat)

Tentu karena ketika Kartika mulai serius melukis, tidaklah begitu kepepet kondisi ekonominya seperti Affandi dahulu.

Memang, sebagai pelukis pun, meski dalam hal gaya jejak Affandi tertancap dengan jelas, tidak bisa dikatakan bahwa ia telah meniru bapaknya.

Kartika berkisah:

"Suatu kali Papie mengajak saya ke pasar dan kami memilih objek seekor sapi jantan untuk digambar. Kami masing-masing mulai menggambar. Setelah jadi, sapi hasil goresan Papie tampil memberontak walaupun sapinya diam saja, sedangkan sapi gambaran saya tampak memelas dan ngeces (meneteskan liur) seperti minta kasih sayang. Kata Papie, 'Ini kamu pertahankan.'"

Artinya Affandi melihat bahwa Kartika mampu melepaskan diri dari bayang-bayangnya.

"Kamu bisa melihat apa yang Papie tidak lihat," ujar Affandi tentang lukisan-lukisan anaknya.

Itulah juga yang telah dikatakan para kritisi seni rupa tentang Kartika, suatu pencapaian yang rupanya harus dibayar dengan asam garam dan cabe kehidupan yang telah membuat Kartika mengasingkan diri—dan menemukan kembali kehidupannya—selama lima tahun di Eropa.

Kepada teman-teman senimannya, Affandi pernah berkata, "Sayangnya Kartika itu anak saya."

Lo, kenapa? "Sebenarnya dia sudah dapat mandiri, tapi berhubung ia anak saya, orang akan selalu membandingkan dia dengan saya."

Bulan Juni lain, dalam pameran peringatan “Imagined Affandi” oleh Galeri Semarang, di Jakarta, ketika diminta berbicara tentang Affandi, belum selesai bicara Kartika tercekat dan menangis, tidak bisa melanjutkan karena keharuannya yang sangat menggumpal.

(Baca juga:Cara Membaca Pesan di WhatsApp Tanpa Ketahuan Pengirimnya)

Betapapun, jalan menjadi pelukis yang ditempuh Kartika adalah jalan yang pernah dikenalnya sebagai puteri seorang Affandi, seorang pelukis yang membongkar konstruksi realisme dengan suatu teknik baru.

Ia menumpahkan ekspresi langsung dari tube, yang disebut teknik "plototan", yang diramu teknik sapuan tangan langsung—berbagai teknik yang jelas tidak dianjurkan dalam pelajaran melukis di sekolah seni.

Bahwa dengan teknik melukis yang sama Kartika memandang dunia secara berbeda, menunjukkan bahwa cara belajar seorang anak kepada ayahnya.

Betapapun dahsyatnya sang ayah tersebut, bukanlah sekadar meneladani karyanya secara harfiah, melainkan justru menafsirkan kembali secara kreatif prinsip-prinsipnya, dalam menjalani kehidupan maupun dalam berkarya. (Seno Gumira Ajidarma/Lily Wibisono)

Artikel Terkait