Penulis
Intisari-Online.com -Kisah heroikYohanes Ande Kala Marcal alias Johny Kala masih terus diperbincangkan.
Aksinya menyelamatkan upacara bendera dengan memanjat tiang bendera untuk memperbaiki tali yang putusviral.
Siquito Humberto Marcal, kakak kandung siswa kelas 1 SMP Negeri Silawan tersebut, menuturkan bahwa adiknya memangsudah sering memanjat pohon di dekat rumahnya usai pulang sekolah.
"Joni ini kalau di rumah, setelah pulang sekolah, dia membantu orang tua, dengan mencari buah asam untuk dijual. Pohon asam yang tinggi, bisa dipanjatnya," ucapnya, seperti dikutip darikompas.com.
Baca juga:Jose Mujica, Presiden Termiskin di Dunia yang Tak Peduli dengan Penampilan
Ya, pohon asam, khususnya buah dan bijinya memang memiliki cerita tersendiri bagi sebagian warga di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Jika saat ini sering dijadikan komoditas untuk dijual, dulu, pada 2011, buah ini sempat menjadi penyelamat warga yang kelaparan.
Kisahnya dituturkan olehKornelis Kewa Ama dalam artikel berjudul"Mereka Bertahan dengan Buah Asam" yang tayang dikompas.comberikut ini.
---
Baca juga:Waspadalah, Pada 15-18 Agustus Gelombang Tinggi Akan Menerpa Indonesia
Tiga anjing dengan kulit membungkus tulang menggonggong tamu di jalan masuk rumah milik Yane Mone (39) di Desa Oeikiu, Kecamatan Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Di halaman rumah itu, dijemur buah dan biji asam tak beraturan.
Buah asam itu mereka jual dalam bentuk gumpalan daging buah. Adapun biji asam yang ditinggalkan disisakan untuk cadangan pangan mereka.
Sekitar 5 kilogram (kg) daging buah asam dikumpulkan oleh tiga anak Yane Mone selama tiga pekan terakhir dari hutan-hutan di sekitar Desa Oeikiu.
Baca juga:Gara-gara Seekor Domba, Uji Coba Nuklir Ilegal Israel Ketahuan Publik
Mereka adalah Anton Nabu Mone (12), Mery Nabu (9), dan Moses Nabu Mone (8).
Biasanya mereka berangkat ke hutan untuk mencari buah asam seusai pelajaran sekolah. Namun, hari itu adalah libur Idul Fitri sehingga mereka pergi ke hutan pada pagi hari.
Ketika ditemui di kediaman mereka di Desa Oeikiu, Rabu (31/8) pukul 15.30, ketiga bocah itu baru kembali dari hutan. Mereka kelaparan karena sejak pagi belum sarapan.
Sambil duduk bersila di tanah beralaskan tikar lontar, mereka dengan lahap memakan nasi dan sayur sawi rebus yang disiapkan Yane.
Namun, ketiga bocah ini mendadak malu saat Kompas menghampiri. Nasi (beras) itu dibeli Yane Mone tiga hari lalu di pasar tradisional Batu Putih, 25 kilometer (km) dari Oeikiu.
Ia membeli beras 3 kg seharga Rp22.500 dan sayur sawi tiga ikat dengan harga Rp 5.000.
Beras dan sayur itu biasanya dihabiskan mereka dalam 3-4 hari.
”Nasi sayur ini saya prioritaskan untuk anak-anak. Kalau ada sisa, saya makan. Kalau tidak, saya makan biji asam. Kadang anak-anak juga makan biji asam. Hanya saya kasihan sama mereka,” ujarnya.
Jumlah penduduk yang terancam kelaparan di Kabupaten Timor Tengah Selatan tersebar di 150 desa, di 32 kecamatan, meliputi 179.900 jiwa.
Kini mereka mengonsumsi biji asam dan putak, semacam sagu dengan bahan dari pohon gewang.
Selain di kabupaten Timor Tengah Selatan yang terletak di Pulau Timor, ribuan penduduk di Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Ngada, dan di Desa Waekokal, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo—tiga daerah terakhir berada di Pulau Flores—juga menderita kelaparan.
Di Desa Uluwae, Kecamatan Bajawa Utara, Ngada, 180 kepala keluarga yang terdiri atas 720 jiwa menderita kelaparan.
Mereka semua adalah keluarga transmigran di Unit Pelaksana Teknis Daerah Transmigrasi Uluwae yang kelaparan sejak Juni 2011.
Di Sumba Timur, pemerintah kabupaten mulai mendistribusikan beras bantuan cadangan, ke 74 desa di wilayah rawan pangan. Daerah-daerah tersebut mengalami rawan pangan karena kekeringan.
Yane tentu saja tak paham apa itu global warming. Ia adalah salah satu dari ribuan warga di pesisir selatan Kabupaten TTS yang sedang diterpa rawan pangan kambuhan.
Gagal panen dan bencana longsor tahun ini adalah penyebab utamanya.
Ia tidak ikut ke hutan bersama anak-anaknya karena sedang sakit. Padahal, ayah anak-anak ini, Jery Nabu (46), merantau ke Malaysia sejak 2008.
Tidak ada kabar berita, kecuali tahun 2010, ia sempat mengirim uang Rp5 juta untuk membayar utang biaya keberangkatannya ke Malaysia.
Buah asam menjadi pilihan terakhir setelah semua jenis pangan gagal panen.
Harga buah asam yang sudah dikeluarkan bijinya Rp11.000 per kg, masih mengandung biji Rp6.000 per kg (kini buah asam tanpa biji dihargasi sekitar Rp15.000 per kg, Red.).
Harga itu paling tinggi dibandingkan dengan tahun 2009-2010, yang hanya Rp3.000-Rp 5.000 per kg.
Ia mengingatkan ketiga putranya agar tetap tegar. Tidak boleh mencuri atau memungut asam di lahan warga lain.
Jika kedapatan, mereka didenda satu ekor sapi, senilai Rp5 juta.
Mereka harus pergi ke hutan, sekitar 2-3 km dari desa untuk mendapatkan asam yang tumbuh liar. Bocah-bocah ini sudah terbiasa masuk keluar hutan.
Sebelumnya, Juni-Juli, mereka juga masuk keluar hutan mencari ubi hutan, tetapi ubi itu sudah habis.
”Sekarang ini pertahanan kami adalah buah asam. Biasanya asam dipanen bulan September-Oktober, tetapi bulan Agustus tahun ini, asam sudah mulai habis. Memasuki bulan September-Desember tahun ini, kami tidak punya apa-apa lagi,” kata Yane.
Mantan Kepala Desa Oeikiu, Yupiter Atinus Tuan, mengatakan, empat desa berdekatan di Amanuban Selatan, yakni Batnun, Oeikiu, Noemuke, dan Oebelo, sama-sama gagal panen. Bahkan seluruh desa di pesisir selatan TTS juga mengalami gagal panen.
”Warga tiga desa ini bergantung pada asam. Tetapi, buah asam sangat terbatas dibanding tahun lalu. Kini, asam sudah sulit dicari karena semua orang bergantung pada asam,” kata Atinus Tuan.
Biji asam disimpan untuk makanan terakhir setelah makanan lain habis. Tetapi, ada pula warga yang menjadikan biji asam makanan pokok saat ini.
Biji asam yang sudah dikeluarkan dari daging buah, dijemur selama beberapa hari, kemudian digoreng setengah matang, disosoh (tumbuk) untuk mengeluarkan kulit luar (warna merah kecoklatan) untuk mendapat biji asam putih.
Biji putih ini direndam di dalam air selama 2-3 hari sebelum dikonsumsi.
Lain lagi, dengan upaya warga Amanuban Selatan menghadapi rawan pangan. Pemilik hutan gewang, sejenis tanaman palem, mengonsumsi putak.
Tepung gewang ini disaring untuk mendapatkan bubur gewang, atau dijemur untuk mendapatkan tepung kering.
Renol Missa (46) dari Desa Batnun mengatakan, putak menjadi pilihan warga, tetapi juga mulai langka.
Padahal dulu, putak hanya lazim untuk pakan babi dan sapi. Ada dua bungkus gewang yang djual di pasar tradisional: bungkusan 20 kg, dan 10 kg. Bungkusan 20 kg harganya Rp 50.000, sedangkan yang 10 kg harganya setengahnya.
Setelah umbi, dan biji asam, kini giliran gewang makin langka. Sebab, hanya gewang usia di atas 10 tahun penghasil putak yang bagus. Sekarang, sebagian besar tanaman gewang sudah ditebang.
Baca juga:Nyalakan AC Mobil Dianggap Bikin Boros Bensin, Ini Fakta Sebenarnya!