Penulis
Intisari-Online.com -Saat masih kecil, kita kerap mendapatkan pertanyaan, “Apa cita-citamu?” Lalu di antaranya kita ada yang menjawab: ingin seperti Raden Ajeng Kartini. Tapi tahukah kita apa jawaban Kartini kecil ketika ditanya tentang cita-cita?
Untuk tahu jawabannya, ada baiknya kita membaca surat Kartini kepada Nyonya Abendanon yang dikirim pada Agustus 1900 ini.
“…Saat itu adalah waktu bermain-main di Sekolah Belanda di sebuah tempat kecil di Jepara.Itulah penggalan salah satu surat Kartini kepada Nyonya Abendanon. Sebagai Bumiputra yang masih awam, dan hidup dan tradisi patriarki yang kuat, ia hanya hanya manut pada apa yang dikatakan kakaknya untuk jadi Raden Ayu—meski akhirnya ia melawan.Di bawah pohon-pohon waru berbunga kuning di halaman sekolah, gadis-gadis besar dan kecil berkelompok-kelompok tak beraturan menciptakan suasana gembira akrab di atas permadani rumput hijau yang empuk halus. Panas sekali, tak ada seorang pun mau bermain-main.
‘Ayolah Letsy, ceritakan atau bacakan sesuatu,’ buku gadis berkulit coklat, yang tidak hanya karena warna kulitnya, tapi juga karena pakaiannya menunjukkan gadis Bumiputra.
Seorang gadis berambut pirang, besar, yang dengan malas bersandar pada batang pohon dan asyik membaca buku mengangkat kepalanya dan berkata: ‘Ah, tidak, saya masih harus menghafalkan pelajaran prancis saya.’
‘Itu kan dapat kamu kerjakan di rumah, sebab itu bukan pekerjaan sekolah.’
‘Ya, tapi kalau saya tidak belajar bahasa Prancis baik-baik, dua tahun lagi saya belum boleh pergi ke Negeri Belanda. Dan saya sudah ingin sekali masuk sekolah guru untuk belajar jadi guru. Kalau saya kelak tamat jadi guru, barangkali saya akan ditempatkan di sini dan saya tidak akan lagi duduk di dalam kelas, tetapi di depannya. Tetapi, katakanlah Ni, kamu tidak pernah mengatakan kepada saya, kamu kelak ingin jadi apa?’
Sepasang mata terbelalak memandang pembicara kecil dengan heran.
‘Katakanlah sekarang.’
Anak kecil Jawa itu menggelengkan kepalanya dan berkata pendek tegas: ‘Tidak tahu.’
Tidak, ia sungguh-sungguh tidak tahu. Ia tidak pernah memikirkan hal itu. Ia masih muda sekali dan menikmati betul hidup gembira anak kecil. Pertanyaan temannya yang berkulit putih itu sebenarnya meninggalkan kesan yang dalam padanya.
Pertanyaan itu membuatnya gelisah, tak henti-hentinya ia mendengar suatu dengung dalam telinganya: ‘Kamu kelak ingin jadi apa?’ Ia berpikir dan merenungkan sampai kepalanya yang kecil itu menjadi lelah.
Hari itu ia mendapat banyak hukuman pekerjaan di sekolah; pikirannya kacau sekali, kalau ditanya jawabannya sama sekali yang bukan-bukan dan dalam pekerjaannya ia membuat kesalahan-kesalahan yang paling bodoh.
Itu sangat wajar, sebab pikirannya tidak pada pelajarannya, tetapi pada apa yang didengarnya waktu istirahat tadi.
Pertama-tama yang dilakukannya ketika pulang ialah menemui ayahnya dan menanyakan masalah yang mengganggu perasaan hati itu: ‘Akan jadi apakah saya kelak?’
Ayahnya tidak mengatakan sesuatu apa pun, ia hanya tertawa dan mencubit pipinya. Tetapi anak perempuan itu tidak mau pergi dan tetap merengek-rengek minta jawaban.
Kakaknya yang mendengar pertanyaannya datang mendekati dan telinganya yang gemar sekali mendengarkan menangkap kata-kata ini: ‘Harus jadi apakah gadis-gadis? Yah, jadi Raden Ayu, tentu saja!’
Anak itu puasdan lari kegirangan.
‘Raden Ayu,’ diulang-ulangnya beberapa kali pada dirinya sendiri—‘Apakah Raden Ayu itu?’
Pikiran baru itu membuatnya tidak tenang, terus-menerus ia memikirkan dua kata itu: ‘Raden Ayu’. Ia kelak harus jadi Raden Ayu; ia memandang ke sekelilingnya, melihat dan berhubungan dengan berbagai Raden Ayu, yang diperhatikan dan dipelajarinya sejak dulu.
Dan apa yang diketahui anak tersebut dari kehidupan perempuan-perempuan itu membangunkan jiwa dalam hatinya untuk memberontak terhadap ke-Raden Ayu-an; adat yang berabad-abad selalu dijunjung tinggi; gadis-gadis harus kawin, harus menjadi milik orang laki-laki, tanpa bertanya apa, siapa, dan bagaimana!’.."