Penulis
Intisari-Online.com -Keesokan harinya setelah pertempuran sengit antara Angkatan Pemuda Indonesia (API) daerah Senen dan NICA yang dibantu tentara India dan Inggris, datang berita berita duka. Dua pemimpin API, Rachman Zakir dan Daan Anwar dihukum mati oleh tentara Belanda.
Hukuman itu dilakukan setelah keduanya berhasil terjebak oleh serdadu-serdadu Belanda yang mendapat informai dari anggotta API yang berkhianat.
Zakir waktu itu adalah mahasiswa Ika Daigaku, Sekolah Kedokteran Tinggi, tingkat tiga, dan masih berusia 21 tahun. Ia baru sekitar 11/2 bulan memegang Pimpinan API Senen.
(Baca juga:Bersama Harun, Usman Jadi Pahlawan Nasional Setelah Berbuat 'Jahat' dan Dihukum Mati di Singapura)
Sementara Daan Anwar, usianya sebaya dengan Zakir, menjadi wakilnya. Markar mereka terletak di Lanre Freres di Kramat (kini bengket motor Toyota).
Meski masih muda, Zakir dan Anwar penuh wibawa. Pernah suatu ketika keduanya dikepung Laskar Sjafei (Bang Pi’ie yang legendaris itu) dari Senen dengan persenjataan lengkap. Dari luar, Bang Pi’ie berteriak menantang berkelahi mereka berdua jika betul jantan.
Alih-alih menanggapinya, kedua pemimpin API itu menganggapnya angin lalu hingga Bang Pi’ie capek sendiri.
“Kalau betul-betul mau berjuang, mari berjuang bersama kami melawan Belanda. Itulah musuh kau dan bukan kami,” ujar Daan Anwar kepada Bang Pi’ie, dikutip dari buku Petite Histoire Indonesia jilid 7.
Dan sejak itulah Bang Pi’ie bergabung dengan API. Pi’ie sendiri berhasil mencapai pangkat Letnan Kolonel TNI dan jadi Menteri Negara dalam Kabinet 100 Menteri Sukarno tahun 1966.
Pertempuran sengit itu terjadi pada 7 Desember 1945. Dalam pertempuran di sekitar Jembatan Jatinegara itu, sejatinya pasukan API sudah dalam kondisi benar-benar terdesak. Istilah kata, tinggal tunggu matinya.
Tapi Tuhan berkata lain. Di tengah-tengah perang, ternyata ada serdadu India beragama Islam bertanya: “Kaliam mulism?” Anggota API itu mengiyakan. Mereka juga dapat bantuan dari senjata dari tentara Ausralia. Maka, dan selamatlah mereka.
Tapi hari naas itu datang juga. Keesokan harinya, 8 Desember 1945, dalam perjalanan ke kantor penghubung Kowani di KramatLaan (kini Kramat VIII), kedua pimpinan itu disergap. Rupanya ada anggota API yang menjadi pengkhiatan yang memberikan informasi kepada Batalion X tentang gerak-gerik dua pemuda itu.
Meski pos API di Gang Sentiong sudah berusaha memberi tahu, toh sudah kasip juga. Dua pemimpin mereka kini jatuh di tangan serdadu-serdadu Belanda.
Bang Pi’ie sempat melakukan penyerangan ke marks Belanda. Mereka menembaki serdadu-serdadu itu hingga mereka gugup. Karena gugup itulah, Letnan Belanda memerintahkan segera menembak mati Zakir dan Anwar.
(Baca juga:Kala Daendels dan Raffles Bertemu di Salemba)
“ASYHADU AN LAA ILAHA ILLALLAH…” begitulah kalimat terakhir yang keluar dari mulut Zakir sesaat sebelum badannya roboh menghimpit sejawatnya, Daan Anwar. Karena gugup, tembakan terhadap Anwar ternyata kurang tepat sasaran.
Ia berhasil diselamatkan setelah dilarikan ke Rumah Sakit Umum Negeri (CBZ). Sementara Zakir meninggal dan dimakamkan di Kawi-kawi.