Penulis
Intisari-Online.com -Ketika tahun 1960-1963 pemerintah RI menggelar Operasi Trikora, pesawat-pesawat yang dikerahkan untuk mengangkut pasukan dan logistik bukan hanya pesawat militer.
Pesawat-pesawat komersil milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia dan para pilotnya yang ‘dimiliterkan’ sebagai sukarelawan juga dikirim untuk mendukung operasi perebutan Irian Barat (Papua) dari tangan Belanda itu.
Ketika terbang menuju Papua, terutama setelah Papua diserahkan kepada Republik pada 1963, para pilot Garuda yang terwadahi dalam satuan bernama Wing Garuda kemudian bertugas membangun ‘jembatan udara’.
Penerbangan rutin para pilot Wing Garuda itu selanjutnya berupa penerbangan perintis untuk menghubungkan Papua dan wilayah Indonesia lainnya.
Tapi membangun jembatan udara di Papua tidak mudah karena rute penerbangan yang dilalui para pilot Wing Garuda harus melalui medan bergunung-gunung.
Baca juga:Anggrek Hitam Papua, Si Eksotis Yang harganya Bikin Klenger
Mereka juga harus terbang melalui lembah yang berada di tengah-tengah Gunung dan sering bercuaca buruk karena kabut bisa turun secara tiba-tiba dalam hitungan detik.
Lembah yang terkesan mistis dan sering berkabut itu dikenal sebagai Lembah Enarotali yang terletak di antara Gunung Bobairo dan Bukit Diay serta sejumlah bukit lainnya.
Untuk mendapatkan rute penerbangan yang aman, para pilot Wing Garuda biasanya menggunakan rute penerbangan yang biasa digunakan oleh para pilot missionaris yang umumnya sudah kenyang makan asam garam penerbangan di atas udara Papua.
Rute-rute penerbangan para pilot missionaris itu bahkan seperti ‘jalur resmi’ karena bagi para pilot yang mencoba rute lain bisa tersesat, terjebak cuaca buruk, bisa menabrak gunung, dan kesukaran lainnya.
Selain itu jika ada kecelakaan pesawat dan pesawat bersangkutan melalui rute yang biasa digunakan para penerbang missionaris, lokasi jatuhnya pesawat bisa cepat ditemukan sehingga bisa segera dilakukan evakuasi.
Baca juga:Mengintip Kota Kuala Kencana Milik PT Freeport di Papua: Modern, Canggih, dan Bersih!
Hingga saat ini tantangan para pilot baik pilot sipil maupun militer yang terbang di atas Papua tetap sama: ancaman cuaca buruk dan medan alam yang berat.
Oleh karena itu umumnya para pilot yang terbang di Papua merupakan pilot-pilot senior bermental baja yang telah mengantongi ribuan atau puluhan ribu jam terbang.
Pesawat yang digunakan dalam penerbangan di Papua juga harus terawat baik, semua instrumen berfungsi maksimal, khususnya pengukur ketinggian terbang dan adanya instrumen berupa radar deteksi cuaca.
Namun, karena cuaca di Papua bisa berubah dalam hitungan detik dan telah menjadi ‘hantu’ para penerbang sejak lama, kadang perubahan cuaca yang sangat cepat itu tidak sempat terdeteksi oleh radar sehingga pilot harus mengandalkan penerbangan secara visual.
Para pilot yang sudah hafal jalur dan medan penerbangan di Papua biasanya dapat menghindari cuaca buruk dengan cara mengambil jalur penerbangan lainnya (alternatif).
Tapi ketika mengambil jalur alternatif itu pilot juga harus memahami ketinggian pegunungan yang menghadang dengan cara terbang pada posisi lebih tinggi.
Sewaktu akan mendarat para pilot di Papua juga mendapatkan tantangan tersendiri terkait cuaca buruk yang datang tiba-tiba.
Apalagi landasan pendaratan di Papua tidak semuanya memiliki ATC (Air Traffic Control) yang berfungsi untuk panduan dari darat.
Dalam proses pendaratan ini para pilot lagi-lagi harus mendarat berdasarkan filing yang sudah diperoleh berdasarkan pengalaman dan paham terhadap medan alam sekitarnya yang bergunung-gunung.
Dengan tantangan alam yang bisa dikatakan sangat ganas itu maka kecelakaan pesawat terbang menjadi sering terjadi di Papua.
Misalnya, jatuhnya pesawat Hercules TNI AU di Kabupaten Jayawijaya pada 18 Desember 2016 lalu, jatuhnya pesawat CASA 212-200 Polri di Sentani, Jayapura, pada 22 Februari 2018 lalu, jatuhnya pesawat Cessna PK-FSO milik maskpai Spirit Avia Sentosa di Wakatobi (12 April 2017), jatuhnya pesawat Trigana Air Service (17 Agustus 2015), dan lainnya.
Terkait jatuhnya pesawat Dimonim Air di Gunung Menuk, Distrik Aerambakon, pada Sabtu (11/8) kemarin, yang menyebabkan meninggalnya delapan orang sebenarnya bisa ditebak penyebabnya.
Jika bukan karena masalah teknis pesawat adalah medan penerbangan yang sulit dan cuaca yang sedang memburuk. Pasalnya para pilot yang terbang di Papua umumnya para pilot senior dan kemungkinan kecil sekali melakukan human error.