Find Us On Social Media :

Kisah Mangunwijaya, Memilih untuk Memenuhi Panggilan Tuhan Justru Setelah Jadi Tentara

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 10 Agustus 2018 | 16:00 WIB

Intisari-Online.com – Andaikata ia tidak pernah berjuang waktu perang kemerdekaan, ia mungkin tidak menjadi romo, karena cita-citanya ialah menjadi arsitek". Mengapa ia suka tinggal di pinggir kali?

Suasana gembira menyelimuti sebuah resepsi di Kota Malang. Semua yang hadir sedang dimabuk kemenangan. Waktu itu Indonesia baru saja diakui dunia sebagai negara merdeka. Tentara yang baru pulang dari bergerilya disanjung habis-habisan oleh rakyat, dianggap pahlawan dan bunga bangsa.

Namun kegembiraaan berubah menjadi hening, ketika komandan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) Mayor Isman (kini sudah almarhum dan sebelumnya pernah bertugas di Kosgoro dengan pangkat akhir jenderal) berpidato,

"Saudara-saudara sekalian, saya tidak menghendaki saudara menyanjung kami sebagai pahlawan. Kami bukan pahlawan, kami sebetulnya tergolong penjahat. Kami sudah membunuh orang, merampok, membakar rumah. Kami masih muda, tapi tangan kami sudah berlumuran darah. Memang semua itu kami lakukan demi kemerdekaan Indonesia, tapi segala yang berhubungan dengan pembunuhan telah kami lakukan!"

Baca juga: Romo Mangun: Biarkan Perguruan Tinggi Brengsek dan Awut-Awutan Tapi Jangan Perguruan Dasar!

"Kalau Saudara-saudara ingin menolong kami, para pemuda yang habis bergerilya, jangan dengan cara ini, tetapi bimbinglah kami agar menjadi orang biasa di tengah masyarakat, untuk membangun Indonesia yang sudah merdeka ini."

Bagai halilintar pidato itu menyambar benak seorang pemuda anggota TRIP. Malamnya ia tidak bisa tidur. Pidato Mayor Isman  itu selalu terngiang-ngiang di telinganya.

Kemudian ia mengambil keputusan untuk masa depannya, ia ingin menjadi pastor agar bisa membalas budi kepada rakyat yang telah membantunya dalam bergerilya. Padahal, sebelumnya ia sudah bercita-cita ingin menjadi arsitek.

Pemuda itu, yang nama lengkapnya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, kemudian memang menjadi pastor dan akrab dengan panggilan Romo Mangun. Tapi pastor yang bertubuh tidak begitu tinggi, agak gempal, rambut, kumis dan janggut yang hampir putih semua serta berkaca mata sedikit tebal ini bahkan lebih dikenal sebagai penulis, budayawan, kolumnis dan arsitek.

Baca juga: Romo Mangun: Mengamalkan Filsafat Lilin

"Apa yang dikatakan Pak Isman itu memang betul," kata Romo Mangun, 35 tahun kemudian setelah kejadian di Malang itu. "Sebetulnya yang paling berjasa itu rakyat. Kami dulu itu enak, hidup kami enak. Bila diserang Belanda, kami harus lari,  karena persenjataan kami memang sama sekali tidak sebanding. Kami hanya menyerang kalau malam saja.

Menyelundup, lantas dor-dor-dor, lalu lari lagi. Paginya, di tempat dor-dor-doran itu, didatangi Belanda. Semua penduduk disuruh angkat tangan dan dijemur di panas matahari.

Padahal, rakyat jugalah yang menycdiakan makanan dan minuman buat kami. Tapi kalau ada apa-apa, rumah merekalah yang jadi sasaran, kena bom, sedangkan kami lari."