Penulis
Intisari-Online.com – Andaikata ia tidak pernah berjuang waktu perang kemerdekaan, ia mungkin tidak menjadi romo, karena cita-citanya ialah menjadi arsitek". Mengapa ia suka tinggal di pinggir kali?
Suasana gembira menyelimuti sebuah resepsi di Kota Malang. Semua yang hadir sedang dimabuk kemenangan. Waktu itu Indonesia baru saja diakui dunia sebagai negara merdeka. Tentara yang baru pulang dari bergerilya disanjung habis-habisan oleh rakyat, dianggap pahlawan dan bunga bangsa.
Namun kegembiraaan berubah menjadi hening, ketika komandan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) Mayor Isman (kini sudah almarhum dan sebelumnya pernah bertugas di Kosgoro dengan pangkat akhir jenderal) berpidato,
"Saudara-saudara sekalian, saya tidak menghendaki saudara menyanjung kami sebagai pahlawan. Kami bukan pahlawan, kami sebetulnya tergolong penjahat. Kami sudah membunuh orang, merampok, membakar rumah. Kami masih muda, tapi tangan kami sudah berlumuran darah. Memang semua itu kami lakukan demi kemerdekaan Indonesia, tapi segala yang berhubungan dengan pembunuhan telah kami lakukan!"
Baca juga: Romo Mangun: Biarkan Perguruan Tinggi Brengsek dan Awut-Awutan Tapi Jangan Perguruan Dasar!
"Kalau Saudara-saudara ingin menolong kami, para pemuda yang habis bergerilya, jangan dengan cara ini, tetapi bimbinglah kami agar menjadi orang biasa di tengah masyarakat, untuk membangun Indonesia yang sudah merdeka ini."
Bagai halilintar pidato itu menyambar benak seorang pemuda anggota TRIP. Malamnya ia tidak bisa tidur. Pidato Mayor Isman itu selalu terngiang-ngiang di telinganya.
Kemudian ia mengambil keputusan untuk masa depannya, ia ingin menjadi pastor agar bisa membalas budi kepada rakyat yang telah membantunya dalam bergerilya. Padahal, sebelumnya ia sudah bercita-cita ingin menjadi arsitek.
Pemuda itu, yang nama lengkapnya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, kemudian memang menjadi pastor dan akrab dengan panggilan Romo Mangun. Tapi pastor yang bertubuh tidak begitu tinggi, agak gempal, rambut, kumis dan janggut yang hampir putih semua serta berkaca mata sedikit tebal ini bahkan lebih dikenal sebagai penulis, budayawan, kolumnis dan arsitek.
Baca juga: Romo Mangun: Mengamalkan Filsafat Lilin
"Apa yang dikatakan Pak Isman itu memang betul," kata Romo Mangun, 35 tahun kemudian setelah kejadian di Malang itu. "Sebetulnya yang paling berjasa itu rakyat. Kami dulu itu enak, hidup kami enak. Bila diserang Belanda, kami harus lari, karena persenjataan kami memang sama sekali tidak sebanding. Kami hanya menyerang kalau malam saja.
Menyelundup, lantas dor-dor-dor, lalu lari lagi. Paginya, di tempat dor-dor-doran itu, didatangi Belanda. Semua penduduk disuruh angkat tangan dan dijemur di panas matahari.
Padahal, rakyat jugalah yang menycdiakan makanan dan minuman buat kami. Tapi kalau ada apa-apa, rumah merekalah yang jadi sasaran, kena bom, sedangkan kami lari."
Dcngan menjadi pastor Romo Mangun merasa bisa lebih dekat dengan rakyat. Dia dikenal banyak menolong rakyat, terutama kaum miskin. Bahkan lima tahun terakhir ini ia meninggalkan pastoran dan hidup di antara penduduk miskin.
Baca juga: Romo Mangun: Sejak Kecil Bercita-Cita Jadi Insinyur dan Menikah dengan Gadis Ayu
Bekas anggota-anggota TRIP sendiri kemudian, di masa damai, mendirikan Kosgoro, yang banyak membantu masyarakat desa dengan mendirikan sekolah-sekolah, masjid, lumbung, dsb.
Senang di pinggir kali
Sebagai seorang arsitek ia lalu membangun kampung untuk penduduk yang kurang mampu. Kampung tempat tinggalnya sekarang terletak di tepi Kali Code, di bawah jembatan Jalan Sudirman (Jembatan Gondolayu), Yogyakarta.
Kampung ini dibangunnya setahun yang lalu. Kebanyakan penduduknya adalah tukang becak dan pengumpul sampah, yang tadinya datang dan menetap di sana secara liar.
Baca juga: Kepemimpinan ala Romo Mangun
Kini, setelah diperbaiki dan dirancang kembali oleh Romo Mangun, kampung itu nampak teratur dan bersih. Penduduknya pun hidup rukun serta saling tolong-menolong.
Sebelumnya Romo Mangun juga merancang kampung lain, di mana ia juga pernah tinggal selama empat tahun. Letaknya juga sama, di pinggir Kali Code, hanya saja yang ini di sebelah utara jembatan.
Petang itu di depan rumahnya yang menghadap ke sungai ramai dengan anak-anak yang asyik bermain, di sebuah lapangan kecil yang memang dibuat khusus untuk tempat bermain.
Menurut Romo Mangun, tadinya tempat itu comberan yang bau sekali, kemudian diperbaikinya dan dijadikan lapangan tempat bermain anak-anak kampung.
Baca juga: Rumah di Tebet Ini Tampak Sempit, Namun Siapa Sangka Mendapat Penghargaan Arsitektur Internasional!
Rumah Romo Mangun sendiri lumayan kecil. Terletak paling bawah, paling dekat ke sungai, dibandingkan rumah-rumah yang lain. Di situ dia tinggal sendiri. Rumah yang terbuat dari kayu, dinding gedek dan beratap genting ini hanya terdiri atas satu kamar, dapur dan kamar mandi yang sempit.
Kamarnya sarat dengan buku dan gambar. Buku-buku tersusun dalam rak-rak kecil sederhana di seputar kamar, sedangkan gambar-gambar menempel di dinding dan langit-langit. Ada lukisan karya anak-anak, reproduksi karya pelukis Belanda, gambar binatang, rumah adat, dan macam- macam gambar lainnya.
Tempat tidur bambu tanpa kasur yang terletak di sudut, lebih mirip balai-balai. Sebuah meja tulis diletakkan di dekat jendela.
Romo Mangun menerima tamunya di luar, semacam beranda yang atasnya disekat dengan dinding gedek. Di sini disediakan bangku-bangku panjang dengan meja yang bentuknya seperti rak, di tengah-tengah.
Terlepas dari keinginannya membantu kaum miskin, ada satu yang patut dicatat, yaitu tentang pemilihan lokasi tempat tinggal. Dia paling senang tinggal di pinggir kali. Kompleks pastorannya di Desa Salam, Magelang, terletak persis di pinggir Kali Krasak.
Lalu kedua kampung yang dibangunnya itu. "Suara air itu, coba dengarkan," katanya. "Suasana seperti itu tidak bisa ditiru, tidak bisa dibeli."
Kehidupan di tepi sungai ini ternyata merupakan kenangan masa kecilnya. Muntilan dan Magelang adalah kota tempatnya menghabiskan masa kecil. Di daerah Gunung Merapi yang airnya selalu bersih ini ia senang bermain pasir di selokan, membuat kota, bandar, lapangan terbang, main perang-perangan.
Sekolahnya tersendat-sendat
Mangunwijaya dilahirkan di kota Ambarawa, Jawa Tengah, pada tanggal 6 Mei 1929, sebagai anak sulung dari dua belas bersaudaranya. Keluarganya penganut Katolik yang taat.
Almarhum ayahnya, Yulianus Sumadi Mangunwijaya, dulunya seorang guru dan penilik sekolah. Ibunya, Serafin Kumdaniyah yang kini telah berusia 75 tahun, sampai sekarang masih aktif mengurus hotel kecil miliknya di Magelang.
Namun, yang paling meninggalkan kesan bagi Mangunwijaya adalah masa sewaktu duduk di bangku sekolah dasar. Sekolah yang dianggapnya bagai firdaus itu, menurut ceritanya, tidak hanya memberikan pelajaran intelektual melulu kepada murid.
Murid juga mendapat pelajaran lain seperti: pidato, mengarang, menyanyi, main drama, dsb. Murid-murid dididik untuk mempunyai horizon yang luas.
"Pokoknya saya pernah mengalami apa yang dinamakan pengajaran, pendidikan dan kebudayaan," katanya. "Depdikbud itu sungguh-sungguh masuk."
Sayangnya masa yang menyenangkan itu dirusak dengan datangnya Jepang. Sebagai anak kecil, Mangunwijaya merasa shock juga menghadapi situasi yang tiba-tiba terbalik sama sekali itu. Kelaparan di mana-mana dan sekolah-sekolah ditutup.
Ketika akhirnya Mangunwijaya berhasil menamatkan sekolah dasarnya di Magelang, ia lalu pindah ke Semarang dan di sana masuk ke sekolah teknik. Kemudian ia pindah lagi ke Yogyakarta.
Di sini ia bersekolah di dua tempat. Pagi ia meneruskan sekolah tekniknya, di Sekolah Teknik Mataram, sore ia bersekolah di Sekolah Menengah AMKRI. Tak lama kemudian, pencahlah perang revolusi kemerdekaan. Sekolah-sekolah pun ditutup.
Baca juga: Luar Biasa! Seperti Pesulap, Arsitek Ini Buat Bangun Sebuah Bangunan Melayang
Pelajar-pelajar sekolah menengah waktu itu dimobilisasi dan dimasukkan ke Benteng Vredeburg. "Itulah tangsi saya yang pertama. Saya ikut perang sampai sekolah dibuka kembali," ceritanya. "Hampir satu tahun saya, istilahnya, ikut main koboi-koboian."
Naik ke kelas dua, perang pecah lagi. Sekolahnya kembali berhenti. Setelah itu Mangunwijaya pindah ke Magelang dan masuk sekolah negeri pertama yang baru dibuka. Tapi belum sempat ikut ujian akhir, perang lagi. Selesai perang ia pergi ke Malang dan menamatkan sekolah menengahnya di SMA Albertus.
Selama masa revolusi itu Mangunwijaya masuk Batalyon X sebagai anggota pasukan Zeni. Komandannya waktu itu Mayor Soeharto (kini Presiden RI). Mangunwijaya sempat ikut dalam pertempuran di Magelang dan Ambarawa.
Selesai perang Mangunwijaya yang sejak kecil bercita-cita ingin belajar arsitek, berniat mendaftar ke ITB, yang waktu itu baru saja membuka jurusan arsitektur. Namun, datanglah ilham itu, lewat pidato bekas komandan TRIP, yang membuatnya berbelok arah masuk seminari. (Intisari Desember 1985)
Baca juga: Rumah Panggung, Kekayaan Arsitektur Indonesia yang Penuh dengan Makna SImbolis dan Filosofis