Bung Tomo Masih Sempat Bikin Skripsi Karena Tak Ingin Ketinggalan Seperti Anak Muda Sekarang

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Intisari-Online.com – "Merdeka! Merdeka! Merdeka!"

Kepada siapa saja seruan di atas diucapkannya sebagai salam. Masih terasa nadanya yang penuh semangat, optimisme yang menyimpan keberanian. Sejak jaman perang, bahkan hingga sekarang, nama Bung Tomo selalu dikaitkan dengan tindakannya yang gagah berani — kadang mendekati kenekatan.

Berikut ini petikan wawancara Majalah HAI dengan Bung Tomo di edisi tahun 1978, dengan judul asli tulisan di majalah tersebut Bung Tomo Masih Sempat Bikin Skripsi.

--

Dari mana Bung Tomo memiliki sifat berani?

Baca juga: Radio Perjuangan Bung Tomo Itu Telah Sirna

la tergelak sebelum menjawab: "Keberanian itu tidak begitu saja muncul. Keberanian itu tidak bisa disulap! Tetapi secara umum, bagi pemuda yang hidup di jaman perang waktu itu, rasanya malu kalau tidak berani. Jadi, setengahnya terpaksa berani."

Keberanian, sebagaimana sifat-sifat yang lain, banyak dipengaruhl oleh latarbelakang hidup, bahkan sejak kecil mula. Lalu dengan panjang-lebar Bung Tomo menuturkan 'asal-usul' sifat berani yang dimilikinya.

Berdarah Madura

Konon, nenek-moyangnya berasal dari para prajurit Mataram yang menolak bekerjasama dengan Belanda. Sejak kecil ia banyak mendengar dongeng tentang keperwiraan mereka.

Baca juga:Menurut Pejuang Kemerdekaan Ini, Bendera Pusaka RI Ternyata Terbuat dari Tenda Warung Soto, Bagaimana Kisah Kompletnya?

Neneknya berasal dari Jawa-Barat. Sedang kakeknya berdarah Madura. Karena itu ia merasa mewarisi tiga sifat dari masing-masing leluhurnya tersebut.

"Kalau lagi ketawa, itu ciri orang Sunda. Kalau lagi berang, ke luar darah Madura. Tetapi dlplomasinya tetap diplomasi jawa," katanya ketawa.

Lahir di Kampung Blauran, Surabaya, 3 Oktober 1920. Sejak ayahnya, Kartawan Ciptowijoyo, dipecat dari jabatannya sebagai kontroler pajak di kantor Kotamadya, mereka pindah ke Kampung Tembok, di sebuah rumah pondokan yang sempit dan miskin.

Dalam keadaan pailit dan kerja ayahnya yang tak menentu. Sebagai anak sulung Sutomo merasa bertanggungjawab terhadap keempat adiknya yang lain (kemudian lahir 2 adiknya lagi).

Baca juga: Bung Karno Pejuang Kemerdekaan yang Justru Semakin 'Sakti' Setelah Dipenjara Oleh Belanda

Pagi hari, setelah sarapan singkong dan minum teh dengan gula jawa, ia pergi ke setasiun Pasar Turi, jualan koran. Siangnya ia mencoba belajar sedikit, yang dilanjutkannya pada malam hari. (Waktu itu ia telah memutuskan ke luar dari sekolahnya di MULO, sampal kelas 2. Lalu ia melanjutkan belajar secara tertulis/korespondensi di tingkat HBS).

Sore hari menjadi pembantu tukang penatu, mengantar pakaian kepada langganan. Ia pun menjadi kacung bola di lapangan tenis, serta membantu kawannya di sebuah percetakan.

Berkat kawannya yang memiliki percetakan itulah ia berhasil menerbltkan tulisannya tentang riwayat hidup Lord Baden Powell. "Orang yang paling saya kagumi. Saya menangis waktu saya dengar berita kematiannya dari radio tetangga."

Karena rasa hormatnya yang besar kepada bapak kepanduan itu, ia mencoba menulis dan membukukan riwayat hidupnya. Buku yang tebalnya 52 halaman itu menjadi buku "bestseller" waktu itu.

Baca juga: Menyeramkan! Selama 40 Tahun Ada Peluru Bersarang di Tubuh Pejuang Kemerdekaan Ini

Selesai kawannya mencetak, ia sendiri yang menjualnya dari rumah ke rumah, kepada teman-teman sesama pandu, bahkan sampai ke kota-kota lain. Harganya seketip (10 sen). Dan laku sampai 2000 eksemplar.

Memimpin gajah

Keberaniannya mulai terpupuk sejak masuk kepanduan. Mulai usia 12 tahun ia masuk menjadi anggauta Kepanduan Bangsa Indonesia. Pemah menjadi kepala regu waktu berusia 13 tahun. Regunya mereka beri nama Regu Gajah.

Suatu ketika sewaktu ia sedang memimpin regunya keliling kota, mereka menemui musibah kebakaran di sebuah rumah milik seorang Tionghoa. Mereka melihat seorang ibu yang sedang menangis karena bayinya masih terkurung di dalam rumahnya yang sedang dilanda amukan api. Tak seorang pun berani menolongnya.

Baca juga: Unik, Pasukan Khusus Indonesia Ternyata Dibentuk Oleh Mantan Serdadu Belanda yang Pernah Menjadi Musuh Pejuang Indonesia

Melihat kejadian itu terketuk hati nurani Sutomo dan kawan-kawannya. Lalu mereka bersepakat untuk mengulurkan pertolongan. Dengan keberanian yang di luar perhitungan matang, mereka bertujuh menerobos kobaran api, dan akhirnya berhasil menyelamatkan bayi tersebut.

Tak terkira bahagianya hati ibu bayi itu. Ia mengucapkan terimakasihnya yang tak terhingga kepada Sutomo dan kawan-kawannya. Mereka sendiri merasa bangga bercampur syukur.

Dari kejadian itu, ia menarik hikmahnya yang mengesan. Semboyan bahwa "Seorang Pandu itu bersifat Ksatria" dan "Seorang Ksatria itu bersedia menolong dan kalau perlu berkorban untuk kepentingan orang lain," benar-benar tertanam ke dalam jiwa Sutomo.

"Seorang Ksatria itu akan dilindungi keselamatannya oleh Yang Mahakuasa," bisik hatinya.

Baca juga: Unik, Pasukan Khusus Indonesia Ternyata Dibentuk Oleh Mantan Serdadu Belanda yang Pernah Menjadi Musuh Pejuang Indonesia

Selain keberanian untuk menolong sesama, terpupuk pula keberanian fisik lainnya. Dalam gerakan kepanduan Itu terdapat permainan "gerilya" untuk memperebutkan kemah, atau memperebutkan bendera merah putih.

Permainan itu biasanya dilakukan di tengah kuburan pada malam hari. "Menyelusuri di antara kuburan-kuburan dalam gelap malam, hati sebenarnya merasa kecut. Tapi apa boleh buat, hati dipaksa-paksa buat berani," tutur Bung Tomo.

Setelah dua pihak, yang menyerang dan mempertahankan, bertemu, terjadilah bakuhantam satu sama lain, untuk memperebutkan bendera merah putih. "Jadi bertempur dan bergerilya waktu perang kemudian bagi kami sudah bukan hal yang asing lagi."

Kecuali keberanian fisik, dalam gerakan kepanduan waktu itu dipupuk pula tradisi hidup demokratis. Setiap anggauta pandu harus bertanggungjawab atas segala perbuatannya yang dianggap salah.

Baca juga: Tiru Taktik Bertempur Gerilya Pejuang Indonesia di Perang Kemerdekaan, Viet Cong Sukses Bikin Babak Belur Pasukan AS

Misalnya dalam hal absensi latihan, kehidupan sehari-hari sampai ke soal keuangan. Seorang pemimpin berhak menghukum anakbuahnya. Tapi seorang anakbuah berhak pula mengritik serta meminta pertanggungan jawab dari plmpinannya.

"Sejak itulah terpupuk keberanian saya untuk mengritik pihak atasan, karena kehidupan kepanduan waktu itu telah mendidik kita untuk bersikap demokratis," kata Bung Tomo. Setiap anggauta pandu sudah diajarkan untuk selalu bertindak "rule of law", dan setiap orang harus bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.

Mengeritik Bung Karno

Keberaniannya, termasuk keberaniannya mengritik atasan atau penguasa, kian kokoh tertanam dalam jiwanya. Dalam usia 19 tahun ia menjadi wartawan pada koran "Pustaka Timur", "Express" dan "Pembela Rakyat".

Baca juga: Hari Radio Nasional: Perebutan Pemancar Radio, Salah Satu Perjuangan Terberat para Pejuang Setelah Proklamasi

Dan waktu pendudukan Jepang ia menjadi koresponden pada kantor berita Domei bagian Indonesia milik Jepang. Ia sering bertemu muka dengan Bung Karno dan Bung Hatta, pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia waktu itu.

Ia dikenal sebagai seorang reporter nomor satu, apalagi sewaktu ia berani menterjemahkan pidato seorang pembesar Jerman, yang kemudian disiarkan di koran-koran.

Menjelang proklamasi kemerdekaan, Sutomo dipanggil ke Jakarta untuk dilantik menjadi salah seorang anggauta Persiapan Pembentukan Rakyat Baru. Dialah satu-satunya wakil pemuda dari daerah. Inisiatip untuk mengundang datang dari Bung Hatta serta K.H. Wachid Hasjim.

Ia tidak pernah menduga akan ada undangan semacam itu. Teman-temannya mengolokinya sebagai "penggede" yang akan diangkat di Jakarta. Untuk pertama kail Itu dalam hidupnya pergi jauh ke luar kota. Tak ada waktu baginya untuk mempersiapkan dlri.

Baca juga: Museum Kartini: Gambaran Kesederhanaan, Keuletan dan Kegenitan Sang Pejuang Wanita Indonesia

Ia hanya sempat membawa satu stel pakaian yang sudah dijahit tisik di sana-sini yang dipakainya, sepasang sepatu yang sudah "megap-megap", serta sebuah kopor butut yang di dalamnya berisi satu stel pakaian, satu jas dan pakaian dalam.

Ir. Gunadi, asisten pribadi Bung Karno, yang menjemputnya di stasiun Gambir hampir-hampir tak mengira bahwa dialah pemuda Sutomo yang bakal dilantik itu. Lalu Sutomo diinapkan di Hotel Des Indes (Duta Indonesia) yang terletak di Harmoni.

Ia tidur di sebuah kamar mewah, di atas tempat tidur yang amat empuk dan dilayani seperti raja. Pada saat itulah jiwanya memberontak keras. Jiwanya yang lugu dan penuh semangat muda seperti tersayat dihadapkan dengan kenyataan yang amat pincang dalam masyarakat waktu itu.

Lalu waktu diadakan rapat pelantikan keesokan harinya, ia minta giliran pertama untuk berpidato. Di hadapan para pembesar Jepang serta para pemimpin Indonesia, ia meletupkan ketidakpuasannya.

Baca juga: Ternyata Indonesia Pernah Bantu Pejuang Afganistan Lawan Uni Soviet Lewat Strategi yang Sangat Rumit

Pidatonya yang berkobar-kobar penuh emosi menyerang sikap para pemimpin Indonesia, terutama Bung Karno. Pidatonya itu antara lain berbunyi sebagai berikut:

" … Bung Karno! Saya kecewa melihat kalian, pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia. Kalian selama ini menganjurkan kepada kami seluruh rakyat Indonesia, untuk membantu dan bekerjasama dengan pihak Jepang.

Ternyata bangsa yang kita bantu itu tak lebih dari bangsa penjajah yang menindas bangsa kita sendiri. Mereka hidup makmur dan mewah, seolah-olah berada di negaranya sendiri dan seperti tidak dalam keadaan perang.

Sementara bangsa kita hidupnya begitu miskin, papa dan tertindas! Sekarang saya tahu, kenapa kalian selama ini berdiam diri saja. Karena kalian sudah dibungkam dan mabuk oleh kemewahan yang diberikan Jepang pada kalian.

Baca juga: Para Pejuang yang Berjuang Bersenjatakan Buku

Makan enak, tidur di kasur empuk, dikasih mobil, rumah dan seterusnya. Saya kecewa padamu, pada kalian. Saya tidak tahu, kalau begini sikap kalian, siapa yang akan memimpin bangsa Indonesia apabila kelak kita merdeka!... "

Selama Sutomo berpidato suasana hening sekali. Ketegangan menggantung di ruang rapat. Tak ada yang bersuara, karena masing-masing merasa seperti dltampar mukanya.

Orang-orang Jepang itu merasa takjub melihat seorang pemuda kurus, tingginya tak lebih dari 160 senti dan umurnya baru 25 tahun, begitu berani memaki-maki para pembesar Jepang dan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya.

Wajah mereka merah-padam menahan marah. Tapi tak ada yang berani bertlndak. Pada saat itulah terbersit dalam hati Sutomo: "Ya. Ternyata mereka pun tidak berani bertindak padaku. Jadi, sebenamya keberanian hanya soal kesempatan bertindak "

Baca juga: Pejuang di Belakang Layar (1)

Bung

Sejak itu namanya dikenal secara luas, terutama para pemuda di Jawa Timur yang merasa terwakili oleh Sutomo. Mereka lalu memanggilnya dengan sebutan akrab "Bung" di depan namanya.

Sebelumnya ia sudah memimpin organlsasi gerakan di bawah tanah di Surabaya. Dan waktu pecaH perang, ia membentuk pasukan dengan nama Barisan Pemberontakan Republlk Indonesia (BPRI), di samping TKR, BKR, TRI dan laskar-laskar rakyat yang telah ada.

Ia dikenal sebagai kepala pasukan yang berani, nekat, tidak kenal kompromi dan pandai membakar semangat.

Baca juga: 7 Sniper Terbaik Dunia, Salah Satunya Adalah Tentara Indonesia, Siapakah Dia?

Waktu pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), pada bulan Jull 1947, Bung Tomo termasuk pendirinya di bawah pimpinan Jendral Sudirman. Perwira lainnya adalah Mayor Jendral Urip Sumohardjo, Mayor Jendral Djokosujono, Mayor Jendral Ir. Sakirman, Laksamana Muda Nasir, Laksamana Muda Surjadarma serta Mayor Jendral Sutomo.

Tapi Jabatan sebagai Mayor Jendral Ini tidak lama ia pegang. Waktu Belanda memberinya alternatip: menjadi militer atau menjadi pemimpin rakyat, Bung Tomo ternyata memillh yang terakhir, karena ia merasa lebih dekat dengan rakyat. Waktu pecan Clash II. la mengungsl ke gunung, tahun 1949.

Sejak Belanda mengakui secara penuh kemerdekaan Indonesia. 1950, ia memutuskan terjun ke dunia polltik. Dldirikannya Partai Rakyat Indonesia, satu-satunya partai polltik yang untuk pertama kallnya memakai dasar Pancasila. Dalam pemillhan umum tahun 1955, partainya gagal karena tiadanya dana dan lalu bubar.

Pernah menjadi Menterl Veteran merangkap Menteri Sosial ('55-'56) dalam Kabinet Burhanudin Harahap. Lalu menjadi anggauta parlemen (DPR) dari tahun '56-'59. Ia dihentikan dari keanggautaannya, karena berani menentang kebijaksanaan Bung Kamo yang menyangkut Nasakom serta pembentukan Dewan Nasional.

Baca juga: Beginilah Perjuangan Merebut Irian Barat, Bertempur dan menyerang Dari Dalam

Sekolah lagi

Sejak menjadi orang sipil. la memutuskan untuk melanjutkan pelajarannya. Ia mendapat kesulitan karena tidak memilikl ijasah resmi HBS (SMA). Tetapi akhirnya ia diterima menjadi mahasiswa dl Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejak 1958 hingga sekarang, kuliahnya di fakultas tersebut belum selesai.

"Tinggal bikin skripst saja," kata Bung Tomo. "Sekarang ini saya baru sibuk membuat skripsi."

Mengapa Bung Tomo begitu bersemangat untuk meneruskan pendidikannya?

Baca juga: Mengenang Kembali Sutan Sjahrir yang Berjuang di Masa Kolonial Belanda dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia

"Mengapa tidak? Masa itu berjalan terus. Dan saya tidak mau ketinggalan," jawabnya. "Saya akan melanjutkan pelajaran di bidang lain sepanjang memungkinkan, mungkin dengan hanya studi lewat buku-buku. Agar saya tidak ketinggalan dengan cara berpikir anak muda. Saya senang dan sering berbicara dengan anak muda dengan dasar berpikir mereka."

"Saya menganjurkan kepada anak muda, agar mereka belajar sebanyak-banyaknya. Pergunakan kesempatan serta fasllitas yang ada sekarang ini. Karena saya pernah merasakan bagaimana sulitnya belajar tanpa bimbingan seorang guru serta belajar di bawah penerangan lampu cublik."

Masih berani

Menikah dengan Sulistinah pada tahun 1947. Dikaruniai 3 puteri dan 1 putera. Tien Sullstami, Bambang Sulistomo, Sri Sulistaml dan Ratna Sulistaml. Selaln masih melanjutkan kuliahnya di UI, Bung Tomo sehari-harinya bekerja sebagai notaris.

Baca juga:Bung Karno Pejuang Kemerdekaan yang Justru Semakin 'Sakti' Setelah Dipenjara Oleh Belanda

Perawakannya sedikit gemuk dan agak pendek. Dalam usia 58 tahun ia maslh nampak sehat, penuh optimis, ramah, riang dan kalau berbicara 'meledak-ledak,' penuh ekspresi dan blak-blakan — sebagaimana halnya arek Suroboyo.

Keberaniannya menyatakan pendapat masih tidak banyak berubah. Akhir-akhir ini namanya sering disebut-sebut. Umumnya menghubungkan dengan beberapa kegiatannya yang dinilai sebagai "nyerempet-nyerempet".

Pernah menulis puisi berjudul "Sajak Sepasang Sendok dan Garpu", yang mengungkap kebobrokan situasi sekarang. Keberaniannya menyatakan sikap itu tak pemah meluntur dari dada bekas jendral dan pemimpin pasukan yang pernah mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo pada 10 Nopember 1945 Itu. (dus)

Baca juga: Sangar! Umur 14 Tahun Semaun Sudah Anggota Sarekat Islam dan Memimpin Pemogokan Petani

Artikel Terkait