Penulis
Intisari-Online.com – Pada tanggal 9 April 1966, Sutan Sjahrir meninggal dunia di Zurich, Swiss. Pada waktu itu rakyat terkejut dan hampir tidak percaya, karena tidak tahu kapan Sjahrir pergi keluar negeri.
Apalagi belakangan rakyat mendengar bahwa kepergiannya dalam pertengahan tahun 1965 itu untuk berobat, sesudah beberapa kali menderita sakit dalam tahanan. Berikut ini tulisan Solichin Salam dalam Majalah Intisari edisi April 1967 untuk Mengenang Kembali Sutan Sjahrir (5 Maret 1909 – 9 April 1966).
Sehingga rakyat menjadi bertanya-tanya adakah yang meninggal di Zurich dalam status tahanan politik itu adalah Sutan Sjahrir, yang dikeual rakyat sejak di masa kolonial Belanda sebagai pejuang kemerdekaan, hingga dibuang ke Boven Digul bertahun-tahun bersama Bung Hatta, kemudian diasingkan ke Banda Neira.
Adakah yang meninggal dunia itu adalah Sjahrir yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia dimasa permulaan revolusi fisik dulu? Sutan Sjahrir yang dikenal sebagai perdana menteri yang “sederhana" pakaian dan hidupnya, serta terkenal sebagai negarawan dan diplomat yang ulung.
Sehingga “senjum”-nya diakui oleh Lord Killearn, sebagai “senyuman diplomat”. Benarkah yang wafat itu adalah Bung Sjahrir yang dahulu memperjuangkan serta membela perjuangan kemerdekaan Indonesia di forum internasional?
Demikian rakyat bertanya-tanya dalam hati sekitar berita kewafatannya.
Kita berpikir dan hampir-hampir tidak percaya, jika benar yang meninggal itu adalah Sutan Sjahrir yang oleh Sarojini Naidu pernah dijuluki sebagai “Atom ie bomb of Indonesia”, lalu apa salahnya? Rakyat ingin tahu.
Kiranya Bung Sjahrir ditahan serta dijebloskan kedalam penjara akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya. Sjahrir meringkuk dalam penjara sejak 16 Januari 1962, tanpa proses serta tidak pernah diajukan kedepan pengadilan.
Baca juga: Des Alwi: Jadi Anak Revolusi Berkat Hatta & Sjahrir
Padahal Negara kita adalah Negara hukum yang berdasarkan Panca Sila, dan bukan negara kekuasaan. Akan tetapi demikianlah prakteknya di masa rezim orde lama yang terkenal dengan “100 menteri”-nya.
Belakangan ternyata Bung Sjahrir tidak bersalah. Ajaib bukan, Dan untuk mencegah kemarahan rakyat atas penahanannya yang sewenang-wenang itu, diakuinya Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional.
Akan tetapi apa hendak dikata nasi sudah menjadi bubur. Dahulu Sjahrir berjuang untuk Indonesia Merdeka, untuk itu Sjahrir rela dan bersedia berkorban. Disamping itu Sjahrir dahulu juga ikut membina dan berjuang untuk Republik Indonesia.
Akibat perjuangannya itu menyebabkan Sjahrir ditahan, dijebloskan kedalam penjara kemudian diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Bahkan sewaktu permulaan revolusi fisik dahulu, Bung Sjahrir pernah hendak ditembak dengan pistol oleh tentara Nica, dan kediaman resminya di Pegangsaan Timur 56 pemah dilempari granat, untung Sjahrir nyaris dari maut.
Baca juga: Menyusuri Makam Tua Sepanjang Tepi Danau Toba, Ada Pusaranya Pahlawan Nasional Juga Lho
Sebelum Indonesia Merdeka, Sjahrir berkorban dan hidup menderita untuk kemerdekaan bangsa dan tanah airnya yang dicintainya. tapi anehnya sesudah Indonesia Merdeka, Bung Sjahrir juga berkorban dan menderita dalam alam kemerdekaan.
Hampir-hampir jasa dan namanya dihapus serta hendak dilupakan oleh lawan-lawan politiknya begitu saja. Seakan-akan Syahrir itu tidak pernah ada, dan tidak mempunyai andil ataupun jasa terhadap Republik Indonesia.
Meskipun lawan politiknya berusaha demikiab, namun Tuhan itu Maha Adil dan Maha Kuasa, bisa berbuata sesuatu menurut kehendakNya. Manusia-manusia boleh merencanakan sesuatu, tapi ketentuan terkahir adalah di tangan Tuhan jua.
Usaha dan tipu muslihat lawan-lawan politiknya ternyata sia-sia juga. Sebab Tuhan tidak meridaiNya.
Berita kewafatannya telah membuka mata para generasi muda — Angkatan '66 — untuk berjuang terus menegakkan kebenaran dan keadilan. Berjuang melenyapkan kezaliman dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Panca Sila ini.
Kepahlawanan Sjahrir, bukanlah pemberian ataupun hadiah, akan tetapi itu memang sudah menjadi hak dan miliknya, yang telah ditebusnya dengan pengorbanan dan penderitaan, di masa kolonial maupun di masa kemerdekaan.
Di masa kolonial dahulu, dihentikannya studinya, lantaran Ibu Pertiwi memanggilnya pulang ke tanah air. Setibanya ditanah air, Bung Sjahrir berjuang dan ditangkap, ditahan serta dijebloskan kedalam penjara, kemudian dibuang ke Boven Digul di Irian Barat dan Banda Neira.
Jepang masuk. Sjahrir dibebaskan. Tapi Sjahrir tidak tinggal diam, berjuang dibawah tanah menentang fasis Jepang.
Baca juga: Menyeramkan! Selama 40 Tahun Ada Peluru Bersarang di Tubuh Pejuang Kemerdekaan Ini
Sesudah proklamasi, Bung Sjahrir tampil sebagai Ketua BP KNIP, dan diangkat kemudian sebagai Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia, merangkap sebagai Menteri Luar Negeri. Dimasa pemerintahannya inilah lahirnya Perjanjian Linggarjati yang terkenal.
Masa jabatannya adalah didalam masa-masa yang penuh kesulitan dan bahaya. Karena Indonesia baru saja Merdeka, belum punya apa-apa. Luar Negeripun belum mengenal Indonesia, sehingga berkat perjuangannya yang gigih, dunia kemudian mengakui kebenaran perjuangan Bangsa Indonesia.
Dari Bangsa yang selama ini dikenal sebagai bangsa jajahan, kini diakui dan dihormati di dunia sebagai Bangsa yang Merdeka sejajar dengan Bangsa-bangsa lain di dunia. Jabatan Perdana Menterinya diwaktu itu bukan main beratnya, penuh bahaya dan kesulitan.
Meskipun menjadi Perdana Menteri, namun pakaian maupun cara hidupnya tetaplah sederhana.
Baca juga: Bung Karno Pejuang Kemerdekaan yang Justru Semakin 'Sakti' Setelah Dipenjara Oleh Belanda
Maklumlah diwaktu itu Bung Sjahrir adalah benar-benar sebagai “A Fighting Prime Minister of Indonesia” yang termuda di seluruh dunia, karena baru 36 tahun usianya.
Begitu pula sewaktu Sjahrir memperjuangkan serta membela perjuangan kemerdekaan Rakjat Indonesia diluar negeri bersama Haji Agus Salim, adalah dalam kesederhanaan dan penuh keprihatinan.
Segala ongkos hidupnya disana adalah secara berdikari, tidak seenak duta-duta besar kita sekarang yang dapat foya-foya dan hidup senang. Sebaliknja diplomat Sjahrir dahulu berjuang dan membina hubungan Indonesia dengan dunia international dari ketiadaan dan kekosongan.
Berjuang dalam kemelaratan, penderitaan dan keprihatinan nasional. Itulah selintas kilas ingatan Rakyat Indonesia terhadap jasa dan perjuangan Sutan Sjahrir.
Baca juga: Melalui Ramalan Jayabaya, Sultan Hamengku Buwono IX Sudah Memprediksi Datangnya Kemerdekaan RI
Sjarir, menurut Prof. Schermerhorn lebih menonjol sebagai seorang negarawan, daripada seorang politikus. Kini ia telah pergi meninggalkan kita.
Kehilangan dan kepergian Sjahrir sebagaimana, dikatakan Dr. Koets, dari Partij van den Arbeid, adalah merupakan suatu kehilangan yang sangat besar.
Sjahrir pergi, sesudah berbakti dan mengabdikan hidupnya bagi Indonesia. la telah berbuat sesuatu, apa yang ia bisa dan telah memberikan sesuatu apa yang ia punya untuk bangsa dan tanah airnya.
Marilah kita teruskan perjuangannya, agar cita-citanya masyarakat sosialis Indonesia “Pancasila”tercapai.
Baca juga: Dalam Perjuangan Kemerdekaan, Bahasa Indonesia Sesungguhnya Lebih ‘Tajam’ dari Peluru