Penulis
Intisari-Online.com - Republik Demokratik Kongo bukanlah negara maju yang kaya dan masyarakatnya hidup mewah bergelimang harta.
Negara ini penuh dengan sejarah kemiskinan, penyakit, kekurangan gizi dan konflik berat sepanjang tahun 1990-an, yang telah merenggut ribuan nyawa warga sipil.
Namun, di tengah kekacauan Kongo, para pesolek yang mengaku diri dari sub-Sahara Afrika, menjalani kehidupan yang kontras dengan lingkungan mereka.
Panggil orang-orang ini Sapeur, diambil dari bahasa Prancis modern yang berarti "berpakaian dengan kelas."
BACA JUGA:Lima Hari Tinggal Bersama Kakeknya yang Telah Mati, Bocah ini Mengandalkan Air Keran untuk Hidup
Sapeur juga merupakan akronim dari kelompok sosial mereka: La Société des Ambianceurs et des Personnes Élégantes (Masyarakat Ambianceur dan Orang Elegan).
Mereka juga dikenal sebagai komunitas La Sape, kumpulan orang-orang pencinta fashion.
Penampilan mereka sangat khas, mengenakan pakaian-pakaian bermerek dan mahal. Meski begitu mereka bukanlah orang kaya.
Sapeur adalah orang-orang yang tinggal di Brazzaville, kota besar Kongo. Pekerjaan mereka umumnya adalah supir taksi, petani, dan tukang kayu.
Meskipun hidup yang Sapeur jalani tampak mengensankan pada pandangan pertama, ini bukan tanpa sisi gelap.
Sementara sebagian besar orang menghasilkan cukup uang untuk makan adalah prioritas, bagi Sapeur, mendapatkan cukup uang untuk membeli topi dari desainer Perancis atau Italia serta pakaian merek ternama dalah yang utama.
Kemiskinan ekstrim di Kota tempat tinggal kumuh Sapeur menyebabkan kekhawatiran, fashion telah menguasai kebutuhan dasar manusia.
Lebih jauh, Sapeur justru membanggakan kemampuan mereka untuk dapat mencuci, serta tetap bersih dan higenis, ditengah negara yang persediaan airnya terbatas.
Bahkan, mereka juga mengorbankan kesempatan pindah ke rumah yang lebih baik, membeli mobil atau membayar uang sekolah anaknya, untuk dapat memenuhi hasrat fashionnya.
Banyak yang menggunakan cara ilegal untuk mendapatkan pakaian yang diinginkan, beberapa juga telah berakhir di balik terali besi.
Asal Mula
Keberadaan La Sape ditelusuri kembali ke tahun-tahun awal kolonialisme di negara itu.
Prancis telah membudayakan orang-orang Afrika dengan memberi mereka pakaian bekas Eropa sebagai upah atas pelayanan mereka.
Ini kemudian berlanjut dan menjadi gerakan sosial yang dihidupkan kembali pada tahun 1970 oleh musisi Papa Wemba, di Kinshasa, ibukota Republik Demokratik Kongo.
Wemba mempromosikan budaya La Sape, menempatkan penekanan besar pada pakaian berkelas semua pria Kongo, terlepas dari perbedaan sosial mereka.
Wemba menggunakan ini dengan motif politik, melahirkan gelombang perlawanan rakyat terhadap rezim “autentisitas” Presiden Mobutu Sese Seko.
Ia memanfaatkan budaya berpakaian mewah ala Sapeur untuk menantang aturan berpakaian ketat yang melarang gaya Eropa dan Barat, yang dipaksakan oleh pemerintah.
Kini, Sapeur menjadi sebuah dilema di negara yang dihancurkan oleh perang saudara, pemboman, kemiskinan dan perampasan, dengan latar belakang lingkungan kumuh.
Sementara La Sape adalah gerakan revolusioner, yang pernah menentang para pemimpin politik, usaha berlebihan para Sapeur untuk mendapatkan pakaian berkelas menjadi keprihatinan.
Lebih jauh lagi, Sapeur menyadari prioritas kontras mereka dan menyatakan,"Sapeur adalah orang yang bahagia bahkan jika tidak makan, karena mengenakan pakaian yang tepat telah memberi makan jiwa dan memberi kesenangan pada tubuh".