Penulis
Intisari-Online.com -Lampegan menjadi saksi bisu perkembangan kereta api di Jawa. Di atas tanahnya bertaut antara legenda dan cerita nyata, termasuk kisah skandal ronggeng Nyi Sadea yang mati secara misterius.
---
Pagi yang cerah di Stasiun Lampegan, Cianjur. Zaenuddin, 47 tahun, termenung di sebuah bangku kayu yang hampir reyot. Keningnya berkerut. Tatapannya seolah ingin menembus layar laptop milik Heni Johariyang tengah menampilkan foto tua Stasiun Lampegan dalam warna hitam putih tersebut.
Sementara itu, di sisi kanan-kirinya, beberapa anak muda ikut melongo dalam tatapan yang agak kurang percaya.
“Enyaan euy, teu nyangka urang bisa ningali foto Lampegan ratusan tahun katukang (Benar-benar, saya tidak menyangka bisa melihat foto Lampegan ratusan tahun yang lalu),” ujarnya dalam dialek Cianjur yang kental.
Zaenuddin pantas merasa takjub. Foto yang tengah ia lihat adalah hasil jepretan seorang fotografer Belanda pada 1895. Foto itu ditemukan Hendi secara tak sengaja kala tengah mencari data-data tentang Batavia abad ke-19 di situs KITLV—sebuah institusi milik Kerajaan Belanda yang mengurusi bahasa, budaya, dan sejarah Hindia-Belanda—pada 2006 lalu.
Sebagai orang yang merasa tertarik dengan sejarah, sejak itu Hendi bercita-cita merekontruksi foto tersebut. Sebuah cita-cita yang akhirnya bisa terwujud. Bersama Rahmat Safari dan Helmy Adam, hampir dua jam lamanya mereka mengubek-ubek kawasan Stasiun Lampegan, coba mencari posisi yang tepat sesuai saat sang fotografer mengambil gambar tersebut 114 tahun yang lalu.
Akhirnya mereka menemukan tempat yang dianggap paling mungkin dari posisi sang pengambil gambar itu. Yakni sebuah rumah tua zaman Belanda yang letaknya persis di depan Stasiun Lampegan. “Ya, kalau pun enggak persis, agaka mendekatilah,” ujar Rahmat.
Secara historis, Stasiun Lampegan dibuat sekitar tahun 1879. Angka itu mengacu pada tahun awal pembuatan terowongan Lampegan, sebuah terowongan berpanjang 415 m yang dibuat dengan meledakkan bagian tengah badan Gunung Kancana yang menaungi kawasan tersebut.
Pembangunan terowongan selesai pada 1882 sebagai penghubung jalur kereta api Sukabumi-Cianjur-Bandung. Peresmiannya dilakukan pejabat Belanda dan menak-menak lokal. Untuk memeriahkan peresmian tersebut, pada malam harinya pihak jawatan kereta api Hindia Belanda tak lupa mengundang Nyi Sadea, seorang ronggeng yang terkenal di daerah tersebut. Malang bagi Nyi Sadea, usai meronggeng, seseorang mengajaknya pergi dan sejak itu tak pernah kembali.
“Entah dibunuh atau diapain, orang-orang enggak tahu,” kata Zaenuddin yang mengaku dapat cerita tersebut dari sang kakek.
Raibnya Nyi Sadea memunculkan rumor beraroma mistis di kalangan masyarakat sekitar. Sebagaian masyarakat di sana yakin, perempuan cantik itu telah dijadikan tumbal pembangunan terowongan Stasiun Lampegan. Konon tubuhnya ditanamdi salah satu dinding beton di sebelah dalam terowongan.
Sejak itu menurut Dachlan, seorang tokoh lokal, Nyi Sadea beredar sebagai arwah penasaran dan sekaligus menjadi penghuni gaib terowongan Lampegan.
“Katanya dia diperistri oleh Ranggawulung, penguasa gaib di kawasan ini. dan sekali-sekali sering menampakkandiri di terowongan,” ujar lelaki kelahiran 1957 itu. Entah benar atau salah, nyatanya hingga kini masyarakat setempat seolah menggenggam erat kisah skandal tersebut.
Sebelum ada jalur kereta api, kawasan Lampegan hanya dikenal sebagai kawasan Cikancana. Bisa jadi, itu mengacu pada Gunung Kancana. Lalu dari mana munculnya nama Lampegan? Tak lain itu berasal dari kondektur spur yang tiap menjelang terowongan kerap berteriak: “steek lampen ann!” yang artinya “nyalakan lampu”. Di telinga orang-orang Sunda waktu itu, seorang terdengar sebagai lampegan.
Kini Stasiun Lampegan masih kokoh berdiri. Begitu pula dengan terowongannya yang pada 2005 lalu sempat mengalami longsor hingga mematikan jalur Sukabumi-Cianjur-Bandung. Namun setelah para insinyur Jepang turun tangan pada 2006, jalur tua itu dinyatakan laik kembali digunakan.
“Katanya aktif lagi setelah Lebaran tahun ini,” ujar Zaenuddin, merujuk pada Idul Fitri tahun 2011. Jalur ini akhirnya benar-benar diaktifkan kembali pada 2016 lalu.
Pagi yang cerah di Lampegan belum juga enyah. Tak terasa orang-orang semakin banyak berkerumun di sekitar stasiun itu. Tatapan mereka masih tertuju pada tampilan foto tua di layar laptop. Ta 115 tahun memang bukan waktu yang singkat, namun terowongan itu tetap berdiri perkasa. Seolah saksi bisu yang menyimpan sejuta kenangan hidup dari para leluhur mereka.
Penulis: Hendy Jo