Sering 'Jualan' Jargon Antikorupsi, Benarkah Ada Partai yang Bebas Korupsi?

Ade Sulaeman

Penulis

Mulai dari anggota DPRD, kepala daerah, hingga anggota DPR, banyak yang kini mendekam di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan KPK.

Intisari-Online.com -Bukan hal baru kalau jargon antikorupsi selalu menjadi isu terdepan jelang pemilihan umum (pemilu). Partai poltik seakan berlomba menyampaikan pesan sebagai musuh praktik haram tersebut.

Tak heran bila jargon antikorupsi menggema, pakta integritas menolak praktik korupsi pun ditandatangani, bahkan hal terbaru, dukungan terhadap larangan eks narapidana kasus korupsi jadi calon anggota legislatif pun mengalir.

Akan tetapi, kenyataan tak seindah slogan yang diucapkan. Korupsi tak kunjung hilang, bahkan seakan melekat kuat. Buktinya, begitu banyak kader parpol tak henti-henti dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mulai dari anggota DPRD, kepala daerah, hingga anggota DPR, bahkan ketua DPR sekalipun banyak yang kini mendekam di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan KPK.

Baca juga:7 Rahasia Bugar Vladimir Putin, Salah Satunya Bangun Siang dan Sarapan di Tengah hari

Kini, larangan eks napi korupsi untuk jadi caleg pun ditabrak. Parpol masih saja mendaftarkan caleg eks napi kasus korupsi dengan dalih menunggu uji materi di Mahkamah Agung (MA) atas aturan tersebut.

Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto menilai, sensitivitas parpol atas kehendak publik sudah lama tumpul.

Padahal kehendak publik sederhana. Parpol diharapkan dapat menyodorkan calon wakil rakyat yang berintegritas, bukan yang punya catatan beringas mengorupsi duit rakyat.

Buruknya rekrutmen dan kaderisasi dinilai menjadi sebab utama sulitnya parpol menyodorkan nama caleg yang punya integritas.

Baca juga:Sudah Bayar Pajak Rp161 Miliar Masih Dimintai Lagi Rp301 Miliar, Pantas Ronaldo Pindah ke Italia

Publik mencari

Bila parpol seakan kesulitan mencari caleg berintegritas, maka publik kesulitan juga mencari parpol yang punya komitmen antikorupsi.

Kepercayaan publik kepada parpol sangat rendah. Hal itu terkonformasi dari berbagai survei kepercayaan publik yang menempatkan parpol di posisi terbawah.

"Ketika bicara parpol antikorupsi maka semua orang termasuk publik enggak percaya, utopis, seperti mimpi," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Rabu (25/7/2018).

Baca juga:Misteri Hilangnya Pasutri Saat Terbangkan Pesawat 21 Tahun Lalu Akhirnya Terungkap

Menurut Dahnil, sangat penting untuk menagih komitmen parpol atas antikorupsi. Sebab mau tidak mau, suka tidak suka, parpol adalah episentrum atau hulu dari kepemimpinan negeri.

Bupati, wali kota, hingga presiden pun berasal dari parpol. Bahkan pimpinan lembaga seperti KPK pun harus melalui proses di DPR yang notabene diisi oleh orang parpol.

Menurut Dahnil, saat ini masih sulit mencari parpol yang antikorupsi. Ia yakin publik juga kesulitan mencari parpol antikorupsi.

"Ada yang bertanya, 'Ini serius diskusi temanya mencari parpol antikorupsi? Memang ada?'. Itu artinya statement enggak ada parpol yang antikorupsi," kata Dahnil.

Di tengah kesulitan itu, wacana negara mendanai parpol kembali menyeruak. Dahnil setuju atas ide itu. Namun, apabila hal itu diterapkan, maka harus ada aturan yang bisa menghukum parpol yang masih korupsi.

Pertanyaannya, apakah para anggota DPR yang berasal dari parpol berani membuat undang-undangnya?

"UU Parpol kita harus menyediakan reward and punishment yang tegas. Kalau kemudian tertangkap, ini sudah dibiayai negara dengan jumlah besar, harus dibubarkan. Bagitu lebih konkret," kata Dahnil.

Kata parpol

Sejumlah parpol menyadari kader-kadernya belum bisa lepas dari praktik korupsi. Pemilu dengan sistem proposional terbuka dinilai sebagai salah satu penyebabnya.

Pasca-penerapan sistem proporsional terbuka dalam Pemilu 2009, terjadi pertarungan antar-caleg. Tak hanya dengan partai lain, namun juga caleg dari partai yang sama.

Seperti diketahui, dengan sistem proporsional terbuka, rakyat berdaulat penuh atas caleg yang dipilihnya. Siapa yang paling banyak dipilih rakyat, maka dialah yang akan duduk di legislatif.

Sistem ini juga dinilai rentan praktik politik uang. Caleg yang punya segudang dana dinilai bisa menang meski tak mempunyai visi dan tak memegang teguh ideologi partainya.

"Menurut saya, proposional terbuka ini memiliki kecenderungan yang koruptif," ujar Ketua DPP Partai Gerindra Bidang Pemerintahan Daerah Andy Rahmat Wijaya.

Kader Partai Amanat Nasional Izzul Muslimin juga mengakui bahwa kian hari biaya politik menjadi kian besar. Hal ini bisa membuat orang punya niat untuk korupsi agar balik modal.

Bagi dia, ini adalah kesalahan bersama. Ia tak mau menyalahkan siapa-siapa. Tetapi ia sepakat parpol harus berbenah diri.

Sedangkan Wakil Sekjen Nasdem Siar Siagian mengatakan, upaya untuk meminimalisasi praktik korupsi itu sebenarnya sudah dilakukan. Salah satunya yakni dengan tidak membebani para caleg dengan mahar politik.

Sebagai salah satu pengurus partai yang terlibat dalam proses rekrutmen, Siar mengaku Nasdem tidak menerima mahar terhadap calegnya. Dengan begitu, diharapkan tak ada beban utang politik yang ditanggung caleg.

Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal Partai Perindo Ahmad Rofiq menyadari masalah itu. Ia menilai belum lepasnya parpol dari korupsi karena korupsi baru menjadi musuh rakyat, namun belum jadi musuh para elite politik.

Belum matangnya demokrasi dinilai membuat korupsi belum menjadi musuh bersama. Dari realitas yang ada, parpol justru masih menjadikan korupsi teman dekat.

Kini, parpol harus segera berbenah untuk meninggalkan praktik koruptif kalau tak mau ditinggal pemilihnya. Salah satu jalannya dimulai lewat rekrutmen kader atau calon legislatif tanpa mahar.

Selain perlu perubahan di internal, peran serta masyarakat sipil untuk terus mengawasi dan mengkritik parpol sangat dibutuhkan.

"Muhammadiyah, NU harus ikut awasi partai-partai. Partai yang melakukan korupsi harus di-smash sekeras-kerasnya," kata Rofiq.

Saat ini publik sudah kesulitan mencari parpol dengan komitmen antikorupsi yang tinggi. Jangan sampai kesulitan itu berujung kepada kelelahan. Kelelahan terhadap parpol, terhadap politik, bahkan terhadap demokrasi. (Yoga Sukmana)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mencari Parpol Antikorupsi, Memang Ada?".

Baca juga:Kisah Petapa India yang Pamerkan 'Kesaktiannya' Bisa Hidup Kembali Setelah Dikubur Selama 40 Hari

Artikel Terkait