Ternyata Memang Pernah Ada Patung Hewan di Lapangan Banteng, Tapi Tak Berwujud Banteng, Kok Bisa?

Ade Sulaeman

Penulis

Intisari-Online.com -Peresmian Lapangan Banteng setelah menjalani revitalisasi selama satu tahun banyak menarik perhatian.

Selain karena wujudnya kini yang jadi jauh lebih menarik, juga mengenai siapakah yang paling 'berjasa' dalam revitalisasi tersebut.

Ada yang menganggap mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok sebagai sosok yang paling berjasa.

Ada pula yang menganggap Gubernur DKI Jakarta saat ini Anies Baswedan sebagai sosok yang paling berperan dalam revitalisasi lapangan Banteng.

Baca juga:Jarang yang Tahu, Inilah Rumah Menteri Susi Pudjiastuti, 400 Pegawai Susi Air Tinggal di Sini

Namun, di luar klaim-klaim tersebut, patut kiranya kita melakukan kisah balik tentang sejarah Lapangan Banteng.

Selain keberadaan monumen Pembebasan Irian Barat, nama dari Lapangan Banteng sendiri memiliki cerita unik.

Mengapa diberi nama Lapangan Banteng meski tak ada monumen berwujud Banteng di sana?

Ingin tahu jawabannya? Mari kita simak artikelberjudul "Napak Tilas Lapangan Banteng..." yang pernah tayang dikompas.com berikut ini:

Baca juga:Bermodal Sendok Makan, 3 Orang Ini Berhasil Kabur dari Penjara Super Ketat Alcatraz, Ini Nasib Mereka Kini

---

Lapangan Banteng yang terletak di Kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat, menjadi saksi bisu perkembangan kota Jakarta, dari tahun ke tahun.

Di tengah kemegahan yang dihimpit beberapa bangunan sejarah lainnya, seperti Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal, ada banyak cerita dari lapangan yang memiliki luas 5,2 hektar tersebut.

Jauh sebelum terpampang patung Pembebasan Irian Barat yang kini jadi ikon utama, sebelumnya pernah ada patung singa di lapangan tersebut.

Lapangan ini juga punya cerita kenapa akhirnya dinamai sebagai Lapangan Banteng.

Menurut catatan dari berbagai sumber, Lapangan Banteng sudah berganti nama hingga beberapa kali.

Pada era kolonial Belanda, lapangan ini bernama "Waterlooplein". Namun, pada masa itu, lapangan ini lebih dikenal dengan sebutan Lapangan Singa.

Nama itu dipilih karena dahulu di tengahnya terpancang tugu peringatan kemenangan pertempuran Waterloo, dengan patung singa di atasnya.

Pertempuran Waterloo merupakan perang terakhir Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte, pada 18 Juni 1815 di dekat kota Waterloo, sekitar 15 kilometer ke arah selatan Brussels, ibu kota Belgia.

Napoleon kalah melawan pasukan sekutu Inggris, Belanda, dan Jerman. Dalam sejarahnya, lapangan tersebut kerap beralih fungsi seiring dengan pergantian kepemilikan.

Bahkan, pernah menjadi terminal angkutan kota (angkot) yang melayani beragam jurusan di Ibu Kota, seperti Cililitan, Blok M, Priok, dan Grogol dengan bus asal Bulgaria bernama Robur.

Lapangan parade militer

Menilik buku "Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe" garapan Alwi Shahab, Lapangan Banteng dulunya kerap dijadikan area latihan militer pada masa Gubernur VOC Herman William Daendels.

Saat Daendels menjabat, ia memang mendapat tugas untuk membangun area tersebut sebagai pusat pertahanan militer di tanah Jawa.

Dengan banyaknya aktivitas militer, termasuk munculnya asrama militer, maka lapangan itu juga kerap dijadikan ajang parade militer. Bahkan, hari ABRI dulu sempat diadakan di sana.

Banteng simbol semangat nasionalis

Penyebutan Lapangan Banteng tercetus saat Indonesia merdeka. Namun, sebelumnya tugu singa sudah diruntuhkan saat Jepang menjajah Tanah Air.

Nama Lapangan Singa yang kental dengan nuansa kolonialisme dan simbol penjajahan ditinggalkan, lalu diubah menjadi Lapangan Banteng yang bertahan hingga saat ini.

Pertimbangan pergantian nama juga ada banyak versi, pertama karena dulunya di lapangan ini masih banyak ditemui satwa liar, mulai dari kijang, macan, dan juga banteng.

Tapi, ada juga versi yang menyebutkan bahwa sejak era Belanda, kawasan ini sudah disebut "Buffelsfeld" ( lapangan banteng).

Alasannya, karena banyak ditemui kubangan besar penuh air bekas galian tanah untuk membuat batu bata. Nah, kubangan tersebut kerap dijadikan lapak bermain kerbau.

Trikora dan pembebasan Irian Barat

Asal muasal patung bertubuh kekar yang sejak 17 Agustus 1963 berdiri tegak di tengah Lapangan Banteng hingga kini, tidak lepas dari sejarah Trikora.

Trikora, atau Tri Komando Rakyat, adalah nama operasi yang dikumandangkan Presiden Soekarno di Yogyakarta, untuk membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda.

Ide pembuatan patung yang terbuat dari perunggu dan memiliki bobot hingga delapan ton tersebut divisualisasi oleh Henk Ngantung, dalam bentuk sketsa.

Sketsa itu mengilustrasikan seseorang yang telah bebas dari penjajahan dan diterjemahkan melalui rantai serta borgol pada patung tersebut.

Sementara maestro dari patung tersebut adalah Edhi Sunarso, yang juga pemahat patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia. Pembuatan patung tersebut memakan waktu 12 bulan.

Revitalisasi

Kini, nama Lapangan Banteng kembali disorot usai Pemprov DKI Jakarta melakukan revitalisasi besar-besaran yang melibatkan HAP Architects. Pembangunannya hingga saat ini sudah hampir rampung, hanya tinggal detail sentuhan akhir di beberapa sektor.

Taman Lapangan Banteng dibangun ulang menggunakan konsep tiga zona, yakni zona Monumen Pembebasan Irian Barat, zona olahraga, dan taman.

Pada zona pertama, disekeliling monumen dibuat amphiteater lengkap bersama kolam pantul. Dari pantauan Kompas.com di lokasi, Minggu (3/6/2018), area ini memang cukup luas dan sudah tersusun rapih.

Layaknya sebuah teater, bangkunya dibuat tersusun ke atas dengan ruang lapang pada bagian tengah. Tepat di bagian depannya, atau samping patung, terdapat 10 panel terkait peristiwa kemerdekaan berupa pidato dari Bung Karno dan tokoh lainnya.

Semua panel tersebut melekat pada dinding bangunan dan berjejer sehingga mudahkan pengunjung untuk membacanya.

Sementara di arean taman, pepohonan rindang masih kokoh berdiri yang menjadikan kawasan ini nampak teduh dan asri.

Baca juga:Permalukan Pelanggan yang Membayar dengan Uang Receh Lengkap dengan Tips, Restoran Ini pun Kena Batunya!

Artikel Terkait