Penulis
Intisari-Online.com - Panasnya api perseteruan tak selamanya abadi. Kadangkala keyakinan yang sama mampu mendamaikannya. Seperti konflik yang terjadi di antara Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dan Pramoedya Ananta Toer.
(Kado Ulang Tahun Istimewa dari Google untuk Pramoedya Ananta Toer)
Dua tokoh sastra kenamaan Indonesia itu bersebrangan paham. Namun pada akhirnya, Islam jualah yang mendamaikan mereka.
Perseteruan di antara Hamka dan Pram bermula pada awal tahun 1963. Jagad sastra Indonesia digemparkan oleh dua surat kabar di Jakarta, yakni Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur. Kedua koran tersebut berafiliasi pada Partai Komunias Indonesia (PKI) di masa itu.
Keduanya memberitakan karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck merupakan hasil jiplakan.
(92 Tahun Pramoedya Ananta Toer: Kisah Babe, Sang Penyelamat Karya-karya Pram di Pulau Buru)
Rubrik Lentera dalam koran Harian Bintang Timur yang diasuh Pram, secara detil mengulas cara Hamka mencuri karangan itu. Karya tersebut diduga milik sastrawan asing, Alvonso Care.
Berbulan-bulan lamanya kedua koran tersebut terus menerus memojokan Hamka. Bahkan, kedua koran itu tak hanya mengkritik karya Hamka. Mereka juga menyerang Hamka secara pribadi.
Irfan Hamka, putra Hamka yang menuliskan memoar tentang ayahnya, dalam buku yang berjudul Ayah, mengaku sering dipojokan oleh guru sastra Indonesianya semasa SMA. Gurunya saat itu memang dekat dengan tokoh Lekra seperti Pram.
"Guru sastra Indonesiaku, begitu pula dengan guru Civic-ku (Kewarganegaraan), keduanya dengan gaya mengejek selalu menanyakan kesehatan ayah, dan tak lupa berkirim salam kepada Ayah, kupingku selalu panas mendengarnya," aku Irfan dalam bukunya.
Seiring berjalannya waktu, para pegiat Lekra pun harus menghadapi kenyataan pahit. Peristiwa G 30 S PKI, mengharuskan mereka masuk ke dalam daftar pencarian orang untuk ditangkap.
Kedekatan mereka dengan tokoh-tokoh PKI dianggap sebagai bentuk kegiatan subversif terhadap negara. Pram termasuk pihak yang ditangkap dan dipenjara di Pulau Buru.
Beberapa tahun kemudian, Pram pun bebas. Namun, Hamka tak pernah mengusik perosalan masa lalunya dengan Pram.
"Ayah sama sekali tak pernah terusik dan beraktivitas seperti biasanya saja," papar Irfan.
Pada suatu kesempatan, Hamka kedatangan sepasang tamu. Seorang perempuan Jawa dengan nama Astuti dan seorang lelaki keturunan Tionghoa bernama Daniel Setiawan.
"Saat Astuti memperkenalkan siapa dirinya, Ayah agak terkejut, ternyata Astuti adalah putri sulung dari Pram" lanjut Irfan.
Astuti pun mengutarakan maksud kedatangannya kepada Hamka. Dia memohon kepada Hamka agar membimbing calon suami yang dibawanya serta untuk masuk Islam. Astuti mengatakan, sang ayah tak setuju jika memiliki menantu yang berbeda iman.
Setelah mengetahui maksud kedatangan Astuti, tanpa sedikit keraguan, Hamka langsung meluluskan permohonan sang tamu. Ia membimbing Daniel Setiawan, calon menantu Pram membaca dua kalimat syahadat.
Hamka lantas menganjurkan Daniel untuk segera berkhitan dan menjadwalkan untuk mempelajari Islam dengannya.
Sepanjang pertemuannya dengan putri sulung Pram itu, Hamka tak sekalipun menyinggung persoalannya dengan Pram beberapa tahun silam.
Salah seorang teman Pram, Hoedaifah Koeddah, sempat menanyakan alasannya mengirim calon menantunya kepada Hamka untuk mempelajari Islam. Pram pun menjawab dengan penuh ketegasan.
"Masalah paham kami tetap berbeda, saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka," tutur Pram seperti dikutip dalam buku Ayah, karya Irfan Hamka.
Hoedaifah pun sempat menuliskan cerita tersebut dalam majalah Horison edisi Agustus Tahun 2006. Dia melihat tampaknya kisah Pram yang mengirim calon menantunya kepada Hamka, sekaligus menunjukan permintaan maafnya.
Hamka yang langsung menerima maksud kedatangan Astuti pun secara tak langsung menunjukan sikap memaafkan. Dia bahkan bersedia membimbing calon menantu Pram itu untuk mendalami agama Islam. Ya, pada akhirnya Islam jualah yang mendamaikan keduanya.
(Rakhmat Nur Hakim)