Penulis
Intisari-Online.com -Saat ini, warga Bali tengah siaga satu.
Sebab, Gunung Agung dilaporkan kembali meletus pada Senin(2/7/2018) malam, sekitar pukul 21.04 WITA.
Menurut data PVMBG, erupsi tersebut menyebabkan tinggi kolom abu teramati mencapai 2.000 meter di atas puncak (± 5.142 m di atas permukaan laut).
Namun jika warga Bali dan seluruh Indonesia was-was dengan aktivitas Gunung Agung yang kian meningkat, para peneliti dan ilmuwan NASA justru sebaliknya.
Menurut mereka, meletusnya Gunung Agung itu berpotensi menyelamatkan dunia dari perubahan iklim.
Kok begitu?
Hal tersebut diucapkan pada Februari 2018 silam.
NASA berharap bisa memanfaatkan gunung berapi yang meletus di pulau itu—ya benar, Gunung Agung—untuk mempelajari efek lebih lanjut.
Para peneliti itu berharap, dengan melacak letusan Gunung Agung, mereka bisa tahu lebih banyak tentang bagaimana bahan kimia yang dilepaskan ke atmosfer bisa digunakan untuk melawan perubahan iklim.
Setelah Gunung Agung bangun dari tidur dan kemudian meletus pada akhir November tahun lalu, secara konsisten gunung itu menuangkan uap dan gas ke atmosfer.
Fenomena ini cukup khas meskipun beberapa gunung berapi begitu kuat sehingga bisa menyebabkan apa yang dikenal dengan “musim dingin vulkanik”.
Letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah yang tercatat terjadi di Gunung Tambora pada 1815.
Letusan ini menyebabkan “Tahun Tanpa Musim Panas”, menyebabkan turunnya salju di Albany, New York, pada Juni setahun berikutnya.
Letusan ini juga menghancurkan tanaman pangan, membuat orang-orang kelaparan, dan rupanya mengilhami Mary Shelley untuk menulisFrankenstein.
Bagi para peneliti, Gunung Agung bisa menjadi kesempatan mereka untuk mengetahui bagaimana gunung berapi mempengaruhi iklim seperti Gunung Tambora.
Penelitian ke Gunung Agung dimulai dengan penerbangan sepuluh jam ketika sebuah gunung berapi di Filipina meletus pada 1991.
Baca juga:BREAKING NEWS: Gunung Agung Kembali Meletus, Kolom Abunya Capai 2.000 Meter di Atas Puncak
Para ilmuwan telah mengambil tren selama letusan skala yang lebih kecil pada 1982 dari gunung berapi El Chichon di Meksiko, tapi tidak ada yang seperti apa yang mereka lihat di Gunung Pinatubo di Filipina yang disebut sebagai letusa terbesar abad ke-20.
Memuntahkan satu kubik mil batu dan abu ke udara dan 20 juta ton gas belerang dioksida ke atmosfer, Gunung Pinatubo tidak hanya menghancurkan masyarakat sekitar tapi sejumlah gasnya yang dikeluarkannya mempengaruhi keseluruhan planet kita.
Ketika Pinatubo meletus, sejumlah besar gas yang dikeluarkan menyebar ke seluruh dunia.
Sejurus kemudian, terjadi reaksi kimia, ketiga gas bercampur dengan uap air yang menghasilkan tetesan “super dingin” kecil yang dikenal sebagai aerosol.
Pada gilirannya, aerosol itu memantulkan dan menyebarkan sinar matahari ke bumi.
Sejumlah besar aerosol memantulkan cahaya yang cukup jauh dari bumi sehingga suhu global rata-rata turun satu derajat Fahrenheit selama beberapa tahun.
Letusan seperti ini, menurut The New York Times, adalah influencer alami bumi.
Para ilmuwan berharap mereka dapat memanfaatkan letusan ini untuk mempelajari peristiwa besar berikutnya—dan berpotensi menyelamatkan planet ini dari serangkaian dahsyat yang mengerikan.
Menurut para ilmuwan itu, letusan Gunung Agung identik dengan Pinatubo. Itulah sebanya NASA berharap bisa mengirim balon ke udara yang dilengkapi perangkat untuk mengukur dampak letusan gunung berapi di atmosfer bumi.
NASA berharap bisa mempelajari efeknya selama bertahun-tahun yang akan datang.
Jika letusan Gunung Api bisa sebesar letusan tahun 1963, ia bisa memompa cukup belerang dioksida ke atmosfer untuk menghasilkan efek pendingin yang signifikan meski pada awalnya akan merusak lapisan ozon.
Tapi masalahnya, para peneliti itu tidak tahu persis kapan Gunung Agung meletus dengan letusan besar. (Moh Habib Asyhad)
Baca juga:Aktivitas Gunung Agung Meningkat, Bandara Ngurah Rai Bali Ditutup Sementara