Penulis
Intisari-Online.com -Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang berlangsung di Indonesia punya cerita panjang.
Sebelum berlangsungnya pilkada secara langsung pertama pada 2005, mekanisme pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Kini, sejak 2015, pilkada langsung berlangsung serentak. Pada 2018 ini, Pilkada Serentak yang akan digelar pada hari ini, Rabu (27/6/2018), merupakan yang ketiga kalinya.
Dua pilkada serentak sebelumnya dilaksanakan pada 2015 dan 2017.
Baca juga:Catat ya Wanita, Jangan Pernah Lakukan 4 Hal Ini di Organ Intim atau Anda Akan Menyesalinya
Kilas balik, ini riwayat pilkada di Indonesia.
Masa penjajahan
Pada masa pendudukan Belanda, semua pemimpin daerah ditunjuk dan dipilih langsung oleh pemerintah kolonial.
Baca juga:Bayi Malang Dibuang di Luar Resto, Wanita Baik Hati Lakukan Tindakan Tak Terduga
Belanda punya kewenangan penuh terhadap sistem pemerintahan pada waktu itu.
Jabatan pemimpin provinsi dan karesidenan diisi oleh orang-orang Belanda.
Sementara, warga Indonesia, hanya mendapatkan posisi sebagai pemimpin di tingkat kabupaten sampai camat.
Itupun masih harus memberikan upeti.
Baca juga:Disebut Danau Terdalam Kedua di Indonesia, Inilah Rekaman Video Dasar Danau Toba
Bupati atau camat wajib memberikan upeti kepada Belanda sebagai sikap patuh terhadap penguasa.
Ketika Jepang masuk, sistem yang digunakan masih sama.
Setiap pemimpin daerah masih ditunjuk oleh penguasa. Hanya saja, penamaan jabatan berganti dengan istilah Jepang.
Masa setelah kemerdekaan
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sistem pemerintahan mulai dibenahi.
Terbit UU No 1 tahun 1945 yang mengatur mengenai kedudukan Komite Nasional Daerah di mana kepala daerah menjalankan fungsi sebagai pemimpin komite nasional daerahnya.
Kepala daerah masih sama seperti sebelumnya karena kondisi politik pada awal kemerdekaan belum stabil.
Setelah 3 tahun berjalan, sistem ini diperbarui. Pada 1948 ditetapkan Undang-undang Pengganti tahun 1945.
Dengan penggantian undang-undang tersebut, sistem pemilihan menjadi lebih transparan.
Gubernur ditetapkan oleh Presiden, yang sebelumnya mendapatkan rekomendasi dari DPRD Provinsi.
Sementara, bupati direkomendasikan oleh DPRD tingkat daerah, dan kepala desa diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Desa.
Semua dewan perwakilan di setiap jenjang berpengaruh besar terhadap siapa saja yang akan dijadikan kepala daerah.
Pada 1950, Undang-Undang Dasar 1945 berubah menjadi Undang-Undang Sementara (UUDS) 1950.
Pada masa ini, hanya terjadi sedikit perubahan nama dari tingkat provinsi dengan daerah tingkat I.
Tingkat kota atau kabupaten disebut daerah tingkat II. Demikian pula ke tingkatan di bawahnya menjadi daerah tingkat III untuk kecamatan.
Setelah dikembalikannya UUDS 1950 ke UUD 1945, peraturan konstitusi juga mengalami perubahan.
DPRD hanya merekomendasikan nama, dan yang berhak untuk menentukan adalah Presiden dan Mendagri.
Pemerintah pusat semakin kuat dengan kekuatannya untuk menentukan dan memberhentikan kepala daerah yang diusulkan oleh DPRD.
Masa Orde Baru
Ketika Presiden Soeharto berkuasa, Undang-Undang No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah diterbitkan.
Presiden mempunyai kewenangan penuh dan kontrol berlebih tentang penetapan kepala daerah.
Presiden memiliki penilaian tersendiri mengenai hasil rekomendasi yang disampaikan DPRD.
Kepala daerah diangkat oleh presiden dari yang memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dianggap patut dan diterima oleh presiden.
Melalui mekanisme ini, diharapkan ada kerja sama dari calon kepala daerah terpilih terhadap kepentingan penguasa.
Masa reformasi dan setelahnya
Setelah berakhirnya rezim Orde Baru, dilakukan revisi atas sejumlah UU. Salah satunya, pemerintah mengundangkan UU Nomor 22 tahun 1999 mengenai penyelenggaraan pemerintah di daerah.
Sebelumnya, DPRD hanya mengusulkan nama dan kandidat kepala daerah, kemudian diserahkan kepada Presiden yang akan memutuskan diterima atau tidak usulan tersebut.
Kali ini, DPRD mempunyai wewenang penuh terhadap terpilihnya kepala daerah.
DPRD membuka rekruitmen di daerah secara demokratis, namun praktik pembelian suara oleh anggota DPRD dari calon kepala daerah banyak terjadi pada era ini.
Munculnya praktik politik uang menjadi kelemahan sistem ini.
Praktik politik uang yang bertujuan untuk membeli suara dari anggota DPR membuat jalannya pemilihan mendapatkan kritik dari berbagai kalangan.
Pada 2004, dilakukan revisi UU hingga terbitnya UU Nomor 32 tahun 2004 yang mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung.
Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik.
Rakyat diberikan kesempatan langsung untuk menentukan kepala daerah sesuai dengan pilihannya.
Setelah itu, muncul UU Nomor 12 tahun 2008. Dalam undang-undang ini, mereka yang mencalonkan diri tidak harus bergabung atau masuk ke partai politik terlebih dahulu.
Calon perseorangan boleh mendaftar dengan syarat dukungan masyarakat. (Aswab Nanda Pratama)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Riwayat Pilkada di Indonesia".
Baca juga:5 Fakta Air Mani yang Jarang Diketahui Orang, Pria Akan Memproduksi 18 Liter Selama Hidupnya