Kisah Hidup Kate Spade, Berjuang Dari Nol Hingga Bisa Membuat Tas Mewah yang Mendunia

Yoyok Prima Maulana

Penulis

Perjalanan hidup Kate Spade (55), tentu saja sebelum dia bunuh diri, mirip alur fim-film inspiratif, kisah klasik pebisnis perempuan Indonesia.

Intisari-online.com - Perjalanan hidup Kate Spade (55), tentu saja sebelum dia bunuh diri, mirip alur fim-film inspiratif.

Kate identik dengan kisah klasik pebisnis perempuan Amerika yang memulai perjuangan dari nol.

Kate lahir dengan nama Kate Brosnahan di Missouri dan bersekolah di sekolah Katolik khusus perempuan dan Arizona State University.

Di sanalah dia bertemu dengan calon suaminya, Andy Spade, saudara dari komedian Hollywood David Spade, yang bekerja di toko pakaian.

BACA JUGA:Kate Spade Tewas Bunuh Diri, Ternyata Begini Rasanya Gantung Diri

Mereka lalu pindah ke New York. Di sana, Kate bekerja di bidang periklanan dan sebagai editor mode di majalah Mademoiselle sebelum kemudian menjalani usaha.

Kate mengaku terinspirasi untuk memulai perusahaannya karena tidak suka dengan banyak tas tangan yang ada di masa itu dan dia menginginkan gaya yang lebih sederhana.

"Saya pikir, wah, kenapa kita tidak bisa menemukan sesuatu yang tampak bersih dan sederhana dan modern?" katanya pada NPR awal tahun ini.

Warna-warna merah dan pink yang cerah bisa dilihat di tas boxy nylon atau tas jinjing kulit yang dibuatnya, dan inilah yang menarik perhatian para pembeli di pusat perbelanjaan Barney's di New York dan tasnya segera menjadi simbol status di kalangan tertentu.

BACA JUGA:Kenapa Mesti Pasukan Gurkha yang Amankan Pertemuan Presiden Trump dan Kim Jong Un?

Pada 1999, saat Neiman Marcus membeli saham 56%, mereka membayar $30 juta dolar (sekitar Rp400 miliar lebih) terhadap perusahaan tersebut yang kemudian memperlebar usahanya ke aksesoris lain, termasuk sepatu hak pendek dan alat tulis.

Gaya desain Kate Spade mirip dengan merek seperti Lilly Pulitzer dan Tory Burch, perusahaan Amerika yang menjadikan nama perempuan pendiri sebagai merek mereka.

Namun Kate mengembangkan sebuah citra yang lebih mirip dengan rumah mode Eropa, seperti Valentino dan Chanel.

"Mode bisa terasa seperti kostum," katanya dalam sebuah wawancara dengan Boston Globe pada 1999.

BACA JUGA:Punya Potensi Gigi Berlubang? Lakukan 8 Cara Mudah Ini untuk Memulihkannya

Dia mengatakan pada Vogue bahwa produknya "tidak intimidatif" - meski pelanggannya banyak dari kalangan elite, salah satunya Duchess of Cambridge.

Pada 2006, keluarga Spade mengumumkan bahwa mereka akan menjual saham di perusahaan tersebut.

Jika dilihat lagi, momen itu terlihat seperti akhir sebuah era - sesaat sebelum belanja online, krisis keuangan, perubahan gaya mode, dan pemilik saham membuat industri retail mode seperti terhenti.

Pasangan Spade yang tak gentar dengan berbagai perubahan itu kemudian mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan merek baru, Frances Valentine, sekitar satu dekade kemudian.

Spade, yang menyebut dirinya sebagai orang yang sering gugup, mengakui dalam wawancara di NPR bahwa keputusan itu punya risiko besar.

"Masih ada banyak tekanan, percayalah," katanya. (BBC)

BACA JUGA:Tanda-tanda Pasangan Hanya Memanfaatkan Anda, Salah Satunya Mungkin Sedang Anda Rasakan

Artikel Terkait