Find Us On Social Media :

Menyelami Peninggalan Perang Dunia II di Manokwari

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 23 November 2016 | 07:00 WIB

Pulau Mapia

Intisari-Online.com – Menyelam tak harus ke taman laut yang indah. Ke wreck tempat peninggalan sejarah Perang Dunia II di Manokwari pun akan memberi kepuasan tersendiri. Itulah yang kami lakukan di sana.

Agustus 2006 yang cerah, kami bersebelas memasuki kapal Putri Papua milik Grand Komodo di pelabuhan Anggrem, Manokwari. Kami hendak berlayar menuju Mapia Atol. Rasa kantuk akibat kurang tidur sirna seketika. Padahal, pagi harinya, pada pukul 03.45 kami sudah harus berkumpul di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Oooaah, malam hari sebelumnya saya nyaris tidak tidur, mempersiapkan peralatan menyelam yang akan dibawa hari ini.

Dalam rombongan kami terdapat teman-teman penyelam dari Corona Diving Club beberapa daerah, seperti cabang Jakarta, Lampung, dan Palembang. Dive master yang akan mendampingi kali ini Weka dan Noah. Weka sudah tidak asing lagi karena pernah mendampingi kami waktu menyelam ke Raja Ampat, dua tahun lalu. Terbayang, betapa menyenangkannya menyelami lokasi baru yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.

Amanat sang kakek

Pulau Mapia adalah pulau yang berada di posisi terluar di atas kepala burung Papua. Setelah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diambil Malaysia, kini pulau ini menjadi salah satu pulau terluar yang dijaga ketat oleh Angkatan Darat dan Angkatan Laut TNI. Hanya sayangnya, mereka tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai. Hal ini terlihat berbeda jauh dengan ketika kami menyelam ke Pulau Sipadan setahun sebelumnya. Di sana tentara Malaysia tampak begitu berwibawa dengan peralatan lengkapnya menjaga pulau tersebut.

Perjalanan yang biasanya memakan waktu sekitar 15 jam mengarungi Samudra Pasifik, kali ini molor jadi 20 jam. Penyebabnya, imbas badai di Filipina yang terjadi sehari sebelumnya. Alun gelombang yang tingginya mencapai 2 - 3 m membuat perjalanan kali ini luar biasa buruknya. Kapal berayun ke kiri dan ke kanan menimbulkan mabuk dan mual. Akhirnya ketika kami tiba di Mapia, hanya tersisa sedikit semangat dengan harapan menemukan lokasi penyelaman yang indah sebagai kompensasi pelayaran yang buruk ini.

Walaupun kami sudah menikmati asyiknya menyelam di Karang Barasi, Mercu Suar, dan Mulut Atol, rasa mual dan mabuk belum juga hilang, bahkan tambah menyiksa karena gelombang tidak kunjung reda. Mempertimbangkan kondisi teman-teman yang tidak bisa menikmati penyelaman ini, kami memutuskan untuk kembali ke Manokwari dan melakukan penyelaman kapal tenggelam di sana. Mestinya, penyelaman pengganti ini tidak kalah menariknya.

Menurut catatan-catatan kuno, ada lebih dari 400 kapal pernah tenggelam di seluruh perairan Indonesia. Kapal-kapal itu membawa banyak muatan barang-barang berharga seperti keramik, emas. perak, mutiara, dan timah dalam jumlah besar. Selain itu juga ada kapal dengan muatan candu. Sayangnya, barang-barang tersebut sering diambil dengan tidak bertanggung jawab, sehingga menghilangkan data sejarah penting yang ada di dalamnya. Demikian juga kekayaan bernilai tinggi ikut terbang.

Irian Jaya di masa Perang Dunia II dulu menyisakan banyak kapal atau pesawat terbang yang tenggelam di perairannya. Yang terbanyak konon ada di sekitar Biak. Teluk Doreri di Manokwari adalah lokasi yang terlindung dari angin dan gelornbang serta memiliki jarak pandang bawah air yang bagus. Seluruh badan kapal bisa terlihat dengan jelas. Menurut informasi yang diperoleh, ada lima lokasi wreck yang bisa diselami di sekitar perairan ini, sebagian besar adalah kapal, dan hanya satu pesawat.

Wreck pertama adalah Carnauba, Pesawat capung P40 yang konon milik keluarga Johnson di Amerika Serikat, sempat dijual kepada orang Belanda. Pesawat ini kemudian dipakai untuk mengantar obat-obatan ke Manokwari selama masa Perang Dunia II. Dalam sebuah tugas, pesawat ini mengalami kerusakan mesin dan jatuh di Karang Tengah, di depan Mercusuar Teluk Doreri, Manokwari, pada kedalaman 30 m. Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan tersebut. Pilot kemudian menandai posisi jatuhnya pesawat secara visual.

Mungkin erat kaitannya dengan sejarah keluarga, maka ketika sudah  jaya, keluarga Johnson mendapat amanat dari sang Kakek pemilik pesawat, agar para penerusnya berusaha mencari pesawat tersebut. Diketahui beberapa kali keluarga Johnson datang ke Indonesia untuk mencari keberadaan pesawat tersebut, namun belum menemukannva.

Juli 2006, mereka datang kembali dengan membawa arkeolog, sarjana mesin, dan kru underwater film. Kali ini mereka beruntung, dengan bantuan dive master Grand Komodo pesawat tersebut bisa ditemukan. Kegembiraan tercermin di wajah sang Nenek dan  anak-cucunya. Barangkali mereka bahagia bisa melaksanakan amanat sang Kakek. Sebongkah batu yang sudah disiapkan dan dibawa dari Amerika Serikat ditaruh di depan bangkai pesawat, bertuliskan: