Penulis
Intisari-Online.com - Jakarta, Kamis, 30 September 1965. Tepat 51 tahun yang lalu, umur saya masih 14 tahun.
Malam itu tidak ada yang berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Saat itu bapak sedang tidak di rumah.
Dia sedang menghadiri sebuah acara, kalau tidak salah Hari Teknik Nasional. Sebagai seorang Presiden Republik Indonesia sudah menjadi keharusan beliau menyampaikan pidato.
Setelah acara itu Bapak tidak pulang ke Istana. Kebiasaan Bapak pada hari Jumat sampai Minggu, dia akan pulang ke rumah istri ketiganya, Ibu Hartini di Bogor.
Tidak ada sesuatu apapun yang mengejutkan. Semua berjalan seperti biasa. Sampai pada pagi harinya, Jumat 1 Oktober 1965, saya sedang bersiap akan berangkat ke sekolah.
Tiba-tiba pengasuh saya memanggil. "Putri, hari ini tidak boleh sekolah karena kabar dari Detasemen Kawal Pribadi ada jenderal yang diculik," kata dia.
Sejak kecil saya dipanggil dengan nama Putri oleh pengasuh saya, bukan dengan nama asli, Sukmawati.
Suasana pagi itu begitu sepi dan mencekam. Saya mengintip dari jendela, tidak ada satu pun ajudan Bapak yang berkumpul di Istana.
Saya justru melihat di pagar Istana ada sekumpulan tentara siap tempur dengan seragam PDL (Pakaian Dinas Lapangan).
"Kok aneh," pikir saya, karena hari itu tidak ada perayaan kenegaraan apapun.
"Ah mungkin karena ada jenderal yang diculik."
Kemudian saya melihat ada seorang tentara membawa pistol di halaman istana, juga ada truk tentara.
Aneh, padahal tidak boleh ada truk dan senjata api di lingkungan istana. Hanya ajudan bapak saja yang boleh membawa senjata di Istana.
Keadaan semakin mencekam. Di dalam istana hanya ada kakak saya Rahmawati dan adik saya Guruh.
Tidak lama kemudian seorang ajudan menyuruh kami berkemas untuk meninggalkan Istana. Kami diantar ke rumah Ibu di Jalan Sriwijaya.
Saat keluar dari Istana, memang banyak tentara tak dikenal berjaga di depan pagar. Dari rumah, kami diminta untuk menemui Bapak di kawasan Halim.
Kami akhirnya bertemu. Saya melihat ekspresi bapak saat itu sangat berbeda. Ekspresi yang tidak pernah saya lihat sejak peristiwa percobaan pembunuhan Bapak pada 30 November 1957 di Perguruan Cikini.
Siang hari itu, wajah Bapak kusut. Ada kesedihan dan kekalutan. Perasaan saya mengatakan ada sesuatu yang tidak benar sedang terjadi.
Saat berada di Halim, saya melihat Bapak ditemani oleh para panglima tentaranya, kecuali Jenderal Ahmad Yani saja yang tidak hadir di situ.
Kemudian bapak menyuruh saya untuk menemui Ibu yang sedang berada di Bandung. Setelah hari itu hidup saya berjalan seperti biasa.
Tahun 1967, kami sekeluarga harus keluar dari Istana. MPRS mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 yang isinya pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno atas segala kekuasaan pemerintah negara dan mengangkat pengemban Supersemar sebagai presiden, yakni Soeharto.
Setelah itu, Bapak dikenai tahanan kota dan menetap di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Jakarta) sampai akhir 1967.
Pada awal 1968, Soekarno dikenai tahanan rumah dan dibatasi aktivitasnya, termasuk untuk bertemu keluarga.
Bapak pernah mengatakan kepada saya bahwa dia sangat merasa kesepian. Banyak menteri yang masih setia kepadanya diciduk oleh Pemerintah.
Hanya Ibu Hartini yang diperbolehkan mendampingi di rumah tahanan. Saya hanya bisa menjenguk ketika tim investigasi dari Angkatan Darat tidak datang ke rumah tananan untuk melakukan pemeriksaan.
Betapa hancurnya hati seorang Bung Karno, setelah apa yang sudah dia berikan kepada bangsanya, malah dijadikan sebagai tahanan politik.
Suatu hari saya menjenguk Bapak. Dia sudah malas keluar untuk jalan-jalan keliling kota, kebiasaannya sejak dulu. Hari itu dia hanya tidur-tiduran saja di sofa.
Tiba-tiba, dia menangis tersedu sambil memeluk saya. Saat itu saya tidak terlalu paham kenapa Bapak menangis.
Belakangan saya baru mengetahui, Bapak menangis karena mendengar kabar yang tidak baik setelah 1 Oktober 1965. Terjadi pembunuhan massal terhadap rakyatnya yang dituduh memiliki paham komunisme.
Bapak juga menangis karena dia digulingkan begitu saja oleh bangsanya sendiri dan jutaan rakyat yang dia cintai dibunuh untuk melanggengkan sebuah kekuasaan. Memang tragis, akhir hidup seorang pendiri bangsa.
*Cerita ini disusun dari penuturan Putri Presiden pertama RI Sukmawati Soekarnoputri saat ditemui Kompas.com di Kantor PARA Syndicate, Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (30/9/2016).
(Kristian Erdianto/kompas.com)