Penulis
Intisari-Online.com -Mimpi buruk itu dimulai sebulan setelah tragedi 11 September 2011 yang menewarkan sekitar tiga ribu orang itu. AS, dengan kampanyenya melawan teror, memulai invasi ke Afganistan. Lalu, bagaimana kondisinya 15 tahun kemudian?
Hasilnya, 15 tahun setelah invasi berbiaya super mahal itu, baku bunuh masih terus terjadi di negeri Asia Tengah tersebut. Afganistan yang diinvasi pada 7 Oktober 2001 dalam upaya untuk menggulingkan Taliban yang diyakini menyembunyikan Osama bin Laden menjadi sejarah tersendiri bagi AS.
Intervensi militer AS di Afganistan menjadi yang terpanjang sejak perang Vietnam dengan biaya yang sangat mahal yaitu melampaui angka 100 miliar dolar AS. Namun, biaya besar ditambah korban jiwa yang jatuh tampaknya tak terlalu berdampak bagi Afganistan. Kini setelah sebagian besar pasukan AS dan NATO ditarik mundur, perang tak kunjung berakhir di negeri tersebut.
Ada beberapa data yang mesti kita ketahui tentang Afganistan 15 tahun pascainvasi AS.
Korban warga sipil
Dalam paruh pertama tahun ini saja, menurut PBB, 5.100 orang warga sipil menjadi korban dan 1.600 orang di antaranya meninggal dunia. Sepanjang tahun lalu tak kurang dari 11.000 warga sipil tewas atau terluka dalam berbagai serangan, terkena ranjau atau baku tembak yang terjadi di 31 dari 34 provinsi di Afganistan.
Namun, jumlah pasti korban manusia selama 15 tahun terakhir sulit diperoleh, karena korban di tahun-tahun awal perang tak tercatat. Setidaknya sejak 2009, menurut catatan Misi Bantuan AS di Afganistan (UNAMA) sebanyak 23.000 orang tewas dan 41.000 orang lainnya terluka.
Pasukan asing
Kehadiran pasukan asing di Afganistan mencapai puncaknya pada 2012 ketika sebanyak 150 ribu personel militer dari berbagai negara masuk ke Afganistan. Dari jumlah itu, sebanyak 100 ribu personel adalah anggota militer Amerika Serikat.
Pada akhir 2014, sebagian besar pasukan NATO ditarik mundur tetapi Washington memutuskan untuk mempertahankan 8.400 personel hingga 2017 untuk mendukung 350 ribu personel militer dan polisi ditambah 18 ribu pasukan khusus Afganistan.
Kerugian tiap negara
Hingga akhir 2014, korban tewas dari pasukan NATO tercatat 3.500 orang dan 33 ribu lainnya mengalami luka. Jika dirinci maka AS menderita korban terbanyak dengan 2.400 orang tewas dan 20 ribu luka, disusul Inggris dengan 453 tewas dan 7.500 terluka.
Selanjutkan, Kanada dengan 159 orang tewas dan 1.859 orang terluka kemudian Perancis 89 orang tewas dan 725 terluka. Angka ini tidak termasuk korban tewas dari anggota kontraktor keamanan swasta. Sementara pasukan Afganistan kehilangan 2.500 personel dan kepolisian kehilangan 3.700 orang anggotanya sepanjang 2015.
Biaya
AS telah menghabiskan uang sebanyak AS$110 miliar untuk rekonstruksi Afganistan sejak 2001. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding biaya yang dikucurkan dalam Marshall Plan untuk memperbaiki Eropa usai Perang Dunia II.
Namun, biaya sebesar itu tak banyak memberikan dampak positif karena sekitar 80 persennya masuk kembali ke “kantong AS” dalam bentuk kontrak militer, biaya pemeliharaan dan berbagai jenis konsultan.
Korupsi juga menghabiskan sebagian besar biaya ini. Sehingga Transparansi Internasional menuding negara gagal memberikan layanan paling dasar untuk warga negara. Alhasil organisasi ini menempatkan Afganistan sebagai negara terkorup nomor tiga di dunia.
Pengangguran dan pengungsian
Konferensi internasional negara donor di Brussels, Belgia pekan ini sepakat untuk mengucurkan bantuan sebesar 15,2 miliar dolar AS untuk empat tahun ke depan bagi Afganistan.
Uang ini diharapkan bisa digunakan untuk mempercepat upaya rekonstruksi dan mengurangi angka pengangguran yang mencapai 40 persen menurut data Bank Dunia. Saat ini terdapat 1,2 juta warga Afganistan menjadi pengungsi di dalam negeri dan angka ini terus bertambah karena kondisi keamanan yang tak kunjung membaik.
Pakistan saat ini menampung 2,4 juta pengungsi Afganistan sedangkan satu juga pengungsi lainnya berada di Iran. Berdasarkan perkiraan Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) dan ditegaskan pemerintah Afganistan, 70 persen warga yang tinggal di kota-kota besar, termasuk Kabul, tinggal di gubuk-gubuk darurat.(Ervan Hardoko/Kompas.com)