Find Us On Social Media :

Seputar G30S/PKI: Kisah Sukitman, yang Lolos dari Lubang Buaya (1)

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 30 September 2016 | 14:30 WIB

Seputar G30S/PKI: Kisah Sukitman, yang Lolos dari Lubang Buaya (1)

Intisari-Online.com – Peristiwa kekejaman G30S/PKI meninggalkan coretan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Seorang saksi sejarah peristiwa itu mengungkapkan pengalamnnya kepada wartawan Intisari LR Supriyapto Yahya dan Anglingsari Saptono, ketika ia hampir ikut menjadi korban. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1992, dengan judul asli Yang Lolos dari Lubang Buaya.

--

Malam baru saja lewat, sementara  matahari pagi pun belum terjaga dari peraduannya, karena waktu itu memang baru pukul 03.00. Tanggal terakhir pada bulan September baru berganti dengan tanggal 1 Oktober 1965. Jakarta dan penduduknya masih terhanyut dalam sepenggal mimpinya.

Namun, Sukitman (49) yang waktu itu berpangkat Agen Polisi Dua tidak ikut terhanyut dalam buaian mimpi. la harus menjalankan tugasnya di Seksi Vm Kebayoran Baru (sekarang Kores 704) yang berlokasi di Wisma AURI di Jl. Iskandarsyah, Jakarta, bersama Sutarso yang berpangkat sama.

“Angkat tangan”

"Waktu itu polisi naik sepeda. Sedangkan untuk melakukan patroli, kadang-kadang kami cukup dengan berjalan kaki saja, karena radius yang harus dikuasai adalah sekitar 200 m,” katanya mengengang masa awal tugasnya.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh bunyi rentetan tembakan, yang rasanya tidak jauh dari posnya. Karena tembakan itu berasal dari bawah dan dekat situ ada Gedung MABAK yang tinggi, suara tembakan itu memantul. Rasa tanggung jawab membuat Sukitman bergegas mengendarai sepedanya dengan cara melawan arah mencari sumber tembakan itu. Sementara rekannya tetap melakukantugas jaga. Dalam benak pemuda yang terlintas mungkin terjadi perampokan. Ternyata suara itu berasal dari rumah Jenderal D.I. Panjaitan yang terletak di Jln. Sultan Hasanudin. Di situ sudah banyak pasukan bergerombol.

Belum sempat tahu apa yang terjadi di situ, tiba-tiba ia dikejutkan oleh teriakan tentara berseragam loreng dan berbaret merah yang berusaha mencegatnya. "Turun! Lempar senjata dan angkat tangan!"

Sukitman, yang waktu itu baru berusia 22 tahun, kaget dan lemas. la segera melakukan apa yang diperintahkan tanpa bisa menolak. Di bawah ancaman senjata di kiri-kanan, Sukitman kemudian diseret dan dilemparkan ke dalam truk dalam keadaan tangan terikat dan mata tertutup. "Tapi saya tetap masih belum bisa menduga apa yang terjadi," katanya mengenang peristiwa menakutkan itu. Menurut perasaannya, dalam truk itu Sukitman ditempatkan di samping sopir.

Dengan mengandalkan daya ingatannya, Sukitman berusaha mencari tahu ke mana ia akan dibawa. Begitu dari Cawang belok ke kanan, Sukitman mulai kehilangan orientasi. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya. "Pokoknya, saya pasrah kepada Tuhan sambil berdoa," katanya.

Saksi pembantaian

Entah di mana, akhirnya kendaraan yang membawa Sukitman berhenti. Ia segera diturunkan dan tutup matanya dibuka. "Tentu saja saya jalangjang-jalongjong, karena dari keadaan gelap saya langsung dihadapkan kepada terang."