Penulis
Intisari-Online.com – Peristiwa kekejaman G30S/PKI meninggalkan coretan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Seorang saksi sejarah peristiwa itu mengungkapkan pengalamnnya kepada wartawan Intisari LR Supriyapto Yahya dan Anglingsari Saptono, ketika ia hampir ikut menjadi korban. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1992, dengan judul asli Yang Lolos dari Lubang Buaya.
--
Karena kelelahan, akhirnya Sukitman tertidur. Hari Sabtu pagi Sukitman mulai pasang mata lagi. Hari itu semakin siang, anggota pasukan semakin banyak dan mereka sudah berganti pakaian. "Rupanya mereka sudah mempersiapkan segalanya," komentar ayah tiga anak ini.
Dalam suasana yang kurang menguntungkan itu Sukitman masih sempat jajan untuk mengganjal perutnya. "Tapi kesempatan untuk melarikan diri sama sekali tidak mungkin."
Kira-kira pukul 14.00, karena merasa kepalanya pusing, Sukitman masuk ke kolong truk untuk berbaring. la menggunakan helmnya untuk ganjal kepala, senjatanya yang patah pun ia simpan di dekatnya, sementara kepalanya yang pusing diikatnya dengan scarf yang sebelumnya digunakan oleh para pemberontak itu. Rupanya Sukitman benar-benar jatuh tertidur. "Meskipun saya mendengar bunyi tembakan gencar, entah mengapa mata saya tidak mau diajak kompromi untuk melek," katanya.
Ketika terbangun sore harinya, sekitar pukul 16.00, ia mendapati dirinya hanya sendirian di situ. Sementara anggota pasukan yang demikian banyak siang itu, tak satu pun kelihatan batang hidungnya, sedangkan truk masih berjejer. Sukitman menganggap hal itu suatu keberuntungan dan juga lindungan Tuhan.
Menghadap Mayjen Soeharto
Tiba-tiba datanglah pasukan tentara yang kemudian diketahui sedang mencari jejak anggota yang terlibat G30S/PKI. Pasukan itu mengenakan tanda pita putih. "Prinsip saya, kalau pakai pita putih itu PMI. Jadi tidak mungkin menangkap tawanan dan dibunuh." Karena tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya, Sukitman pun diperiksa.
Begitu pasukan itu tahu bahwa yang diperiksa seorang polisi, mereka pun kaget. "Tanpa banyak tanya saya segera diberi pita putih dan langsung dibawa ke markas Cakrabirawa yang terletak di belakang Istana Negara, yang sekarang menjadi Gedung Binagraha." Saat itulah ia menjelaskan segamblang-gamblangnya apa yang dialaminya dan kemudian dibuatkan proses verbal. Hal itu baru selesai pukul 03.00. Setelah selesai, segeralah hal itu disebarkan ke berbagai pihak yang dianggap perlu mengetahuinya.
Minggu pagi Sukitman dijemput dan segera dihadapkan kepada Pangdam V Jaya yang waktu itu dijabat oleh Mayjen Umar Wirahadikusumah. Kemudian Sukitman dibawa oleh Mayor Mubardi, ajudan Jenderal A. Yani, ke Jl. Lembang, Jl. Saharjo, dan ke Cijantung. Di sana Sukitman menghadap Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Sementara laporan Sukitman pun sudah ada di sana.
Bersama pasukan RPKAD Sukitman segera menuju ke lokasi pembantaian. "Dari Pasar Hek kami harus jalan kaki dan langsung menyebar," kenangnya. Di lokasi pasukan pemberontak masih banyak berkeliaran. Mereka segera diberi ultimatum, jika tidak menyerah akan segera dihancurkan.
Akhirnya RPKAD dapat menguasai keadaan dan bisa menemukan sumur yang digunakan untuk menyembunyikan jenazah para Pahlawan Revolusi itu.
Sejak hari Minggu, pukul 22.00, Sukitman sudah diambil lagi dan berada di bawah pengawasan Sarwo Edhie. Sukitman dilarang untuk berbicara apa pun kepada orang lain. "Karena kelelahan saya tertidur dan tidak tahu dibawa ke mana. Tahu-tahu saya sudah sampai di Jl. Merdeka Timur, melapor, dan menghadap Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Kemudian saya dibawa kembali ke Cijantung," kenang Sukitman.
Hari Senin jenazah para Pahlawan Revolusi berhasil diangkat dari sumur dan segera dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (kini RS Gatot Subroto). Ternyata tugas Sukitman masih belum selesai sampai di situ, ia dijemput lagi oleh pasukan dari Kodam. Namun, atas perintah Pangdam V Jaya ia diambil lagi dari Cijantung. Kemudian ia masih harus dibawa ke Kodam, Jl. Guntur, untuk diperiksa, setelah itu ke markas Cakra. Baru pada hari Rabu Sukitman dikembalikan. Tentu saja rekan Sukitman serasa mimpi melihat temannya kembali tanpa kurang suatu apa pun, meskipun sepedanya penuh darah.
Sejarah kadang memang sulit diduga. Sukitman yang sedang menjalankan tugasnya ternyata terseret ke dalam peristiwa besar di republik ini. Maka jadilah ia seorang saksi sejarah.
Tentu saja Sukitman menerima penghargaan berupa kenaikan pangkat menjadi Agen Polisi Satu. Bintang Satria Tamtama diperolehnya bertepatan dengan Hari Kepolisian, 1 Juli 1966, dan Bintang Satya Penegak diberikan oleh Presiden Soeharto, tepat pada Hari ABRI, 5 Oktober 1966.
Setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober, di Lubang Buaya, Sukitman merupakan salah satu undangan yang tak terlupakan. Hal ini sangat membanggakan hatinya, karena ia merasa dihargai oleh pemerintah.
Sukitman, yang kini berpangkat kapten, tidak pernah menganggap dirinya sangat berjasa. Ia lebih mensyukuri rahmat Tuhan yang dilimpahkan pada dirinya, karena bisa terhindar dari renggutan maut 27 tahun yang lalu.