Find Us On Social Media :

Cermati Klaim Suplemen Makanan

By K. Tatik Wardayati, Senin, 21 Maret 2011 | 15:30 WIB

Cermati Klaim Suplemen Makanan

Sudah sejak lama pasar obat Indonesia diramaikan oleh suplemen makanan (SM). Banyak orang masih bertanya-tanya, "Apakah bahan yang digolongkan 'bukan obat' itu sungguh bermanfaat?"

SM sebenarnya sudah sejak lama dikenal, sebagian besar dalam bentuk vitamin. Namun, sekarang pengertiannya meluas ke berbagai jenis zat yang asalnya beraneka macam, dari zat kimia murni hingga bahan tumbuhan.

Perkembangannya mulai terasa ketika diberlakukan Dietary Supplement Health Education Act (DSHEA) pada 1994 di AS. Undang-undang ini mengatur penjualan SM secara bebas tanpa perlu pembuktian efektivitas produk (oleh produsen), seperti lazimnya berlaku untuk obat. Kongres AS waktu itu menganggp, di antara begitu banyak SM tentu ada yang berguna untuk membantu kesehatan manusia. Karena pada umumnya pelbagai SM ini dipandang tidak toksis, maka masyarakat dibiarkan menentukan sendiri.

Penting dicatat, di balik peraturan kebebasan menjual SM itu terdapat ayat yang mengatakan bahwa SM tidak boleh mencantumkan klaim penyembuhan atau pengobatan suatu penyakit (disease claim), jika erdapat SM itu belum dilakukan penelitian klinis yang membuktikan klaim tersebut. Tetapi, industri dibenarkan untuk membuat funtion claim atau health claim, misalnya "memperbaiki kesehatan", "menyegarkan tubuh", atau "menggantikan zat dalam makanan".

Rupanya, ini merupakan kelemahan dalam DSHEA karena menciptakan loophole yang dapat diisi dengan pernyataan yang tidak masuk akal. Minyak bawang putih, misalnya, ti dak boleh mencantumkan klaim "menurunkan tekanan darah tinggi," namun bolhe dijual bebas dengan klaim "pengganti bawang putih segar dalam makanan Anda". Dengan demikian banyak SM dipasarkan dengan indikasi resmi yang semu karena diberitakan terbuka di pertemuan yang tertutup dan terbatas.

Peraturan Food and Drug AS ini dibuat dalam suasana terjepit karena SM sudah telanjur banyak beredar sehingga bentuk formulasinya pun kompromistis. Dapat diterka, Kongres AS merestui DSHEA dalam rangka globalisasi perdagangan yang menghasilkan devisa, sambil mencoba melakukan pembuktian disease claim puluhan SM melalui uji klinis terkontrol.

Sungguh tugas yang luar biasa karena kebanyakan SM ternyata tidak dapat dibuktikan manfaat klinisnya secara objektif. Bahkan banyak SM yang sebenarnya dahulu pernah diajukan sebagai obat tapi ditolak karena bukti ilmiah yang disodorkan gagal memastikan efektivitasnya. Tentu ada yang mempunyai efektivitas baik, namun bila dibandingkan dengan obat, untuk sebagian besar SM disease claim masih sangat sulit diwujudkan.

Sebagai contoh, secara empiris dalam menangani pasien dengan wasir yang sering berdarah, ditemukan bahwa sepotong buah sirsak (utuh) bila dimakan tiap hari dapat menyembuhkan wasir yang kronis. Barangkali sirsaknya sendiri lebih efektif dibandingkan dengan rutosida yang telah dikemas sebagai obat atau SM. Mungkin Anda yang mempunyai wasir bandel boleh mencoba eksperimen makan sirsak setiap hari lalu melaporkan hasilnya ya....

Hypericum (St. John's - worth) pernah dilaporkan dapat memperbaiki depresi. Dibandingkan dengan obat antidepresan, ia disimpulkan memiliki keamanan yang lebih besar. Namun, laporan susulan kemudian membantah kebenaran penelitian terdahulu ini. Selain itu, hypericum dilaporkan menimbulkan efek sampingan yang serius sehingga ada negara yang melarangnya beredar. Pendapat yang mengatakan bahwa bahan tanaman obat biasanya tidak toksis ternyata tidaklah benar. Banyak tanaman obat terbukti toksis sekali!

Membiarkan informasi diisi oleh produsen saja tentu tidak memadai karena janji-janji yang menggiurkan belum tentu benar, sedangkan data ilmiah tidak cukup. Indonesia sendiri baru mempunyai peraturan sederhana yang mengatur perizinan dan pemasaran yang mirip dengan DSHEA. Namun, sayang belum dilengkapi komponen education dan penelitian untuk memberi muatan objektivitas dan keilmiahannya. Ditambah lagi, pengawasannya lemah. Tinggallah masyarakat menentukan sendiri "yang mana efektif dan yang mana tidak bermanfaat".

(Sumber: Intisari)