Obat Palsu Bukan Rambut Palsu

Agus Surono

Penulis

Obat Palsu Bukan Rambut Palsu

Jika rambut palsu membantu penggunanya tampil lebih percaya diri, tidak begitu dengan obat palsu. Nyawa pengguna bisa menjadi taruhannya. Makanya, teliti sebelum membeli harus diterapkan kala membeli atau menebus obat di apotek atau toko obat.

Minggu malam itu kepala Ipul begitu cekot-cekot. Padahal ia sedang menunggu tayangan sepak bola Liga Inggris. Ia pun segera lari ke warung di ujung jalan. Empat butir Ponstan pun berpindah tangan. Ipul bergegas pulang agar bisa langsung menenggak Ponstannya dan istirahat sebentar sebelum tengah malam ia begadang. Sebutir pil sudah masuk mulutnya. Ia segera merebahkan diri. Biasanya dalam waktu setengah jam reaksi obat sudah dirasakannya.

Satu jam sudah berlalu tapi cekot-cekot di kepala belum ada tanda-tanda berkurang. Sebutir Ponstan ditenggak lagi. Kembali ia rebahan sambil mendengarkan musik instrumentalia. Namun, satu keping CD habis sakit kepalanya belum juga berkurang.

"Aneh," pikirnya. Ia pun segera menyambar sisa Ponstan yang ada dan memperhatikan dengan teliti kemasannya. Ah, sialan! Ipul menggerutu dalam hati sebab setelah dilihat di bawah benderang terangnya lampu baru terlihat bahwa obat yang di tangannya palsu.

Meski tergolong ringan, namun apa yang dialami Ipul bikin jengkel juga. Bagaimana tidak! Berharap penyakit kepalanya sembuh, malah jengkel yang didapat. Alhasil, ia pun melewatkan Formula 1 yang begitu digandrunginya. Ipul tidak mau esok paginya bangun dengan badan yang semakin tidak nyaman.

Kasus Ipul masih mendingan dibandingkan dengan beberapa transmigran yang mengonsumsi obat malaria palsu. Peristiwa yang terjadi tahun 1978 di daerah transmigrasi Sumatra itu merenggut nyawa penderita yang mengonsumsi obat palsu. Berharap sembuh, apa daya yang diminum hanyalah zat tepung yang dicetak mirip obat. Selain meminta korban, obat malaria palsu ini membuat omzet obat asli menurun untuk sementara waktu.

Obat palsu memang merugikan banyak pihak. Tak hanya konsumen dan industri farmasi pembuat obat asli, tapi juga pemerintah. Apalagi kalau bukan menyangkut pajak. Barang ilegal memang tidak membayar pajak sebab asal-usulnya tidak jelas. Perputaran uang dalam bisnis obat palsu ini mencapai triliunan rupiah setahun, atau memakan 10% dari total omzet perdagangan obat.

Akan tetapi konsumen tetaplah korban yang paling apes. Sudah keluar uang, hasilnya tidak seberapa. Belum kalau obat palsu yang dikonsumsinya dimaksudkan untuk melawan penyakit yang tergolong berat. Misalnya saja obat antihipertensi. Kalau ia keterusan minum obat itu, bisa jadi muncul komplikasi lain sebab tekanan darahnya tidak turun-turun. Atau pasien yang mau dioperasi ternyata obat anestesinya palsu. Operasi akan tertunda sebab obatnya tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Maraknya obat palsu karena keuntungan yang didapat begitu gurih dan penegakan hukumnya masih lemah. Kasusnya bisa menguap begitu saja, sementara hukumannya hanya berbilang bulan. Dalam sebuah lokakarya bahkan Kartono Muhammad, mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia, mengaku belum pernah mendengar pemalsu obat dijatuhi hukuman penjara meski sudah terkena razia berkali-kali.

Di lain sisi, permintaan akan obat ilegal ini juga cukup tinggi sebab harganya memang miring. Seperti yang dialami Ipul tadi. Awalnya ia curiga dengan harganya yang tidak biasa. Namun berhubung membutuhkan ya ia abai akan hal itu. Murahnya obat palsu karena modalnya kecil, hanya bikin kemasan saja. Selebihnya faktor sugesti konsumen soal manjur tidaknya sang obat. Sementara pembuat obat asli harus mengeluarkan modal untuk membeli bahan baku, kemasan, biaya pemasaran, biaya kantor, dan lain sebagainya.

Jenis obat yang sering dipalsukan beragam. Mulai kelompok generik yang berharga murah dan banyak beredar di masyarakat luas sampai obat mahal karena untuk penyakit berat atau karena diimpor. Dari obat antialergi (Dextamine), antirasa sakit (Ponstan), atau antirematik (Skelan) hingga obat antihipertensi dan obat anestesi.

Menghadapi serbuan obat palsu begitu, sebagai konsumen kita kudu lebih waspada dan cerdas. Harga murah harusnya menjadi pertanda untuk waspada. Harga obat yang di pasaran tergantung siapa pemroduksinya. Saat ini ada tiga jenis obat resmi yang beredar di pasaran. Pertama, obat generik berlogo (OGB) yang jumlahnya sekitar 10 - 20% dari total pasar yang ada. Kedua, obat bermerek dengan pangsa pasar sekitar 60%. Pada obat merek ini ada yang mereknya sama namun diproduksi oleh produsen yang berbeda sehingga harganya juga berbeda. Terakhir obat paten, paling tinggi tingkatannya. Masalahnya, wewenang yang menentukan pasien memakai obat apa atau jenis mana ada di dokter. Di sinilah peran dokter untuk mengikis obat palsu dengan menyelaraskan obat resepnya dengan kondisi keuangan pasien.

Membedakan obat palsu dan asli memang bukan pekerjaan gampang. Bahkan, menurut Kartono, dokter pun sulit membedakannya. Tentu saja ini terjadi pada obat palsu yang kemasannya sudah mirip dengan obat palsu. Pada obat-obat tertentu, jika konsumen jeli akan terlihat mana yang palsu dan mana yang asli. Permasalahan terjadi jika konsumen sendiri belum atau tidak tahu kemasan obat asli bentuknya seperti apa. Atau kemasannya begitu bagus sehingga mirip dengan obat aslinya.

Untuk gampangnya, beli obat di apotek. Tapi hal ini tak menjamin 100% memperoleh obat asli. Soalnya sumber obat apotek bisa saja dari freelance atau penjual obat yang tidak jelas. Aturan bahwa apotek harus membeli obat dari distributor resmi memang sudah ada. Namun satu dua apotek bisa saja tergiur dengan perbedaan harga yang memungkinkan ia memperoleh keuntungan berlebih.

Masyarakat sebagai konsumen juga harus mulai waspada dengan melakukan beberapa hal. Selain membeli obat di apotek atau toko obat yang layak dipercaya keaslian jualannya, masyarakat juga dituntut untuk kritis terhadap setiap obat yang diterimanya. Misalnya menanyakan ada tidaknya tanggal kedaluwarsa. Jangan mudah percaya dengan obat yang dijual murah dan jangan malu menanyakan label kemasan. Kalaupun harus membeli obat di warung atau kios kaki lima, tanyakanlah kemasan asli dari pabriknya jika obat yang Anda terima tidak menyertakan label atau kemasan.

Kalau toh akhirnya menerima obat palsu, masyarakat bisa menuntut pihak distributir langsung sesuai UU Kesehatan No. 23/192 dan UU Perlindungan Konsumen 1999. Bahkan, dengan diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen April 2000, pihak distributor langsung tadi harus bertanggung jawab.

Jadi, obat palsu memang bukan rambut palsu!