Penulis
Intisari-Online.com - Titik awal perkembangan Kota Surabaya justru ketika VOC berdaulat penuh atas kota ini. Itu terjadi sekitar abad ke-18, tepatnya 11 November 1743, setelah ada perjanjian antara Gubernur Jenderal Belanda van Imhoff dengan raja dari Mataram, yaitu Paku Buwono II.
Pada masa awal perkembangan kota, Surabaya dibangun dengan pusat di sekitar kawasan Jembatan Merah—yang menghubungkan Jalan Kembang Jepun dan Jalan Rajawali. Fase perkembangan kota terbagi menjadi dua. Diawali dengan terbentuknya Kota Bawah, untuk kemudian disusul dengan Kota Atas.
Kota Bawah Surabaya menjadi pusat kegiatan bangsa Belanda. Mereka membangun gedung-gedung pemerintahan, juga wilayah permukiman yang terbagi menjadi dua wilayah berdasarkan etnis di bawah ketentuan undang-undang Wijkenstelsel. Permukiman pertama adalah kampung orang-orang Eropa yang terletak di barat Jembatan Merah. Kedua adalah permukiman orang-orang Timur Asing (Vreande Oostrelingen), yaitu Tionghoa (Pecinan), Arab, dan pribumi.
Sejak kepemimpinan Daendels pada 1811, pusat pemerintahan Surabaya berpusat di kawasan Jembatan Merah. Kembang Jepun—tempat adanya Kampung Pecinan dan berada tidak jauh dari Jembatan Merah, Sungai Kali Mas, dan Pelabuhan Tanjung Perak—menjadi kawasan strategis untuk melangsungkan aktivitas bisnis. Alhasil, kawasan Kembang Jepun berkembang menjadi pusat perdagangan dan hiburan satu-satunya di Surabaya kala itu. Bahkan, menjadi kawasan tersibuk.
Baca juga:Jadi Gang Batik, Beginilah Kabar Gang Dolly Kini
Kembang Jepun menjadi pusat perdagangan di siang hari dan hiburan di malam hari. Toko-toko yang menjual dari mulai tekstil, alat tulis, sampai alat-alat mesin ada di sepanjang jalan 750 m dan lebar 20 m tersebut.
Perkembangan Surabaya semakin pesat setelah penghapusan Cultuurstelsel pada 1870. Tidak hanya berpusat di sekitar Jembatan Merah, bangsa Belanda mulai membangun kantor-kantor perdagangan dan permukiman ke arah selatan Surabaya. Kota Atas lahir. Kota Atas bertumbuh di sepanjang tembok kota Kota Bawah yang pada abad 19 dirobohkan, dengan pusatnya adalah kawasan Balai Kota kini. Jalan ini sebetulnya baru akrab disebut Kembang Jepun pada masa kolonial Jepang. Banyak serdadu Jepang (Jepun) yang punya teman-teman perempuan (kembang) di daerah ini.
Munculnya Kota Atas ini berpengaruh pada kawasan yang dulunya bernama Handelstraat (handel: perdagangan, straat: jalan) Jika di masa awal kolonial Belanda, Kembang Jepun menjadi kawasan bisnis utama, seiring waktu, ia tidak lagi demikian. Perlahan, pusat perdagangan dan keramaian menyebar. Ketika jelang Perang Dunia II, pusat aktivitas tumbuh di titik-titik berbeda. "Surabaya mulai ramai ke kawasan Tunjungan dan daerah Siola. Banyak pertokoan baru yang muncul. Bank-bank juga mulai ada di kawasan Darmo," tutur Nikki Putrayana dari Surabaya Tempo Doeloe. Meski demikian, hingga awal masa Indonesia merdeka, Kembang Jepun masih menjadi sentral Surabaya, meskipun tidak seramai dulu.
Seiring waktu, Kembang Jepun memang tidak mati. Ia tetap menjadi salah satu pusat bisnis hingga sekarang. Sekarang, ia lebih dikenal sebagai pusat perdagangan grosir, atau Central Business District I Kota Surabaya.
Dulu, sebenarnya pusat hiburan Surabaya ada di Kembang Jepun. Lalu, berpindah ke Tunjungan, Balaikota, kini ke Surabaya Barat. Ini masih penuturan Nikki.
Begitu aktivitas Belanda dipindahkan ke Ketapang Kali, mulai dibangunlah pusat pemerintahan. Mereka mulai membangun jalan, rumah sakit, dan lain-lain, seperti Jalan Slamet, Grand City, dibangun. Termasuk Gedung Setan di Banyu Urip.
Baca juga:Di Belanda, PSK Tuntut Jaminan Pensiun
Apa yang menyebabkan pergeseran keramaian ini? Jawabannya singkat saja: modernisasi. Kembang Jepun kembali ingin merasakan masa-masa kejayaan ketika walikota Surabaya sebelumnya. Bambang D. Hartono menggandeng PT Kya Kya Kembang Jepun di bawah pimpinan Dahlan Iskan pada 2003 menjadikan kawasan Kembang Jepun sebagai pusat jual makanan-minuman oleh PKL di malam hari, yaitu pada 17.00-24.00 (sebelumnya Kembang Jepun hanya membuka aktivitas bisnis mulai pukul 08.00-16.00). Selain untuk kepentingan wisata, upaya ini juga diharap mampu menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) Surabaya.