Penulis
Intisari-Online.com – Kalau saat ini Jokowi yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan berani “melokalisasikan” PKL Tanah Abang, bisa jadi beliau bercermin pada Ali Sadikin, pendahulunya. Majalah Intisari edisi Juni 1968 pernah menurunkan tulisan J. Adisubrata tentang Ali Sadikin, sang Gubernur DKI Jakarta. Tulisan tersebut berkisar pada pembangunan Ibukota dan masalah-masalahnya.
Mari kita nikmati tulisan tersebut.
Anak Sumedang ini dilahirkan pada tanggal 7 Juli 1927. Ayahnya seorang landbouwconsulent(penasehat pertanian), kakeknya seorang pegawai pamongpraja. Saudaranya semua ada lima orang, diantaranya Dr. Hasan Sadikin yang berita meninggalnya dimuat dalam surat kabar beberapa waktu yang lalu.
Ali Sadikin kakak dari si bungsu. Ketika masih kecil, di waktu libur kerapkali Sadikin ikut ayahnya yang mengadakan turne ke desa-desa, mengunjungi camat-camat, lurah-lurah dan petani-petani untuk memberi penyuluhan di bidang pertanian.
Pak Sadikin diangkat sebagai Gubernur Jakarta Raya dalam bulan Mei 1966 setelah dalam tahun itu juga berhenti sebagai Menteri Perhubungan Laut merangkap Menteri Koordinator, Maritim, dan sebentar menjabat Deputi Menteri diperbantukan pada Menteri Ekonomi Keuangan dan Pembangunan (Ekubang).
Tak banyak yang mengetahui bahwa Ir. Soekarno yang pada waktu itu masih Presiden, tadinya hendak menunjuk orang lain sebagai Gubernur Ibukota, dan bahwa nama Sadikin baru diajukan kemudian oleh Sri Sultan, Adam Malik, dan Leimena.
“Untuk Jakarta Raya saya memerlukan orang yang ‘koppig’,” kata Soekarno yang juga pernah menyebut Jenderal Soeharto sebagai orang “koppig”, keras kepala.
Orang-orang yang dekat dengannya, melihat Sadikin dalam waktu 4 bulan (Mei sampai Agustus) menjadi kurus. Berat badannya turun 8 kilo. Sebabnya tak lain karena selama empat bulan itu dengan sifat “koppig”-nya ia banting tulang untuk menguasai masalah-masalah DKI Jakarta Raya yang dibebankan kepadanya.
Setelah itu keluarlah keputusan-keputusan dan peraturan-peraturannya yang baru. Diantaranya: Dualisme dengan adanya “Urusan Pemerintahan Umum” dan “otonomi” ditiadakan. Jakarta Raya dibagi menjadi lima kota dengan lima walikota – masing-masing dengan camat-camat, lurah-lurah, RW, dan RT.
Tugas dan kewajiban mereka dibatasi dengan jelas dan tegas.
Selanjutnya atas dasar data-data yang telah dikuasainya mengenai keadaan Ibukota, Sadikit menyusun Rencana Pembangunan Tiga Tahun yang akan berakhir tahun depan (kebetulan tepat dengan akan dimulainya Rencana Pembangunan Lima Tahun Pemerintah Pusat).
“Saya memandang kehidupan di Ibukota ini seperti sebuah PT. Pemegang sahamnya rakyak, komisaris-komisarisnya para anggota DPRD, dan direksinya diserahkan pada saya. Seluruh PT itu harus untung, tidak boleh rugi,” katanya.
(Bersambung)